Oleh Alfred Tuname
Melalui press release-nya (www.jatam.org, 14/4/2018), JATAM menyebarkan paranoianya kepada masyarakat Manggarai Timur (Matim). Isi paranoia tersebut adalah soal korelasi tambang dan Pilkada Matim 2018. Paranoia JATAM pun tersebar di media-media.
Tentu saja, mempersoalkan tambang dan politik Pilkada adalah tugas yang luhur. Bahwa tambang tidak boleh masuk dalam Pilkada melalui skema cerdik apa pun. Melawan ijon politik tambang sudah menjadi bagian dari advokasi dan agenda JATAM.
Di perhelatan Pilkada di berbagai tempat, JATAM secara aktif mengadvokasi rakyat untuk melawan tambang dan proses politik yang menginisiasi investasi tambang tersebut. Advokasi tersebut bertujuan agar masyarakat memiliki kesadaran politik dan sosiologis bahwa tambang berdampak pada kehacuran generasi, baik alam maupun manusianya. Tambang pun dilihat sebagai monster Frankenstein yang membunuh kelangsungan hidup manusia dan lingkungan.
Advokasi JATAM tersebut tentu mendapat sambutan baik dari kelompok-kelompok anti-tambang lainnya. Walhi, JPIC, Green Peace, dll., ambil peran unisono bersama JATAM. Agenda bersamanya adalah lawan Frankenstein tambang. Di NTT, di Manggarai Raya khususnya, aktivisme perlawanan tambang di-design oleh kelompok organisasi tersebut.
Celakanya, aksi advokasi JATAM tampak bermain di air keruh. Paranoia JATAM berujung pada provokasi politis, temasuk konsekuensi uquivocal atas penyataan JATAM. Lepas dari telos filosofisnya yang menegakan nilai-nilai HAM dan lingkungan, JATAM tampak memaksa diri masuk dalam lingkaran kepetingan politi Pilkada. Akibatnya, story of paranoid JATAM atas tambang justru terbaca sebagai bahan baku manuver politis JATAM dalam kontestasi Pilkada.
Persis atas itulah problematika press realese JATAM dan berita perihal ijon politik tambang di Matim. Dalam press release berjudul “Pilkada Matim Di bawah Bayang-Bayang Pengusaha Tambang”, JATAM menuding para kandidat dalam Pilkada matim tidak ada rekam jejak yang jelas dalam menolak atau mendukung perjuangan masyarakat dalam menolak tambang. Tudingan tersebut tentu sangat tidak berdasar atau boleh jadi paranoia JATAM terlanjur menjadi delusi politik sehingga memunculkan fiksi atau rekaan dalam tudingan tersebut.
Fiksi JATAM tersebut lahir dari proses pembacaan yang gagal atas proses politik Matim. Kalau publik Matim mencermati secara saksama atas visi, misi, dan program setiap kandidat dalam Pilkada Matim, tak ada satu pun yang berpendirian pro investasi tambang. Itu artinya, investasi tambang bukan manjadi bagian dari proses pembangunan Matim. Di Matim, tambang telah dieksklusi dari benak dan alur politik kebijakan Matim.
Selain itu, dalam Pilkada Matim, perhatian kandidat diarahkan kepada peningkatan kualitas hidup manusia (pendidikan dan kesehatan), kesejahteraan (ekonomi dan pertanian), pemerintahan yang bersih, pembangunan masyarakat desa dan infrastruktur sebagai faktor percepatan pembangunan. Peningkatan PAD Matim juga menjadi perhatian, tetapi tidak melalui investasi tambang, melainkan peningkatan pajak, retribusi, dan pendapatan-pendapatan lain yang sah. Hal itu juga terucap dalam debat publik Pilkada Matim (06 April 2018).
