BORONG, BERITA FLORES — Polemik tambang semen Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timu, NTT terus bergulir. Saat ini, PT Istindo Mitra Manggarai (IMM) telah memberikan DP (Down Payment) kepada warga pemilik lahan relokasi di Kampung Satarteu. Padahal warga Lengko Lolok bersih keras menolak relokasi di lahan milik warga Kampung Satarteu.
Dari informasi yang diperoleh wartawan bahwa, sebagian warga Kampung Satarteu pemilik lahan relokasi telah menerima uang DP sebesar Rp10 juta. Lahan seluas 15 hektare tersebut rencananya sebagai tempat relokasi untuk pemukiman warga Kampung Lengko Lolok. Namun, sebagian besar warga Lengko Lolok bersih kukuh menolak rencana tersebut.
Seorang tokoh adat Kilo Welek, Domi Demas mengatakan, pihaknya tetap bersih kukuh menolak rencana relokasi ke tanah ulayat milik warga Kampung Satarteu, Desa Satar Punda. “Apabila kami terima direlokasi, bagaimana gendang kami. Ai bom lumpung bo beo Lengko Lolok hoo ga. Ini kan gendang. Lingkon pe’ang gendang onen,” ujarnya kepada wartawan di Lengko Lolok pada Jumat, 30 April 2021.
Menurut mantan Tu’a Teno Lemgko Lolok itu, apabila mereka direlokasi dan tinggal di tanah ulayat Kampung Satarteu, maka mereka bukan orang Lengko Lolok lagi, melainkan menjadi orang Satarteu. Karena telah menempati tanah ulayat milik warga Satarteu. “Begitu pun kalau kami tinggal di Kampung Luwuk, maka identitas sebagai orang Lengko Lolok hilang,” jelas Demas.
Demas mengungkapkan, jika warga Lengko Lolok mendiami tanah ulayat milik warga Satarteu, maka warga Lengko Lolok tidak bisa membawa gendang ke lokasi itu. Bahkan semua urusan adat, mau tidak mau yang harus mengikuti aturan warga Satarteu. Termasuk locang (pajak tanah adat Manggarai) wajib memberikan kepada tokoh adat (Gendang Satarteu).
“Kalau tidak, pasti bertengkar. Itu risikonya. Bahkan warga Lengko Lolok bisa diusir dan diambil kembali lahan tersebut meskipun sudah dibeli oleh warga Lengko Lolok melalui perusahaan. Sehingga, semua permintaan mereka wajib kami ikuti, tetapi bagaimana dengan gendang kami sebagai legalitas adat Manggarai. Jelas kami tidak bisa bawa gendang ke lahan milik mereka, walaupun kami sudah beli,” jelas dia.
Ia menegaskan, sebagai tokoh adat Lengko Lolok, pihaknya tidak mau dan tidak akan pindah ke mana saja tempat yang disarakan oleh pihak perusahaan. Kalau pun pindah kata dia, itu untuk generasi selanjutnya atau anak cucu mereka. “Tetapi kalau kami, sudah tidak mungkin mau pindah dari kampung ini,” beber Demas.
Demas menegaskan, jika saja perusahaan melakukan pemaksaaan, maka itu tidak sesuai dengan aturan atau kesepakatan yang sudah dibuat bersama warga Lengko Lolok. Sementara kata dia, warga Lengko Lolok merupakan pemilik kampung tersebut. “Kalau kami ikut perusahaan, bagaimana dengan kesepakatan “Abadi Kampung”. Makanya kami sudah bertanya kepada mantan Direktur PT Istindo Mitra Manggarai Didimus Soe, kalau tidak lagi bekerja dengan perusahaan, bagaimana dengan kesepakatan kami,” tandas dia.
Meski begitu, pihaknya belum mengetahui informasi bahwa warga kampung Satarteu sebagai pemilik lahan relokasi untuk warga Kampung Lengko Lolok sudah menerima DP (Down Payment) sebesar Rp10 juta dari PT Istindo Mitra Manggarai (IMM) perusahaan tambang batu gamping. “Kami tidak pernah meminta untuk pindah di tanah ulayat milik kampung Satarteu,” ungkap dia.
