RUTENG, BERITAFLORES – Proyek Penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (Pamsimas) di Desa Golo Ros, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, NTT dikeluhkan warga.
Pasalnya, kehadiran proyek Pamsimas itu tidak seutuhnya bertujuan memenuhi kebutuhan air minum bersih warga desa, namun memicu polemik akibat distribusi air yang tidak merata.
Sebut saja di dusun Kawit, salah satu dari empat dusun yang ada di desa Golo Ros. Ada pengakuan berbeda dengan tiga dusun lainnya, di mana warga dusun Kawit ini sama sekali tidak mendapat manfaat atas realisasi proyek Pamsimas itu.
Musababnya, pipa saluran air yang telah tersambung rapi menuju dusun ini mubazir adanya. Tidak ada aliran air sama sekali yang dapat dimanfaatkan warga dusun.
Satu-satunya sumber air warga dusun ini hanyalah sungai. Walau begitu, jauhnya lokasi sungai itu menimbulkan masalah pelik bagi sebagian warga dusun yang tidak memiliki kendaraan bermotor.
Di sisi lain, kondisi ini dijadikan ladang bisnis oleh warga lain yang memiliki kendaraan bermotor dengan menjual kembali air sungai yang ditimba kepada warga lain yang tak mampu menjangkau ke lokasi.
Padahal di daerah dusun Kawit ini juga terdapat sejumlah lembaga-lembaga penting pemerintahan seperti sekolah, Pustu, termasuk kantor desa.
“Kami kesulitan. Kalau yang punya motor, mereka bisa langsung mengambil air di sungai. Tapi bagi yang tidak punya, terpaksa harus membeli,” kata seorang sumber yang enggan dimediakan namanya saat berbincang dengan wartawan melalui sambungan telepon pada Selasa 4 Maret 2025.
Anehnya, kata sumber itu, pemerintah desa setempat tetap saja nekat mengucurkan anggaran dana desa untuk menggaji para petugas operasional pemeliharaan air minum (Opam) tiap bulannya, walau air tidak mengalir.
Sementara, alasan pemerintah desa terkait debit air menurun tidak sepenuhnya benar dan bikin geleng-geleng kepala. Sebab pada tahun-tahun sebelumnya aliran air lancar-lancar saja, walau di musim kemarau sekalipun.
“Petugas memang selalu mengecek, tapi hasilnya tetap sama. Kalau mereka datang kontrol, mungkin air keluar satu jam saja, setelah itu hilang lagi,” ujarnya.
Pengakuan Kepala Desa
Kepala Desa Golo Ros, Herman Jegaut, lalu menanggapi soal yang dihadapi warga desanya.
Dirinya mengakui jika proyek bak air minum di dusun Kawit itu bersumber dari Dana Desa, bukan Pamsimas.
Walau begitu, ia berdalih macetnya aliran air ke wilayah dusun ini karena ulah oknum warga yang melakukan pengerusakan fasilitas bak induk penyalur.
“Di Kawit itu bukan PAMSIMAS di baknya itu, itu dana desa, dan sudah diatur. Ada tiga pipa keluar, mengingat supaya ada keadilan dengan air, dipasang stok keran, lalu dibuat bak pengamannya, tapi itu dirusak. Sehingga satu wilayah di Munde sangat sulit sekali, memang tidak menikmati air minum bersih selama beberapa bulan ini,” katanya.
Pihaknya juga tidak mengetahui siapa oknum yang melakukan pengerusakan terhadap fasilitas yang dibangun pemdes itu.
“Iya, saya juga tanya ini, tidak ada yang kasih tahu namanya, siapa pelakunya. Kalau kami tahu kan ya, kami tinggal panggil Babinsa dan bisa diberikan pembinaan,” terangnya.
Sementara soal proyek Pamsimas yang ada, Herman menjelaskan pelaksanaan proyeknya dilakukan dua kali yakni pada tahun 2017 dan 2020 lalu.
Lagi-lagi, kata dia, sumber soal sebenarnya bukan karena terdapat kesalahan dalam pengerjaan proyek, tetapi karena perilaku oknum warga desanya yang sengaja merusak fasilitas proyek.
“PAMSIMAS 2017 yang sekarang airnya tidak jalan. Tapi bukan karena salah kerja, itu karena masyarakat potong pipanya di sana-sini. Kita juga tidak tahu apa motivasi masyarakat sampai potong pipa itu, di daerah hutan itu, ada juga yang di kebun dipotong pipanya oleh masyarakat,” ujarnya.
