ENDE, BERITA FLORES — Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, Pimpinan Yayasan Bantuan Hukum Pax Et Justitia, Romo Sipri Sadipun bersama Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Ende, Santoso telah menggelar pertemuan singkat. Agenda pertemuan dalam rangka membahas polemik kepemilikan tanah di Nangapanda, Kabupaten Ende, Provinsi NTT.
Pertemuan pada Selasa, 15 Januari 2019 kemarin itu terungkap sejumlah fakta baru dalam kasus tersebut.
Baca Juga: TNI-Polri Diminta Klarifikasi Soal Klaim Lahan Suku Paumere di Nangapanda
Kepala Kantor BPN Kabupaten Ende, Santoso dalam pertemuan itu membenarkan, bahwa hingga saat ini pihak TNI-AD atau Satuan Brimob Polda NTT, belum memiliki sertifkat hak atas tanah. Tak hanya itu, pihak TNI-AD atau Sat Brimob belum membentuk panitia pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Untuk melaksanakan tugas penyuluhan dan pembebasan hak atas tanah suku Paumere di Nangapanda, Kabupaten Ende.B
Penjelasan Santoso semakin memperkuat konstatasi TPDI tentang adanya tujuh (7) fakta dan alasan ketidakbenaran klaim pemilikan KOREM 161 WIRA SAKTI KODIM 1602/ENDE dan Sat Brimob Polda NTT atas pemilikan tanah hak ulayat suku Paumere, seluas 2000 hektare.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus menyebutkan, ada tujuh alasan dan fakta terungkap antara lain;
Pertama, di atas lokasi tanah hak ulayat suku Pumere seluas 2000 Ha terdapat sengketa pemilikan hak atas tanah antara warga suku Paumere dengan ahliwaris Musa Gedu sejak tahun 1974 hingga sekarang belum selesai secara hukum.
Kedua, sebelum tahun 2008 bahkan setelah tahun 2008-pun warga suku Paumere menguasai, mengelola dan menghaki tanah seluas 2000 Ha. Petrus menegaskan, pihak suku Paumere tidak pernah dihubungi oleh instansi pemerintah manapun yang menyatakan niat untuk membeli atau menggunakan tanah dimaksud.
Ketiga; pemerintah daerah Kabupaten Ende tidak pernah mengirim panitia pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembagunan untuk kepentingan umum.
Keempat, tidak terdapat aktivitas Pemerintah Daerah Kabupaten Ende atau TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT terkait dengan rencana pembangunan Korem di Nangapanda, Kabupaten Ende.
Kelima, Peraturan Presiden Nomor: 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor: 65 Tahun 2006 Tentang PengadaanTanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Tidak membenarkan institusi pemerintah membeli tanah secara langsung dari para pemegang hak atas tanah, kecuali dengan luas tidak lebih dari 1 (satu) Ha.
Keenam, baik TNI-AD maupun Satuan Brimob Polda NTT tidak pernah memperlihatkan bukti pemilikan atas tanah terkait dengan klaim atas pemilikan lahan seluas -/+ 2000 Ha di atas lokasi tanah hak ulayat masyarakat suku Paumere.
Ketujuh, tidak adanya keputusan pemerintan atau pemerintah daerah tentang Pencabutan Hak Atas Tanah baik terhadap Hak Ulayat suku Paumere dan/atau Hak Milik dengan Sertifikat Hak Milik Warga Masyarakat Suku Paumere di atas tanah dimaksud.
Oleh karena itu, lanjut dia, pimpinan TNI-Polri harus mengambil sikap untuk menghentikan aktivitas anggota TNI AD dalam bentuk apapun di atas tanah hak ulayat dimaksud. Termasuk rencana pengukuran dilakukan oleh Kanwil BPN Provinsi NTT seperti dalam surat Kanwil BPN provinsi NTT tanggal 8 Januari 2019. Di mana surat itu ditujukan kepada Very di Denpasar.
“Siapa itu Sdr. Very di Denpasar Bali dan apa hubungan hukum Sdr. Very dengan masyarakat Suku Paumere, Nangapanda dan apa hubungan hukum Sdr. Very dengan TNI-AD, tidak dijelaskan hingga saat ini terutama oleh Kanwil BPN Provinsi NTT,” ujar Petrus kepada Beritaflores.com melalui siaran pers Rabu, 16 Januari 2019.
Rencana pengukuran tanah dilakukan oleh Kanwil Pertanahan Provinsi NTT di atas lokasi hak ulayat suku Paumere, pada 9 Januari 2019 hingga 15 Januari 2019, meskipun gagal dilaksanakan karena ditolak dengan kekuatan penuh oleh warga suku Paumere, Nangapanda. Tindakan tersebut kata Petrus, membuktikan bahwa Kanwil BPN provinsi NTT telah melakukan tindakan sewenang-wenang dan tidak menghormati hak-hak warga suku Paumere selaku pemegang hak ulayat.
Advokat Peradi itu menegaskan, Peraturan Presiden Nomor: 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor: 65 Tahun 2006 Tentang PengadaanTanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, telah dikangkangi oleh Kanwil BPN Provinsi NTT dan TNI AD. Bahkan tidak pernah dilaksanakan baik oleh Kanwil BPN Provinsi NTT dan Kabupaten Ende maupun oleh TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT.
“Pola pendekatan kekuasaan yang diterapkan oleh Kanwil Kantor Pertanahan Provinsi NTT yang kemudian ditolak oleh warga suku Paumere merupakan bukti bahwa masyarakat suku Paumere, lebih memiliki kesadaran hukum yang tingggi daripada aparatur negara,” tegas Petrus. (NAL/FDS/BEF).