Namun demikian, ada juga lokasi yang ditawarkan pihak perusahaan di tanah ulayat milik warga Kampung Lengko Lolok sendiri, namun menurut Demas, pihaknya tidak ingin pindah ke lokasi tersebut karena tidak cocok untuk dijadikan sebuah tempat pemukiman. Di mana, lokasi itu diapiti batu cadas dan tebing tinggi. “Sehingga kami sekarang masih mempertimbangkan yang terbaik,” pungkas dia.
“Kami ini sudah mengorbankan 8 ekor kerbau untuk membentuk sebuah kampung adat Manggarai yang resmi. Semua kerbau tersebut dikurbankan, karena memiliki makna adat Manggarai yang sangat sakral. Termasuk pengorbanan seekor acu buta dan seekor ela berat untuk bersumpah dengan naga beo (roh kampung,” pungkas dia.
Acara Adat Paki Kaba (Sembelih Kerbau)
Pada tanggal 24 Juli 1953 diadakan acara paki kaba wecek cocok menandai pembukaan Lengko Lolok sebagai beo rame. Saat itu Lengko Lolok mendapat tambor, dan diperkenankan untuk mengadakan kegiatan adat caci. Tanggal 12 November 1956 diadakan acara paki kaba wete wase agu poka haju. Paki kaba ini bertujuan untuk memohon dilindungi ketika mengerjakan kebun. Setahun kemudian, tepatnya 13 Juli 1957 diadakan acara paki kaba tegi woja agu latung. Paki kaba ini dimaksudkan untuk memohon berkat bagi kesuburan tanah, sehingga mendapatkan panenan padi dan jagung yang melimpah.
Pada tanggal 25 Juli 1958 diadakan acara paki kaba di Bea Mberong, untuk memohon diberikan kesuburan bagi lahan (tanah) yang sudah dibagi kepada setiap warga kampung.Tanggal 9 Juli 1961 diadakan acara paki kaba tegi wae tiku, memohon diberikan air minum bagi kampong Lengko Lolok.
Pada tanggal 1 November 1963 diadakan acara paki kaba buka gendang. Artinya, kampung Lingko Lolok diberikan kewenangan untuk memiliki gendang sendiri (beo rame). Gendang diberikan oleh kampung asal, yakni Ngendeng. Pada saat acara buka gendang tersebut ada delapan kilo yang mendiami kampung Lingko Lolok, yakni: pertama, kilo Lantar terdiri dari Petrus Delo, Agustinus Maga, Yosep Nemo, Titus Tober, D. Ntahur, dan Lopo Uju. Kedua, kilo Welek terdiri dari Paulus Dani, Paulus Gaus, dan S. Netas. Ketiga, kilo Lamba, Andreas Lada. Keempat, kilo Reca,Yohanes Jandu. Kelima, kilo Sumba, Petrus Jama. Keenam, kilo Wudi Wajang, Yohanes Baas. Ketujuh, kilo Ketang, Lukas Mboat. Kedelapan, kilo Nawang Wuni, R. Nggaung.
Acara paki kaba 1 November 1963 dihadiri para tua adat dari sejumlah kampung, yakni: pertama, Luwuk diwakili Lopo Kantor, Raymundus Ronta, Markus Namok, dan Bernadus Ganda. Kedua, Cepang diwakili Lopo Ngero. Ketiga, Rihut diwakili Lopo Nabi. Keempat, Wae Rambung diwakili Lopo Pangkang. Kelima, Rana Masa (kini kampung Mengge) diwakili Lopo Edar. Keenam, Nempong diwakili Lopo Sember dan Lopo Jerek. Ketujuh, Hedok diwakili Lopo Joma. Kedelapan, Wae Ruek diwakili Lopo Ganur. Kesembilan, Larok diwakili Lopo Ganggus. Kesepuluh, Kodo (kini kampung Golo Pau) diwakili Lopo Hasa. Kesebelas, Rujung diwakili Lopo Ndasak. Keduabelas, kilo Nawang diwakili Herman Bocok dan Andreas Ande. (RED)