RUTENG, BERITA FLORES – Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) menilai Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur Juni 2018 mendatang berpotensi ditunggangi oleh para pebisnis tambang. Hal ini terlihat dari rekam jejak para calon yang buruk terkait pertambangan di Kabupaten Manggarai Timur.
“Ada kandidat yang pemain lama, dan rekam jejaknya tidak baik dengan mengobral izin,” kata aktivis Jatam Melky Nahar saat Diskusi Publik dengan tema “Ijon Politik Pilkada Serentak Melanggengkan Krisis Sosial Ekologis” di Sekretariat Puspas Ruteng pada Jumat, 13 April 2018.
Adapun empat pasangan calon bupati yang telah ditetapkan KPUD adalah Agas Andreas-Stefanus Jaghur yang diusung oleh Partai PAN, PKS dan PBB, Tarsi Sjukur-Yoseph Biron Aur yang diusung Partai PKB, PKPI dan Hanura, Fransiskus Sarong-Kasmir Don, yang diusung Golkar dan Gerindra, Marselis Sarimin-Paskalis Sirajudin yang diusung oleh Partai NasDem, PDI-P, dan Demokrat. Sedangkan paket Bonefasius Uha-Fransiskus Anggal (Paket NeRa) maju melalui jalur independen.
Berdasarkan data Jatam, semua kandidat tersebut tidak memiliki rekam jejak menolak tambang di Manggarai Timur. Bahkan Melky menyebut cabub Agas Andreas dari paket Aset merupakan wakil bupati dua periode yang telah menerbitkan sebanyak 17 izin tambang di daerah itu.
“Persoalan Manggarai Timur begitu kasat mata. Salah satunya terkait pertambangan. Sebuah investasi yang telah lama menjadi momok menakutkan bagi masyarakat Manggarai Timur,” ujarnya.
Menurut data Jatam, aktivitas eksploitasi pertambangan di wilayah Manggarai Timur meliputi; Kampung Serise, Satar Teu, Lengko Lolok, Tumbak, Desa Satar Punda, Weleng, Desa Nampar Tabang, Kecamatan Lamba Leda dan Legurlai, Kecamatan Elar.
“Telah lama merampas lahan produktif masyarakat, merusak hutan, ritus budaya, dan pantai. Bahkan tak sedikit masyarakat diintimidasi hingga berujung mendekam dibalik jeruji besi hanya karena mempertahankan tanah ulayatnya,” tukasnya.
Ironisnya kata dia, konflik berkepanjangan di sektor pertambangan ini, tidak mendapat perhatian dari rezim Yoseph Tote dan Agas Andreas (Peket Yoga). Rezim Yoga tampak berada di pihak perusahaan tambang. Sementara rakyat telah berjalan sendirian tanpa ada perlindungan.
Kini, Pilkada Manggarai Timur kembali akan digelar 27 Juni 2018 mendatang. Hampir semua pasangan calon tidak ada yang menyentil soal masalah masyarakat di daerah lingkar tambang.
“Soal bagaimana mengembalikan tanah-tanah ulayat yang telah lama diklaim kepemilikannya oleh perusahaan tambang. Soal relasi sosial antar masyarakat yang telah lama porak-poranda. Tidak ada upaya pemulihan sosial-ekologis yang telah lama hancur akibat ulah pemerintah dan perusahaan tambang,” tegasnya.
Dengan begitu kata Melky, pihaknya menilai Pilkada Manggarai Timur pada Juni 2018 sebagai ajang untuk merebut kuasa. Juga merebut jabatan bagi segelintir elit politik, serta tim sukses. Bahkan ada kecenderungan ditunggangi para pebisnis tambang.
Masih menurut Melky, hal ini cukup beralasan, mengingat Kabupaten
Manggarai Timur yang sebelumnya memiliki 17 Izin Tambang. Ada tiga izin tambang yang masih aktif, yakni PT. Aditya Bumi Pertambangan di Tumbak, PT. Perkasa Alam Energi di Laci – Weleng, dan Istindo Mitra Perdana di Serise.
“Kami melihat dibalik kontestasi Pilkada Manggarai Timur, perusahaan-perusahaan tambang ini diduga kuat ikut bermain melalui praktik ijon politik untuk mendapatkan jaminan kenyamanan dan keberlangsungan investasi,” tandasnya.
Lanjut dia, salah satu pendekatan yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah dengan menunggangi dan mengendalikan para kandidat melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai bagian dari praktik ijon politik.
“Investasi pertambangan menjadi salah satu bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi, mengingat tidak sedikit modal finansial yang dibutuhkan untuk berkontestasi dalam Pilkada,” ucapnya.
Terpisah, Pater Alsis Goa, OFM dengan rekam jejak seperti itu, tidak menutup kemungkinan bagi pengusaha untuk memanfaatkan tahun politik ini untuk memuluskan kepentingan mereka. Bahkan, kata dia, patut diduga akan ada transaksi politik para calon bupati dengan pihak yang berkepentingan.
Pater Alsis mengatakan hal ini semakin berpotensi karena ongkos politik yang mahal. “Mereka bisa saja ditawarkan jaminan politik (biaya kampanye) untuk memuluskan kepentingan para pengusaha,” tegas dia.
Berdasarkan Laporan Direktorat Litbang KPK pada 2015, bahwa setidaknya dibutuhkan biaya Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar untuk menjadi Bupati atau Walikota. Sementara untuk menjadi calon Gubernur bisa mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar.
“Kebutuhan biaya yang tidak sebanding dengan jumlah kekayaan para kandidat yang ikut berkontestasi,” terangnya. (NAL/FDS/BEF).