Dengan demikian, tak ada tambang di Pilkada Matim. Boleh jadi, tanpa melalui alur investasi yang matang, JATAM terpaksa “main tuding” agar suaranya bisa didengar dan seakan masih punya power sosial serta masuk jadi “pemain” dalam Pilkada Matim. Hipotesis politik sementaranya, fiksi JATAM dalam press realease dengan barisan kontak person menjadi salah entry point JATAM masuk sebagai “pemain baru” dalam Pilkada Matim. Mungkin saja (hanya mungkin), JATAM tak mau ketinggalan kereta dalam “gawean” besar dalam politik Pilkada. Agak mustahil apabila “breaking eggs without getting an omelette”. Karenanya, obral “tudingan” menjadi salah satu manuver politis JATAM masuk dalam lingkaran Pilkada.
Mungkin saja paranoia JATAM terlanjur didasarkan atas kasus-kasus ijon politik Pilkada dan obral izin tambang di daerah lain. sebagai misal, 35 izin tambang pada 13 Februari 2018 atau dua pekan sebelum penetapan pasangan calon di Jawa Barat. Di Jawa Tengah ada obral 120 izin tambang pada Januari 2018. JATAM sendiri mencatat 82,4% dari 8.710 IUP di Indonesia berada di daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2018 (bdk.www.gatra.com, 15/3/2018).
Akan tetapi, data tersebut tidak seraya disimpulkan secara totum pro parte. Budaya, karakter dan integritas suatu masyaraka dan calon pemimpin tentu saja berbeda. Tak adil jika persoalan politik di tempat lain dipaksakan menjadi bahan persoalan politik yang sama di daerah lain. JATAM juga tidak bisa menggunakan data tersebut untuk menuding Pilkada Matim 2018. Toh, JATAM juga seharusnya punya data bahwa masyarakat Matim adalah masyakarat agraris dengan sumbangan PDRB harga konstan sebesar 43,95 persen atau pertumbuhannya 3,3 persen pada tahun 2018 (menurut data BPS Matim). Sektor perdagangan dan informasi dan komunikasi juga menyumbang sebesar 11,49 persen dan 11,92 persen. Jadi pertumbuhan ekonomi Matim tidak ditentukan oleh pertambangan (kecuali pasir galian C). Perhatian politik kebijakan Pemda Matim pun tentu diarahkan untuk sektor agraris, jasa, IT dan konstruksi, bukan pertambangan.
Jika memang JATAM menggunakan datanya untuk meningkatankan kewaspadaan kepada masyarakat dan kandidat, maka tujuannya tentu baik. Masyakarat Matim dan semua kandidat dalam Pilada 2018 Matim juga tentu sepakat. Persoalannya, JATAM tidak menggunakan skema persuasif, malainkan tudingan imperatif dalam advokasinya. Cara JATAM yang menggunakan kuasa sipilnya untuk “obral” tudingan bukan cara advokasi etik dan elok.
Obral tudingan JATAM tentu akan mengganggu proses Pilkada Matim. Di lain pihak, JATAM tentu juga akan gusar jika dituding sebagai boneka perusahan tambang dalam “memukul” kompetitornya. Seperti pada tahun 2012 silam, blogger Nita Au Batuwael menulis JATAM mendapat “bantuan” dari PT. Indo Muro Kencana, perusahanaan yang 100% kepemilikan sahamnya dimiliki oleh STRAIT, sebuah perusahaan tambang Emas di Australia-juga memiliki saham di Freeport (bdk. kompasiana, 2/3/2012).
Tentu, aksi menuding tidaklah etik jika bukan lahir dari in-depth investigation. Jadi, jika memang alur advokasi JATAM adalah preventif, JATAM bisa saja mengundang setiap kandidat dalam Pilkada untuk mendeklarasikan Pilkada anti-tambang. Cara persuasif ini rasa-rasanya lebih beradab tinimbang harus menuding keras, menduga kuat, mendakwa dan lain sebagainya.
Akhirnya, mari menggunakan kekuatan gerakan civil society untuk kepentingan kebaikan bersama, tanpa terjerumus dalam rasionalitas intrumental. Bukankah perjuangan nilai-nilai kemanusiaan (HAM) tidak berarti merendahkan manusia yang lain? Jika ingin berpolitik, berpolitiklah secara etik. Biarlah rakyat Matim ber-Pilkada secara damai. Salam environmentalist!!
Alfred Tuname,
Penulis buku “le politique”