Oleh: Rofinus Taruna Baru
Pandemi Covid-19 merupakan peristiwa global yang sangat luar biasa. Dampaknya menyebar dan melumpuhkan berbagai bidang, salah satunya dalam proses politik. Di tengah pandemi covid 19 ini terdapat 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, dengan rincian; 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di Indonesia (detik.com, 23 Juni 2019). Hal ini dilakukan dalam rangka menindaklanjuti Surat edaran Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Tahun 2020 Dalam Kondisi Bencana Non alam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Menurut saya, di tengah peristiwa ini, sangatlah tidak wajar untuk melaksanakan Pilkada. Sebab tidak satupun orang yang tahu kapan akan berakhirnya covid 19.
Lagipula, pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 yang akan digelar pada 9 Desember mendatang akan menelan banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh negara memerlukan tambahan anggaran hingga Rp 2,5 hingga Rp 5,6 triliun (Tempo. Co 5 Juni 2019). Komisi Pemilihan Umum menyatakan bahwa tambahan anggaran ini diperlukan untuk penerapan protokol kesehatan karena pilkada digelar di tengah pandemi Covid-19. Kategori ini mengacu pada jumlah pemilih di setiap tempat pemungutan suara (TPS). Dalam kategori A, jumlah pemilih setiap TPS maksimal 800 orang atau tetap sesuai yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang diubah menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016. Dari kategori ini, akan ada sebanyak 253.929 tempat pemungutan suara (TPS)
Jika Pilkada tetap dilaksanakan di masa pandemi covid 19 ini, maka hal itu akan mendatangkan kerugian baik bagi pasangan calon (kandidat) maupun bagi pemilih. Pertama, bagi pasangan calon (kandidat). Sebagaimana tertera dalam Peraturan KPU tentang perubahan ketiga atas PKPU 15/2019 tentang Tahapan, Program dan jadwal penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/ atau Wali kota dan wakil Wali Kota Tahun 2020 akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020. Pilkada ini dapat dilaksanakan dengan syarat, seluruh tahapan Pilkada harus dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan. Misalnya, kampanye tatap muka secara langsung dilakukan secara terbatas karena jarak diatur sesuai dengan protokol covid 19.
Pasangan calon (kandidat) juga dapat melakukan kampanye melalui media daring atau media sosial seperti video conference atau metode tatap muka secara virtual lain. Hal ini tentunya memberatkan pasangan calon. Sebab dalam proses kampanye tentunya perlu tatap muka secara langsung dengan masyarakat. Dalam rangka melaksanakan tatap muka secara langsung dengan masyarakat, maka mau tidak mau, suka tidak suka, pasangan calon (kandidat) harus mengeluarkan dana yang banyak. Kedua, bagi pemilih. Pemilih akan berpartisipasi dalam Pilkada ini dengan penuh kewaspadaan dan kepanikan.
Menurut saya, di tengah situasi seperti ini, Pemerintah Pusat dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya mempertimbangkan kebijakan yang diambil di tengah pandemi covid 19 ini. Artinya, ketika proses Pilkada ini akan tetap berlangsung pada bulan Desember 2020, maka segala konsekuensi harus dapat dipertanggungjawabkan oleh negara.
Pro dan Kontra Golput
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tengah pandemi covid 19 ini berpotensi munculnya Golongan Putih (Golput). Hal ini terjadi karena dalam situasi pandemi covid 19 yang sangat luar biasa ini, pemilih akan menjadi takut untuk mencoblos dan memilih pasangan calon (kandidat). Kepanikan dan ketakutan pemilih boleh jadi menjadi alasan dasar untuk menjadi golput.
Golput bukanlah sesuatu yang hanya dalam sejarah perjalanan negara Indonesia. Bahkan peristiwa ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga di negara-negara Asia lainnya. Dalam sejarahnya Golput ini mengalami keloncatan angka yang dimana sebelumnya pada Tahun 1971 berkisar 6,67 persen kini meloncat sampai 30,42 persen (historia.id,2019). Oleh karena itu, peristiwa Golongan Putih (Golput) kerap menjadi topik perbincangan publik.
Peristiwa Golput ini sering kali menimbulkan Pro dan Kontra di tengah masyarakat. Dari pihak pro ada beberapa pendapat yang menjadi alasan utama untuk menjadi Golput. Pertama, yaitu dari sisi ideologis yaitu seorang pemilih kecawa terhadap para kandidat (pasangan calon). Hal ini dapat terjadi dengan menimbang bahwa pemilih melihat bahwa semua calon yang diusung belum sesuai dengan kriteria yang dia mau. Kedua, sisi administrasi. Golput dapat terjadi karena adanya kerumitan administrasi untuk berpartisipasi dalam Pilkada. Sebab seorang pemilih yang sedang berada di luar daerahnya harus kembali ke daerahnya agar dapat terlibat dalam Pilkada. Hal inilah yang membuat pemilih menjadi kebingungan.
Sebaliknya dari pihak kontra ada beberapa alasan untuk memilih tidak mendukung golput. Golput merupakan bentuk delegitimasi terhadap proses demokrasi yang saat ini berjalan di Indonesia. Dengan memutuskan menjadi golput, maka seseoarng sama artinya tidak peduli dengan apa yang akan terjadi dengan kondisi untuk lima tahun mendatang. Menurut pihak kontra, golput bukanlah pilihan. Cara terbaik untuk melakukan perubahan politik dan demokrasi adalah menggunakan hak pilih. Golput dianggap tidak mau ikut bertanggung jawab bila kondisi politik dan demokrasi di negeri ini memburuk.
Memutus Mata Rantai Golput
Hak untuk memilih sebetulnya sudah diatur dan dilindungi konstitusi negara kita. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “setiap waraga negara memiliki hak termasuk memilih dan ikut memilih adalah bagian dari hak individu yang tidak bisa dipaksakan oleh siapapun”. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada larangan tertulis sanksi yang ketat (dalam bentuk Undang-Undang) kepada orang yang menjadi Golput, meskipun ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Oleh karena itu, saya menawarkan beberapa hal yang sekiranya bisa meminimalisir dan memutus mata rantai golput.
Saya menawarkan solusi agar tidak terjadinya golput di antaranya: Pertama, partai politik mesti mempersiapkan calonnya yang benar-benar mewakili konsistuennya di parlemen. Partai politik juga memberi pendidikan politik kepada masyarakat agar masyarakat menjadi melek politik. Kedua, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) wajib melakukan sosialisasi untuk tidak golput. Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu mesti memberikan wawasan tentang pentingnya partisipasi dalam pilkada bagi pemilih dengan contoh dan wawasan yang benar.
Pihak-pihak penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, maupun yang lainnya) mesti memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa sebagai warga negara, mereka mesti berpartisipasi dalam pesta demokrasi dengan mengambil bagian sebagai pemilih. Sebab dengan mengikuti Pilkada, hak dan kewajiban warga negara menjadi seimbang. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menuntut haknya, tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan kewajibannya. Ketiga, ketika terpilih (entah sebagai pemimpin provinsi maupun pemimpin kabupaten/kota), maka mereka mesti memberikan solusi rill dan memenuhi janji-janji selama kampanye. Selain itu, para pemimpin yang terpilih harus dapat mencegah diri dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi. Sehingga, pemilih tetap percaya pada proses demokrasi ini.
Penulis adalah Sarjana Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta, Anggota GMNI Komisariat STPMD “APMD” Yogyakarta 2017-2018, sekaligus Mantan Wakil Ketua Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (KOMAP) STPMD “APMD” Yogyakarta 2018-2019)