JAKARTA, BERITA FLORES –- Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak Mendagri, Menpan-RB dan Kepala BKN RI untuk meninjau kembali atau mencabut Surat Keputusan Besama (SKB) dengan Nomor: 182/6597/SJ, Nomor: 15 Tahun 2018 dan Nomor:153/KEP/2018, tertanggal 13 September 2018. SKB tiga Menteri ini memuat prihal tentang pemecatan sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terlibat kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) berdasarkan putusan pengadilan.
Menurut Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, SKB tiga menteri tersebut tidak memiliki landasan hukum sebab tidak ada Putusan Hakim yang memberi wewenang kepada ke 3 (tiga) Menteri untuk mencabut status kepegawaian ASN yang menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pertimbangan lain, kata dia, bahwa pejabat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan putusan pengadilan adalah Jaksa Penuntut Umum (JPU) selaku eksekutor. Bukan tiga menteri itu. Dengan begitu, kata Petrus, ketiga menteri tidak memiliki legal standing untuk mencabut status kepegawaian ASN karena terlibat kasus pidana korupsi.
Baca Juga: Pecat 16 Pejabat Pemkab Matim Siap Hadapi Gugatan
Petrus menandaskan, jika sebuah tindakan administratif hendak diterapkan atas nama putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka keabsahan tindakan itu barulah sah apabila amar putusan majelis hakim dalam menjatuhkan vonis selain hukuman badan atau penjara bagi terdakwa. Juga bila majelis hakim mencabut hak-hak tertentu dari terdakwa berdasarkan wewenang majelis hakim yang diberikan oleh undang – undang dan KUHP.
“Majelis Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum ketika memeriksa, mengadili dan menjatuhkan vonis, ia diwajibkan mempertimbangkan segala undang – undang yang bersangkutan dengan kejahatan yang didakwakan kepada terdakwa dan UU terkait lainnya yang terkait dengan hak-hak terdakwa. Bahkan sikap hidup serta keadaan sosial yang mempengaruhi cara hidup dari terdakwa,” ujarnya kepada Beritaflores.com melalui siaran pers Rabu, 23 Januari 2019.
Advokat Peradi ini menyebutkan, dalam perkara Tipikor terkait kejahatan dalam jabatan terdakwa, bila majelis hakim tiba kepada pembacaan vonis, maka ada terdakwa yang selain divonis dengan pidana penjara dan membayar denda dan mencabut hak-hak tertentu dari terdakwa. Akan tetapi juga, ada terdakwa divonis hanya dengan pidana penjara dan membayar denda tanpa ada penjatuhan sanksi pencabutan hak-hak tertentu dari terdakwa seperti hak memilih, dipilih dan hak terdakwa sebagai ASN.
“Mengenai pencabutan hak-hak terdakwa yang berasal dari ASN terkait kejahatan jabatan harus dituangkan juga dalam amar putusan majelis hakim. Sehingga yang melaksanakan putusan itu adalah Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai eksekutor,” jelas Petrus.
Berdasarkan data TPDI, sebanyak 2.357 ASN merupakan mantan napi telah divonis bersalah melakukan kejahatan jabatan. Mereka pun telah menyelsaikan masa hukuman penjara tanpa dicabut hak-hak tertentu dari ASN. Bahkan, telah kembali berkarya sebagai ASN dengan prestasi terbaik.
Maka berlandaskan alasan tersebut, siapa pun tidak boleh melakukan tindakan pemberhentian terhadap ASN mantan napi kejahatan jabatan dengan dalil pelaksanaan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
“Alasannya, bahwa tidak semua terdakwa perkara pidana kejahatan dalam jabatan divonis penjara disertai dengan pencabutan hak-hak tertentu dari terdakwa,” terang dia menambahkan.
Petrus menilai, pemberhentian ASN sebanyak 2.357 mantan napi kejahatan dalam jabatan bahkan diberi label koruptor merupakan tindakan pelanggaran Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Bahkan tegas dia, SKB tiga Menteri tersebut telah merampas kewenangan badan peradilan dengan kewenangan sudah diatur oleh UUD 1945 dan undang – undang tentang kekuasaan kehakiman.
“Ini merupakan tindakan melampaui wewenang. Juga menyalahgunakan wewenang dan mencampuradukkan wewenang serta telah melanggar prinsip hukum, yaitu prinsip nebis in idem alias prinsip yang melarang seseorang tidak boleh diadili apalagi dihukum untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama serta sudah ia jalani,” pungkas Petrus. (NAL/FDS/BEF).