LABUAN BAJO, BERITAFLORES –
Sejumlah tokoh masyarakat mendesak Bupati Manggarai Barat, NTT, Edistasius Endi, segera mengatasi masalah terkait pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat mensyaratkan Perda dalam proses pengurusan sertifikat tanah dari 138 warga wilayah lingko Nerot.
Wilayah Lingko Nerot ini merupakan wilayah adat Terlaing, Kecamatan Boleng, yang terletak di wilayah administratif Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, Labuan Bajo.
Alfons Dambut selaku salah satu tokoh masyarakat wilayah setempat, lalu pertanyakan soal perda yang mensyaratkan soal kepengurusan sertifikat tanah itu.
“Untuk apa lagi buat itu Perda? Kan ada aturan. Ikuti sesuai aturan saja yang ada di BPN,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Beritaflores, pada Rabu 23 April 2025.
Berdasarkan keterangan Dambut, pada tahun 2019 lalu, ada sebanyak 143 warga mengajukan penerbitan sertifikat ke BPN.
Setelah semua dokumen dinyatakan lengkap, pendaftaran kemudian dilakukan dan ratusan masyarakat itu menyetor uang pendaftaran sekitar 100 juta lebih.
“Sebanyak 5 sertifikat sudah terbit sementara yang lain tidak terbit”, katanya.
Kemudian, jelas Dambut, pada tanggal 20 Agustus 2021, Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi menyurati Kepala Kantor Pertanahan Manggarai Barat.
Isi surat sebagai tanggapan atas permohonan dari BPN, merujuk pada petunjuk terkait permasalahan wilayah administrasi desa, wilayah administrasi adat dan kelembagaan adat di lokasi Menjerite.
“Dalam surat Bupati itu sudah terang benderang menjelaskan bahwa lokasi Nerot dan Menjerite wilayah desa masuk kelurahan Wae Kelambu, sementara Nerot wilayah adat Terlaing dan Menjerite adalah Lancang”, katanya.
Posisi wilayah ini, sambung dia, makin kuat ketika ada putusan Mahkamah Agung dalam perkara Terlaing dengan Bona Abunawan.
“Terutama soal isu Perda, kami minta Bupati Mabar segera berkoordinasi dengan BPN untuk atasi persoalan ini,” demikian kata mantan Kadis Infokom Mabar ini.
Belakangan ini, ujar Dambut, isu korupsi BPN Mabar dan persyaratan Perda dalam persyaratan sertifikat di Mabar, ramai dibicarakan di ruang publik dan media.
Menurutnya, tuntutan Perda BPN Mabar dalam proses sertifikat di wilayah Nerot dan Bale sangat tidak masuk akal bahkan berbahaya yang memicu gelombang protes dan bisa bergerak ke arah konflik.
“Entah kapan Perda itu terbit, kita tidak tahu. Apakah kita tunggu Perda yang tidak jelas itu? Saya tidak mengerti, sudah banyak sertifikat yang sudah terbit di wilayah itu tanpa tunggu Perda,” ujar Dambut yang juga pengajuan sertifikatnya ikut ditolak BPN.
Aroma Korupsi di BPN Mabar Tercium
Sementara itu, Dambut juga mencium adanya aroma korupsi dalam pengurusan sertifikat 138 warga di Nerot dan Bale.
“Lima tahun lalu kami sudah stor pembiayaan sekitar ratusan juta. Dan uang itu telah masuk ke kas negara. Di mana uang itu sekarang. Ada apa dengan BPN?,” tanya Dambut.
Karenanya Dambut menduga, jika BPN Mabar telah menyalagukan wewenang selama lima tahun berjalan pengurusan sertifikat tanah di Nerot dan Bale.
Maka dari itu mewakili 138 warga lain, Alfon Dambut, Mikhael Antung, Yosef Yakop dan Berto akan melaporkan dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang BPN Mabar ke Unit Tipikor Kejaksaan, Kamis 24 April 2025.
“Kami lagi kumpulkan bukti storan. Dan kami siap terangkan semuanya dihadapan penyidik,” kata Dambut.
“Pada pertemuan tanggal 17 April kemarin antara Kajari, Bapak Sarta, SH dan para staf dengan 3 orang warga yaitu Bapak Alfon Dambut, Yosep Yakop dan Berto, selain menjelaskan soal Perda, kami berkonsultasi berkaitan dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang BPN Mabar. Dan Pak Kajari siap atensi,” sambungnya.
Selain Dambut, Tua Golo Terlaing, Bonefasius Bona juga mengatakan BPN tidak mesti menuntut ke Pemda Mabar untuk menerbitkan Perda dalam mesyaratkan pembuatan sertifikat di Nerot dan Bale.

“BPN tidak konsisten. Kan BPN lembaga tersendiri, dia punya aturan tersendiri, ya, dilaksanakan saja,” terang Bonefasius yang juga salah satu sertifikatnya sudah terbit di Nerot.
Menanggapi soal itu, Pengacara masyarakat adat Terlaing, Benediktus Janur mengatakan semua tanah di wilayah Nerot dan Bale, sudah milik perorangan, tidak ada lagi milik komunal.
“Jika tuntutan BPN Mabar ini dilaksanakan, konsekwensi semua sertifikat di wilayah itu dibekukan. Selain itu warga juga menuntut ke BPN untuk menghentikan proses sertifikat di Mabar karena tanah milik warga asal usulnya tanah komunal,” kata pengacara yang akrab disapa Beny ini.
Sebagaimana dilansir dari pemberitaan Inakoran.com, ada sebanyak 138 warga sudah melapor BPN ke polisi dan kejaksaan.
Diberitakan bahwa empat orang yang mewakili 138 warga Manggarai Barat, mengajukan pengaduan atas kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat.
Alasan BPN karena ada sanggahan dari Edu Gunung sekeluarga dan Saudara Bonafantura Abunawan.
Atas arahan BPN, ratusan warga itu sudah tempuh jalur hukum dan sudah ada keputusan Mahkamah Agung, hingga saudara Bona Abunawan di penjara.
Setelah ada keputusan MA, para warga kembali surati BPN untuk melanjutkan proses penerbitan, tetapi lagi-lagi tidak ada respon dari BPN.
Dasar itu, mereka mempertanyakan kinerja BPN Manggarai Barat, sebagai berikut:
Pertama, bagaimana penggunaan uang mereka yang disetorkan 5 tahun lalu. Mereka menduga uang itu sudah dimanipulasi atau dikorupsi.
Kedua, di lokasi yang mereka ajukan sudah banyak terbit sertikat dan kebanyakan orang luar
Ketiga, tanah yang mereka ajukan sudah milik pribadi. Untuk alas hak dibuat berdasarkan dokumen di wilayah itu.
Keempat, sudah lima tahun proses ini terlunta-lunta dan pihak BPN tidak pernah melakukan mediasi.
Kelima, Bupati Manggarai Barat sudah menyampaikan surat resmi ke BPN bahwa tanah yang kami ajukan, asal muasal dari wilayah adat Terlaing. Ketika ada sanggahan maka proses pengadilan dilskukan hingga MA.
Keenam, pihak BPN meminta Perda untuk melanjutkan proses penerbitan. (**)
Laporan: Adrianus Paju