Alfred Tuname (Foto : istimewa).

Oleh Alfred Tuname

Kerja pemerintahan itu tidak seperti mengelola yayasan karikatif yang menjual kemiskinan dan kondisi kerontang masyarakat untuk mendapatkan donasi dari lembaga donor asing. Kerja pemerintahan adalah kerja politik pelayanan demi kebaikan bersama.

Dalam suatu pemerintahan, semua orang mendapat pelayanan sama. Dalam pelayanan itu, tidak ada pembedaan warga negara baik miskin maupun kaya. Semua berhak mendapatkan pelayanan prima. Kepuasaan terhadap kinerja pemerintah pun ditakar dari pemenuhan hak terhadap setiap warga negara.

Kalau yayasan karikatif (apalagi dikelola oleh keluarga besar pemilik yayasan) menjual kemiskinan dan kondisi kerontang masyarkat (ada yang melakukan politisasi dan mengklaim bersumber dari dana pribadi), maka pemerintah mempromosikan kinerja dan progres pembangunan. Pemerintah berhasil bila kinerja dan progres pembangunan meningkat. Masyarakat pun mengalami perubahan yang semakin baik.

Kompensasi atas perubahan itu adalah alokasi dana Perimbangan (DAU/DAK)  semakin baik dan PAD pun semakin meningkat. Dengan itu, pemerintah daerah akan lebih giat membangun dan mendistribusikan keadilan kepada masyarakat. Dalam konteksi pembangunan, itulah demokrasi.

Pemerintah menggunakan segenap anggaran demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Pemeritah mengelola anggaran APBD dengan skema distribusi berkeadilan. Dalam pengelolaan anggaran itu, prioritas pembangunan adalah pemenuhan hak-hak dasar, yakni infrastuktur, pendidikan dan kesehatan. Sebagai proses, pembangunan itu akan terus berlanjut sebab kebutuhan manusia itu tak akan pernah habis.

Konduktor pembangunan itu adalah kepala daerah. Kepala daerah adalah selain sebagai pemimpin, ia juga seorang politisi. Jabatannya adalah jabatan politik sebab ia dipilih melalui proses demokrasi pilkada. Kepala daerah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi seperti inilah yang membuat proses pemilihan pemimpin semakin lebih baik. Kita menyebutnya dengan istilah Pilkada.

Pilkada merupakan proses politik pergantian pemimpin secara demokratis. Melalui Pilkada, rakyat dalam memilih calon pemimpin seturut nurani dan pertimbangan apa pun. Pilkada semakin demokratis manakala tingkat parsipasi dan kebebasan memilih semakin baik. Tak ada paksaan, tak ada money politics. Itulah arti demokrasi menurut Schumpeter, yakni “the people have a opportunity of accepting or refusing the men who are to rule them”.

Dalam pasar pilkada, ada pameran produk kebijakan publik di atas etalase-etalase politik. Sebagaimana pasar, masyarakat dipersilakan melihat, mendengar dan “merasakan” atas produk-produk kebijakan publik yang dipemerkan. Ada yang rasional, ada yang mombastis. Ada yang riil, ada yang utopia.

“Harga politik” akan ekuivalen dengan harapan yang ditawarkan dari setiap produk kebijakan publik. Jika produk kebijakan itu yang ditawarkan itu menarik dan sesuai dengan harapan rakyat, tingkat keterpilihannya akan sangat tinggi. Karenanya, produk kebijakan itu harus benar-benar mengena dan menyentuh kebutuhan masyarakat.

Dalam kondisi “ceteris paribus” politik, produk kebijakan yang baik akan linear dengan tingkat elektailitas. Sayangnya, faktor integritas, popularitas, track record  juga berpengaruh pada tingkat keterpilihan seorang calon pemimpin dalam proses politik Pilkada. Pertimbangannya, produk kebijakan publik tidak akan berjalan baik apabila dikendalikan oleh seorang pemimpin dengan integritas sangat buruk.

Sebagai misal, seorang anggota dewan yang jarang hadir sidang tidak layak menjadi pemimpin sebab ia tidak pernah terlibat dalam memikirkan urusan publik. Atau, seorang ketua yayasan yang mempolitisasi aktivitas karikatifnya tidak layak menjadi seorang kepala daerah, sebab ia menggunakan eksistensi yayasannya untuk tujuan kepentingan politik pribadi.

Dengan kata lain, seorang politisi disebut cacat integritas apabila terlibat dalam problem “tujuan jadi alat, alat jadi tujuan”. Tujuan kemanusiaan menjadi alat politik kepentingan pribadi. Politisi dengan track record busuk seperti itu tak layak dipilih menjadi pemimpin.

Demokrasi memang menjamin siapa saja untuk menggunakan hak politik dalam memilih dan dipilih. Tetapi, kaidah moral, etika dan integritas membuat masyarakat selalu terjaga dalam berpolitik. Tujuannya adalah melahirkan pemimpin yang benar, bersih dan bersinergi dengan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pribadi.

Pemimpin yang benar dapat membuat merumuskan kebijakan pembangunan secara benar; pemimpin yang bersih dapat memenuhi harapan kesejahteraan masyarkat. Sebab, persoalan kemiskinan bukan berasal dari kebijakan yang keliru, melainkan karena pemimpinnya yang korup. Persoalan ketidakadilan bukan berasal dari sistem pemeritahan yang salah, melainkan karena moralitas pemimpin yang bobrok.

Oleh karena itu, jika Pilkada bertujuan untuk melahirkan kesejahteraan, maka pilihlah pemimpin dengan pertimbangan hati nurani. Jika Pilkada bertujuan untuk melanjutkan pembangunan, maka hindarilah politik uang. Jika ingin menikmati pembangunan di lima tahun mendatang, ikutilah angin suara mayoritas, bukan suara keluarga, suku, agama atau golongan.

Akhirnya, jika “tahta untuk rakyat” (mengutip Hamengku Buwono IX), maka rakyat harus membuatnya dengan perkakas nurani yang bersih dan rasionalitas politik yang mumpuni.

Alfred Tuname

Penulis dan Esais        

Previous articlePenyidik Polda NTT Dinilai Melanggar Hukum, Frans Oan Smewa Lakukan Praperadilan
Next articleCuaca Buruk, Duiker di Ruas Jalan Benteng Jawa-Satar Teu Ambruk

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here