Proficial Coordinator Plan Indonesia, Juliani Talan dan Hendrika Trini Aur, seorang difabel sekaligus peserta pelatihan (kanan) saat mengajak Akri seorang tunagrahita untuk berbicara. (Foto: Beritaflores).

RUTENG, BERITA FLORES – Yayasan Plan International Indonesia atau Plan Indonesia menggandeng Konsorsium Penyandang Disabilitas Kabupaten Manggarai, NTT mengunjungi seorang penderita Tunagrahita di Ngawe, Keluarhan Pau, Kecamatan Langke Rembong Kamis (6/10).

Yulianus M Jeraman (14) mengalami kondisi tersebut sejak berusia tujuh bulan. Akri begitu ia akrab disapa hingga kini harus menggunakan kursi roda meski usianya sudah menginjak 14 tahun.

Tunagrahita adalah kondisi ketika seorang individu mengalami keterbelakangan mental atau dikenal juga retardasi mental (mental retardation). Bahkan tidak bisa berdiri dan berjalan karena kaki dan tangannya belum bisa bergerak secara normal.

Anak kedua dari pasangan Adrianus Jerama dan Hendrika Munut ini mendapat kunjungan dari Konsorsium Penyandang Disabilitas Kabupaten Manggarai, sebagai peserta kegiatan “Pelatihan STBM Gesi Bagi Konsorsium Disabilitas” yang digelar di Aula Spring Hill Resto Ruteng selama tiga hari mulai Selasa (4/10) hingga Kamis (6/10/2022). Hari ini merupakan hari terakhir pelatihan tersebut dengan melakukan kunjungan ke rumah keluarga difabel.

Kunjungan rumah ini bertujuan untuk memastikan para penyandang disabilitas seperti penderita Tunagrahita di kelurahan itu agar memiliki akses sanitasi yang baik. Lebih dari itu, peserta kegiatan juga diharapkan dapat memberi pemahaman yang baik tentang cara menangani anak difabel agar bisa mandiri dalam beraktivitas setiap hari.

Di rumah Akri, peserta pelatihan memberi penguatan dan dukungan moril baik kepada keluarga maupun Akri. Mereka mengajak ayah dan ibu Akri untuk tetap semangat mengasuh seorang anak penderita Tunagrahita itu. Peserta pelatihan juga meminta keluarga Akri agar memberi tugas kepada seorang anggota keluarga untuk mengurus Akri di rumah.

Akri sesekali tampak tersenyum saat dihibur oleh peserta dengan menceritakan kisah lucu. Menurut Ayah dan ibunya, bila memutar musik, Akri biasanya bergoyang meski di atas kursi roda.

Selanjutnya, peserta pelatihan melakukan kunjungan ke rumah seorang tunarungu bernama lengkap Ferdinandus Anus (38), warga Ngawe, Kelurahan Pau. Meski begitu, Ferdi kini telah mandiri sejak lama, bahkan dia telah bekerja secara mandiri untuk membantu kedua orangtuanya. Ia berprofesi sebagai tukang bangunan.

Selain itu, pada kesempatan yang sama, peserta pelatihan juga mengunjungi rumah seorang ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) bernama lengkap Benyamin Jehami (55). Benyamin pernah dipasung selama 11 tahun, namun kini sudah sedang menjalani masa pemulihan.

Menurut keterangan keluarganya, Benyamin lepas dari pasung setelah sembuh beberapa bulan lalu. Kini, ia masih menyesuaikan diri dengan warga lingkungan sekitar. Mantan Ketua RT ini dipasung karena sering memukul warga setempat. Dia dipasung sejak 2010 hingga lepas pasung pada akhir Desember 2021 lalu.

“Karena rutin minum obat sehingga bisa sembuh. Dan kegiatannya sekarang masih penyesuaian dengan lingkungan sekitar,” kata istrinya.

Pada kesempatan itu, Field Officer Yayasan Plan International Indonesia, Opi Palaipeni mengajak keluarga untuk berkomunikasi dengan baik dengan Benyamin. Opi juga mengajak keluarga untuk meminta Benyamin berjalan di halaman rumah agar lebih mengenal kembali lingkungan sekitar.

