Oleh: Rofinus Taruna Baru
Di tengah zaman reformasi dan demokrasi yang semakin maju, tentunya berpengaruh pada pola pikir seseorang. Sesuai dengan amanat konstitusi pada pasal 28 menyebutkan bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang; selanjutnya pasal 28 huruf E ayat 3 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Untuk itu kita tidak boleh mencedrai apa yang diamantkan oleh konstitusi.
Namun, meskipun demikian justru berbanding terbalik ketika berada di lapangan, dalam artian bahwa apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang ternyata belum teralisasi dengan sempurna, di mana para kaum milenial sering kali beranggapan bahwa “Politik” itu justru licik, kotor, dan mengarah ke hal-hal yang negatif. Tanpa kita sadari bahwa segala sesuatu diputuskan melalui kebijakan politik, di samping itu pula hal lain yang membuat para kaum milenial menjadi takut terjun ke dunia politik disebabkan para “elit” atau penguasa yang memiliki kekuasaan menjadikan kaum milenial sebagai target (sasaran) dan bahkan menjadi korban politik.
Di samping itu juga kaum milenial masih banyak yang belum mengambil peran aktif di desa. Bagi sebagian kaum milenial lain menganggap bahwa desa tidak ada artinya dibandingkan mengambil atau bekerja di instansi-instansi lain yang ada dalam struktur kepemerintahan. Tanpa kita sadari bahwa selain uang yang banyak sekarang ada di desa, kita juga tinggal di desa, tanpa desa, negara tidak ada artinya bahwa sebelum negara ini ada desa sudah lahir meskipun namanya di setiap provinsi yang ada di Indonesia berbeda-beda, misalnya di Papua nama desa disebut dengan nama kampung begitupun sebutan pemimpinnya kepala kampung, di Aceh (Geuchik), Sumatra Barat (Wali Nagari), Kalimantan Selatan (Pambakal), Sulawesi Utara (Hukum Tua) dan lain sebagainya. Apa lagi dengan Nawacita presiden Joko Widodo “Membangun Indonesia dari Pinggiran Desa”, sesuai dengan semangatnya “Desa” diharapkan untuk kita semua lebih khusus kaum milenial jangan tinggalkan desa dan mengabaikan desa.
Politik Milenial
Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota atau negara kota. Turunan dari kata tersebut yaitu: polites berarti warga negara. politikos berarti kewarganegaraan. Berbicara politik tentunya sangat menarik, namun, tidak semua kalangan setuju bahwa politik itu sesuatu yang menarik, justru masing-masing orang memiliki pandangan dan minat yang berbeda. Kenapa demikian, sebagian orang masih setuju dan berpandangan politik itu bukan sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan yang sama, justru sebagian orang berpendapat bahwa politik itu hanya sebuah alat kotor, bahkan tak jarang masyarakat cenderung anti dengan berbagai persoalan politik karena politik itu identik dengan korupsi.
Selama ini stigma mengenai politik sering dicitrakan sesuatu yang buruk, kotor dan penuh intrik, contohnya saja untuk mewujudkan hajat seseorang atau pun kelompok dalam mencapai tujuan yang dikehendaki, sering kali segala upaya dilakukan, bahkan bertentangan dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Akan tetapi, politik itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk, bahwa dalam kegiatan kita sehari-hari pun itu adalah aktivitas politik. Karena, politik itu adalah usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. Jikalau masih banyak paradigma sebagian orang yang menyatakan bahwa politik itu buruk, penulis khawatir hal tersebut akan melebar dan membingkai pemikiran sebagian kalangan lain khususnya kalangan anak muda atau sering disebut dengan kalangan milenial sehingga sepakat bahwa politik itu tindakan yang kotor pula.
Padahal politik merupakan pusat aktivitas manusia, yang dengannya kesadaran tunggal bersentuhan dengan alam dunia dan kehidupan sosial dengan segala bentuknya (Carnoy, 1984;65). Atau secara komprehensif, Aristoteles mengatakan bahwa politik meruapakan sesuatu yang berkaitan secara langsung dengan semua aspek kehidupan sebuah polis atau negara kota. Sehingga, memperjuangkan esensi politik sama halnya dengan memperjuangkan kepentingan bersama atau bonum commune. Joyce Mitchel seperti yang dikutip Dr. Keladu Koten benar bahwa politik yang sesungguhnya adalah pengambilan keputusan kolektif atau perbuatan kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya.
