Oleh Alfred Tuname
Di Manggarai Timur, NTT, nasib petani dicederai oleh kebijakan perihal pupuk bersubsidi. “Ketahanan” petani runtuh oleh kelangkaan stock dan malpraktik proses pendistribusian pupuk bersubsidi. Petani yang dirugikan sontak berang dan bertindak “garang”. Pilihannya adalah beramai-ramai menuju pemangku kebijakan di Manggarai Timur.
Puluhan petani Desa Paan Leleng (Kota Komba) bersama Serikat Rakyat Miskin Indonesia/SRMI Eks, LMND, Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Gertak) mendatangai Kantor Bupati dan DPRD Manggarai Timur, pada Kamis 11 Januari 2018 (kupang.tribunnews.com, 11/1/2018) . Orasi dilakukan sebagai bentuk unjuk rasa kecewa.
Masyarakat petani Paan Leleng sedang kecewa karena pupuk belum tersedia, sementara musim tanam sudah dimulai. Tanpa pupuk, aktivitas produksi pertanian mandeg. Tanpa pupuk, gairah bertani sepi. Rendahnya tingkat produksi dan gairah bertani dapat berdampak pada rendahnya pendapatan petani itu sendiri.
Petani Paan Leleng itu petani tradisonal. Tingkat kesejahteraan mereka bergantung pada kesempatan mereka bekerja sebagai petani. Jika pupuk adalah sebab mereka bekerja, maka perhatian pemerintah adalah memastikan ketersediaan pupuk dan kelancaran distrubisi pupuk.
Di Manggarai Timur, persoalan kelangkaan pupuk dirasakan oleh nyaris semua petani di 9 (sembilan) kecamatan. Mereka berteriak soal kelangkaan pupuk. Pupuk Phonska, ZA, Urea tidak ada. Sudah ada kelompok tani sebagai syarat untuk menerima bantuan pupuk bersubsidi. Tetapi pupuk bersubsidinya tidak tersedia. Jika pupuknya tersedia, proses distribusi selalu bermasalah. Di situlah mekar praktik nepotisme dan permainan harga.
Harga pupuk bersubsidi yang seharusnya sangat murah, “dimainkan” dengan harga sangat tinggi. Maklum karena langka, pupuk bersubsidi juga dimainkan dengan mengikuti hukum harga. Supply sedikit, demand tinggi, harga naik. Pupuk bisa tembus harga Rp 375 (Voxntt.com, 2/1/2018). Harga ini mencekik petani.
Tidak dipungkiri juga terjadi nepotisme dalam proses penerimaan pupuk bersubsidi. Nepotisme mengakibatkan kecemburuan sosial dan konflik atau gesekan sosial pada masyarkat petani.
Nepotisme adalah problem serius dalam proses distribusi pupuk bersubsidi. Sebab sebanyak apa pun stock pupuk, tetap saja ada petani yang tidak mendapatkan pupuk. Penimbunan pun terjadi. Artinya, kelangkaan persediaan pupuk bukan karena “kondisi alami”, tetapi karena penimbunan tersebut.
Demontrasi masyrakat desa Paan Leleng di Kantor Bupati dan DPRD Manggarai Timur tidak lepas tersebut di atas. Ada nepotisme yang terjadi. Dugaannya, nepotisme tampak “logis” terjadi, sebab Kepala Dinas Pertanian Manggarai Timur Silvester Djerabat juga berasal dari kampung Neros, desa Paan Leleng. Jika nepotisme benar-benar terjadi, maka yang bukan bagian dari keluarga/kerabat dekat tidak akan mendapat akses ke pupuk bersubsidi.
Masyarakat petani Manggarai yang kental budaya permisif, tidak akan melakukan demonstrasi apabila kelangkaan pupuk tidak disertai sakit hati karena nepotisme. Satu kelompok masyarakat tidak merasakan kelangkaan pupuk yang sama. Dalam satu desa, ada kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan akses pupuk bersubsidi, sementara kelompok lain (mungkin karena keluarga/kerabat pejabat dinas) mendapatkan pupuk bersubsidi secara gratis atau harga sangat murah.