Sementara, soal kelangkaan air saat ini di dusun Kawit, terang dia, terdapat tiga sumber mata air yang dikerjakan melalui proyek Pamsimas pada 2017 lalu.
Dua dari sumber mata iar itu itu masih berfungsi dengan baik sampai sekarang sementara satu sumber lainnya masih bermasalah debit air yang tidak bisa menjangkau kawasan dusun Kawit yang letaknya di titik akhir distribusi jaringan air.
“Pamsimas tahun 2020 itu tidak bermasalah, Pamsimas tahun 2017 juga tidak bermasalah. Yang menjadi masalah ketika masyarakatnya merusak fasilitas air minumnya itu,” bebernya.
Ia juga menyebut jika petugas Opam rutin mengecek kondisi jaringan distribusi dan mereka sering menemukan pipa yang telah dipotong dan dibuang ke jurang.
“Kami hampir tiap minggu kontrol. Kalau airnya tidak ada, mereka pergi cek, lalu yang mereka temukan ada pipa dipotong dan dibuang ke jurang,” jelasnya.
Pamsimas Bukan Proyek Desa
Ditanya mengenai sumber anggaran proyek Pamsimas di desanya, Herman mengatakan proyek itu bukan proyek program pemerintah desa melainkan program pemerintah daerah yang diawasi langsung oleh fasilitator Pamsimas tingkat kabupaten.
Dengan begitu, anggaran atas proyek itu juga tidak diketahuinya persis.
“Pamsimas itu kan proyek daerah, lalu pelaksana kegiatannya ada panitianya, desa tidak campur tangan sama sekali, lalu diawasi oleh fasilitator Pamsimas tingkat kabupaten, dan pada saat diserahterimakan itu baik, berfungsi. Saya tidak tahu besar anggarannya, karena bukan saya memang waktu itu,” kata Herman.
Meski dirinya tidak mengetahui persis anggaran proyek 2017, namun gambaran untuk anggaran proyek Pamsimas 2020, kata dia, sekitar Rp245 juta.
Anggaran ini, sambungi dia, dipergunakan untuk pembangunan bak, perluas jaringan perpipaan dan memasang sebanyak 17 kran air.
“Sebagian besar di Munde dan satu jalur di Kawit”, ujarnya.
Kongkalikong, Kades dan Bendahara Sama-sama Tak Tahu Soal Kucuran Angaran Dana Desa
Kades Herman Jegaut juga mengakui jika pada tahun 2023 lalu, pemerintah desa juga telah menganggarkan dana desa untuk mengubah jalur distribusi pipa ke Dusun Kawit.
Dia berkata, anggaran dana desa ini dikucurkan dengan tujuan agar pasokan hingga ke dusun Kawit itu lebih merata.
Namun aneh, sang kades mengaku tidak tahu menahu soal berapa besaran anggaran proyek yang ia sendiri sudah laksanakan di desa itu.
“Saya tidak mengetahui dan harus bertanya kepada bendahara desa”, cetusnya.
Herman turut berdalih hal itu terjadi lantaran ada pergantian bendahara desa itu pada tahun 2022.
“Kan ada pergantian bendahara. Tahun 2020 sampai 2022 satu bendahara, lalu dia mengundurkan diri karena merasa terlalu banyak tekanan. Kemudian ada bendahara baru dari 2023 sampai sekarang,” demikian pengakuan kades Herman.
Ironisnya lagi, ketika dikonfirmasi wartawan masalah tersebut kepada Oswaldus Gapung selaku bendahara, justru sang bendahara mengaku tidak tahu menahu juga soal anggaran yang digunakan.
Kongkalikong jawaban sang kades dan bendahara desa ini patut menjadi tanda tanya sebab akan menjadi aneh jika kepala desa selaku pengguna anggaran dan bendahara desa yang berperan mengeluarkan anggaran sama-sama tidak mengetahui besaran anggaran yang digunakan.
Jika demikian terjadi, maka patut diduga pengelolaan anggaran keuangan di desa ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara profesional, baik dari segi pengalokasian anggaran dan programnya, jumlah anggaran yang dikucurkan hingga kelengkapan administrasi atas pengelolaan keuangan negara yang mengalir ke desa itu. semoga saja tidak demikian. (**)
Laporan: Yondri Ngajang
Editor: Adrianus Paju