Kata millennial pertama kali digunakan secara luas oleh dua sejarawan Amerika yang terkenal yakni William Strauss dan Neil Howe dalam bukunya Millennial Rising: The Next Great Generation (2004). Mereka menciptakan istilah ini pada tahun 1987, di saat anak-anak yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah dan pada saat itu juga media mulai menyebut mereka sebagai kelompok yang terhubung ke milenium saat lulus SMA pada tahun 2000. Generasi milenial kadang disebut dengan generasi Y, sekelompok orang yang lahir setelah generasi X, yaitu orang yang lahir pada kisaran tahun 1980-2000an. Artinya generasi milenial adalah generasi muda yang berumur 17-37 pada tahun ini.
Istilah dan Pengertian Desa
Desa secara etimologi berasal dari bahasa sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), desa adalah satu kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa) atau desa merupakan kelompok rumah luar kota yang merupakan kesatuan. Desa terbentuk atas prakarsa beberapa kepala keluarga yang sudah bertempat tinggal menetap dengan memperhatikan asal-usul wilayah dan keadaan bahasa, adat, ekonomi serta sosial budaya orang-orang setempat yang pada akhirnya terbentuklah desa.
Desa merupakan kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang sudah menetap dan ketergantungannya pada sumber daya alam sekitarnya dengan harapan mempertahankan hidup untuk mencapai kesejahteraan. Istilah desa hanya dikenal di Jawa, sedangkan di luar Jawa misalnya di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi sebutan untuk wilayah dengan pengertian serupa desa sangat beranekaragam. Sesuai dengan asal mula terbentuknya area desa tersebut, baik berdasarkan pada prinsip-prinsip ikatan genealogis atau ikatan teritorial dan bahkan berdasarkan tujuan fungsional tertentu (desa petani/desa nelayan/desa penambang emas), dan sebagainya. Pimpinan yang berwenang dalam pemerintahan desa ialah Kepala Desa atau dengan istilah adat dengan sebutan Lurah, Kuwu, Bekel, Petinggi (Jawa Tengah) Mandor, Lembur, Kokolot (Jawa Barat, Banten) Kejuron, Pengulu Suku, Keucik, Pentua (Gayo, Alas, Aceh) Pengulu Andiko (Sumatera Barat) Penyimbang, Kepala Marga (Sumatera Selatan) Orang Kaya, Kepala Desa (Hitu, Ambon) Raja Penusunan (Sekitar Danau Toba) Kesair Pengulu (Karo Batak) Parek, Klian (Bali) Marsaoleh (Gorontalo) Komelaho (Kalimantan Selatan).
Desa atau nama lainnya, sebagai sebuah entitas budaya, ekonomi dan politik yang telah ada sebelum produk-produk hukum masa kolonial dan sesudahnya, diberlakukan, telah memiliki asas-asas pemerintahan sendiri yang asli, sesuai dengan karakteristik sosial dan ekonomi, serta kebutuhan dari rakyatnya. Konsep desa tidak hanya sebatas unit geografis
dengan jumlah penduduk tertentu, melainkan sebagai sebuah unit territorial yang dihuni oleh sekumpulan orang dengan kelengkapan budaya termasuk sistem politik dan ekonomi yang otonom.
Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya yang berjudul “Otonomi Desa”menyatakan bahwa, desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang, mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Solusi Alternatif
Pada dasarnya Peran Kaum Milenial dalam Politik Berdesa masih diaragukan dalam artian bahwa kaum milenial masih terpengaruh oleh stigma-stigma negatif tentang politik, serta masih berpikir bahwa desa tidak ada apa-apanya dalam hal ini soal kedudukannya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu penulis mengharapkan pertama, hilangkan stigma-stigma yang buruk tentang politik; kedua, kaum milenial sudah saatnya ambil bagian serta terlibat aktif dalam kegiatan Desa; dan ketiga; jangan tinggalkan desa apalagi sampai mengabaikan desa itu sendiri.
Penulis adalah Mantan Anggota Politik Kampus GMNI Komisariat STPMD “APMD” Yogyakarta 2017-2018, sekaligus Mantan Wakil Ketua Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (KOMAP) STPMD “APMD” Yogyakarta 2018-2019