Jika demikian adanya, maka kemarahan dan kekecawaan masyarakat desa Paan Leleng bisa dimaklumi. Perjuangannya bukan hanya soal hak petani atas pupuk bersubsidi tetapi juga soal keadilan dalam proses distribusi pupuk. Jika pemerintah Manggarai Timur peka, maka penyelesaianya bisa dilakukan dengan menyiapkan pupuk untuk masyarakat petani.
Selain itu, penyelesaian secara struktural. Artinya, evaluasi birokrasi Dinas Pertanian Manggarai Timur. Punishment harus diberikan kepada oknum dinas yang “bermain” dalam pendistribusian pupuk. Sebab, malpraktik dalam Dinas Pertanian telah merusak kinerja pemerintah daerah sekaligus merendahkan derajat petani. Tentu ada juga reward kepada mereka yang berprestasi. Bukankah “cengka ciko” itu mesti dimulai dari Lehong?
“Cengka ciko” birokrasi adalah kinerja aparat pemerintah birokrasi yang sesuai dengan prinsip good governance. Ada soal accountability, strategic vision, effectiveness and efficiency, equity, concensus, transparency, rule of law dan participation. Intinya, jujur, pro rakyat dan bersih (tidak makan hak rakyat). Karena itu, Joko Widodo bilang, “kerja, kerja, kerja”. Seandainya, “cengka ciko” birokrasi berhasil, program “cengka ciko” pada masyarakat juga akan berhasil.
Nah, dalam konteks ini, jika ada “cengka ciko” di Dinas Pertanian Manggarai Timur, maka “cengka ciko” untuk masyarakat petani pasti berhasil. Program yang bagus tetapi enggan untuk dilaksanakan akan berbuah inefisiensi dan malpraktik kebijakan. Terjadilah problem kelangkaan dan distribusi pupuk. Tak adil pula bila jawabannya hanya melempar tanggung jawab kepada pihak-pihak lain. Masyarakat petani tidak suka!
Emansipasi
Mayoritas rakyat Indonesia adalah petani. Dari petani modern sampai petani tradionsional, semuanya membangun Indonesia untuk ketercukupan pangan. Indonesia yang kental dengan berbudaya agraris juga karena masyarakatnya petani.
Oleh sebab itu, penghargaan terhadap petani harus dirumuskan dengan kebijakan yang pro petani. Kebijakan yang salah terhadap petani sama artinya dengan penghinaan terhadap bangsa Indonesia. Masa depan petani adalah masa depan Indonesia.
Tidaklah berlebihan apabila Presiden Soekarno melalui Kepres No.169/1963 menetapkan tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional. Hal itu dimaksudkan agar perhatian negara terhadap kesejahteraan petani harus terus ditingkat. Prinsipnya, petani sejahtera, Indonesia jaya.
Presiden Joko Widodo menaruh perhatian lebih pada sektor pertanian dengan mempercepat target swasembada dan ketahanan pangan. Kebijakan pengurangan ketegantungan impor beras, pembagian peralatan pertanian, penerapan Undang-Undang Lahan Pertanian Berkelanjutan (LP2B), peningkatan anggaran Kementerian Pertanian dan lain sebagainya. Semua itu demi perwujudan kesejahteraan petani.
Semua kebijakan dan program pro petani adalah upaya mengangkat derajat petani. Stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap petani mesti dilawan program dan kebijakan yang baik. Semua bentuk perhatian pemerintah dan berbagai jaringan stakeholder terhadap petani merupakan upaya emansipasi petani.
Emansipasi itu, secara etimologis, dari kata “ex manus capere”. Artinya bebas dari genggaman. Jadi, emasipasi petani adalah upaya membebaskan petani dari cengkraman kemiskinan, eksploitasi kapitalistik dan pemerasan terhadap hak-hak petani. Bukankah petani sejahtera, bangsa akan jaya?
Mari rapatkan barisan untuk petani Indonesia!
Alfred Tuname –Penulis dan Esais