“Kunci kebahagiaan itu adalah kebersamaan. Kalau pun kita memiliki harta benda yang cukup, tetapi hidup menyendiri itu tidak ada gunanya,” respon Benyamin yang mulai perlahan sembuh usai lepas dari pasung.

Tak hanya itu, peserta pelatihan juga melakukan kunjungan ke rumah anak Autis bernama lengkap Agustina Tiara Naikofi (10). Tiara kini sudah kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Dia bersekolah di SLB Tenda. Kini dirinya sudah mandiri dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Meski sesekali ibunya harus menggendongnya.

Merespon hal tersebut, Sinta Agun, Penanggung Jawab Upaya Kesehatan Masyarakat (PJUKM) Puskesmas Lao yang ikut dalam kegiatan tersebut mengajak keluarganya untuk terus berlatih agar anak Autis itu bisa mandiri dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari.

Menurut Sinta, sebagian besar kesulitan yang dialami anak Autis adalah berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Karena itu butuh kesabaran dari orang tua atau pengasuh.

“Sering kali pola asuh yang keliru, kita merasa mereka mengalami kekurangan dan kita selalu menggendong dengan alasan kasih sayang. Sehingga mereka pun tidak mandiri karena selalu diperlakukan seperti anak kecil. Padahal, itu tidak boleh, mereka harus dilatih untuk bisa makan sendiri, mandi sendiri dan bekerja sendiri,” ujarnya.

“Saking sayangnya kita bisa gendong padahal dia bisa duduk sendiri. Harus ada pengetahuan untuk menangani anak Autis,” tambah dia.

Di samping itu, peserta juga mengunjungi anak Autis bernama lengkap Ferdinandus Gusa Gado (24). Dia sejak lama sudah mandiri pergi ke toilet dan bisa makan sendiri. Fasilitas sanitasi di rumah mereka juga sudah bagus.

Hendrika Trini Aur, seorang difabel sekaligus peserta Pelatihan STBM Gesi Bagi Konsorsium Disabilitas mengatakan, kegiatan tersebut sangat penting karena bisa meningkatkan kapasitas mereka dalam rangka memahami STBM Gesi (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat dan Berkesetaraan Gender).

“Dengan pelatihan ini, kami bisa memberikan pengetahuan dan membagikan pengalaman kami kepada teman-teman disabilitas yang lain tentang STBM Gesi.

Alumni SMA Yayasan Bakti Luhur Malang itu menjelaskan, berbagai macam materi telah ia dapatkan saat pelatihan termasuk lima pilar STBM. Warga asal Reok itu mangaku, peserta pelatihan juga diberi materi terkait inklusi. Sebab, teman-teman disabilitas di Manggarai harus menikmati program pembangunan pemerintah yang ramah difabel.

“Semua fasilitas sanitasi di keluarhan ini sudah memadai tetapi saya merasa prihatin terhadap adik Akri yang tidak pernah dirujuk ke fasilitas kesehatan,” ujar perempuan yang menggunakan kursi roda itu.

Ia berharap kepada keluarga difabel agar tidak menyembunyikan identitas anak mereka karena hanya memiliki kemampuan berbeda saja dengan non disabilitas. “Kalau bisa orang tuanya terus memberikan semangat agar bisa mandiri. Belum tentu hidup bersama dengan mereka terus. Karena itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup penyandang disabilitas itu sendiri. Janganlah pandang kami dengan disabilitas kami, tetapi pandanglah kami dengan segala kemampuan kami,” terang dia.

Ia juga mengajak teman-teman disabilitas agar memberi kontribusi dan segala kemampuan kepada bangsa dan negara, sehingga tidak menjadi beban masyarakat. Dengan begitu, penyandang disabilitas bisa dihargai dan dihormati keberadaannya di dalam kehidupan bermasyarakat. (RED).

Previous articlePlan Indonesia Beri Pelatihan STBM Gesi Bagi Konsorsium Disabilitas di Manggarai
Next articleP4KF Segera Temui Gubernur dan Ketua DPRD NTT Penuhi Syarat Administrasi PKF

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here