Ruteng, Beritaflores.com – Penyaluran pupuk bersubsidi di Nusa Tenggara Timur (NTT) menuai sorotan Anggota Komisi II DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur, Simprosa Rianasari Gandut.
Sorotan Politisi besutan partai Golongan karya (Golkar) yang akrab disapa Osy Gandut itu muncul lantaran proses penyaluran pupuk subsidi di NTT saat ini, khususnya di wilayah bagian Flores dinilai tidak tepat sasaran.
Menurut Osy, masalah penyaluran pupuk ini salah satunya disebabkan karena pendataan Rencana Defensif Kebutuhan Kelompok (RDKK) oleh penyuluh pertanian tidak terupdate dengan baik.
Hal ini disampaikan Osy dalam kunjungan kerja Komisi II DPRD Nusa Tenggara Timur bersama Dirjen Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia di Jakarta, pada Rabu 19 Februari 2025.
“Di daerah kami, di Flores, saya tidak tau di daerah lain, di kabupaten lain di NTT, satu penyuluh itu dia membawahi 5 sampai dengan 6 desa, sementara realitasnya di lapangan, Flores itu adalah daerah pertanian baik pertanian sawah basah dan pertanian sawah kering”, kata Osy.
Padahal, menurut Osy, NTT mestinya tidak mengalami kekurangan pupuk karena ada penambahan kuota.
Walau demikian, faktanya penyaluran pupuk yang tidak merata dan tepat sasaran tetap menjadi persoalan utama ditengah masyarakat.
“Saat ini kouta pupuk bersubsidi tingkat nasional mengalami peningkatan dari 4,5 juta ton tahun 2024 menjadi 9, 5 ton pada tahun 2025. Kita di NTT juga mendapat penambahan kouta pupuk yaitu 156. 512 ton pada tahun 2025”, bebernya.
Dengan begitu, untuk mendapatkan pupuk sekarang sangatlah mudah sebab kuota pupuk secara Nasional naik.
“Sebenarnya tidak kesulitan juga mendapat pupuk karena secara nasional kouta pupuk naik, berarti NTT juga mendapat kenaikan. Dan antara kabupaten itu kalau di kabupaten A kuotanya melebihi kebutuhan petani maka itu bisa dipindahkan ke kabupaten lain hanya dengan surat dari kepala dinas, tidak melalui kepala daerah lagi, jadi itu prinsipnya “, jelasnya.
Jumlah Penyuluh Pertanian Sedikit Berimbas Data RDKK Bermasalah
Osy menerangkan jika sedikitnya jumlah petugas penyuluhan pertanian sangatlah tidak sebanding dengan luasnya cakupan wilayah kerja mereka sehingga berdampak pada proses pendataan RDKK yang tidak efektif dan terupdate.
Belum lagi, beber Osy, masalah kesejahteraan seperti uang akomodasi para penyuluh sangat kecil bahkan ada dari mereka yang masih bekerja secara sukarela.
“Jumlah penyuluh kita itu terlalu sedikit, sementara wilayah kerjanya luas (satu orang penyuluh bisa membawahi 5 sampai 6 desa) dan topografi daerah kita itu juga tidak mendukung”, ujarnya.
Terkait soal ini, jelas Osy, informasi dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia telah ada kebijakan kenaikan Biaya Operasional Penyuluh (BOP). Selain itu, juga direkomendasikan untuk penambahan tenaga penyuluh.
“Kalau soal kesejahteraan penyuluh kemarin saya juga singgung, informasinya kementerian pertanian akan menarik semua penyuluh ke pusat, penyuluh akan digaji oleh pusat, tapi belum tau kapan realisasinya”, kata Osy. (**)
Laporan: Yondri Ngajang
Editor: Andy Paju