ENDE, BERITA FLORES —Pihak TNI maupun Polri diminta melakukan klarifikasi terkait klaim kepemilikan lahan suku Paumere di Nangapanda, Kabupaten Ende, Flores – NTT.
Dilaporkan, ada pemasangan papan nama institusi TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT oleh oknum di lokasi tanah sengketa itu. Di mana tanah itu merupakan milik warga suku Paumere di Nangapanda, Kabupaten Ende, Flores NTT.
Pemasangan papan nama itu menuai polemik sekaligus patut dipertanyakan publik.
“Panglima TNI dan Kapolri harus mengklarifikasi klaim kepemilikan tanah oleh Korem 161 Wirasakti Kodim Ende dan Satuan Brimob Polda NTT atas lahan milik warga suku Paumere di Nangapanda,”kata Koordinator TPDI Petrus Selestinus kepada Beritaflores.com melalui siaran pers Senin, 17 Desember 2018.
Baca Juga: Andreas Hugo Sarankan Korem 165 Dibangun di Nagekeo
Petrus menegaskan, tindakan tersebut merupakan penyalahgunaan nama instusi negara oleh oknum spekulan tanah. Dia menduga untuk kepentingan kelompok tertentu dengan tujuan merampas hak ulayat suku Paumere.
“Memang di atas lahan seluas 6000 hektare masih terjadi sengketa kepemilikan atas sebagian tanah seluas sekitar 2000 hektare antara beberapa kelompok warga suku Paumere dengan pihak ketiga (Musa Gedu, warga Dusun Ngajo). Sengketa muncul sejak tahun 1974 hingga saat ini belum terselesaikan, baik secara adat (hukum adat) maupun berdasarkan hukum perdata (peraturan perundang-undangan),” ungkap Petrus.
Berdasarkan pengakuan Korem 161/WIRA SAKTI Kodim 1602/Ende, dalam surat ditujukan kepada Ombudsman provinsi NTT bernomor; B/199/III/2018, tertanggal 7 Maret 2018, perihal jawaban surat Ombudsman NTT, menegaskan; bahwa TNI-AD sebagai pemilik atas lahan seluas 2000 hektare di lokasi itu.
Hal itu merujuk pada permintaan dan penyerahan dari masyarakat ahli waris Musa Gedu kepada TNI melalui Pangdam IX/Udayana tanggal 20 Januari 2008 silam.
TNI-AD dan Brimob Polda Diduga Diperalat
Advokat Peradi itu mengatakan, klaim tersebut sangat mengagetkan semua pihak. Sebab, kata dia, TNI-AD, Polri maupun pemerintah kabupaten Ende sebagai pihak yang berwenang, tidak pernah mengirim panitia pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.
“Pihak pemkab Ende tidak pernah melakukan tugas-tugas; sosialisasi, penyuluhan, negosiasi sebagaimana syarat yang telah diatur dalam peraturan presiden tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum,” urai Petrus.
Apabila klaim atas tanah tersebut dapat dibuktikan dengan adanya peralihan hak yang jelas (jual-beli, tukar menukar, hibah atau pewarisan), maka mekanismenya mesti berlandaskan Perpres tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
“Yaitu perlunya panitia pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Oleh karena itu perlu dibuktikan adalah apakah pihak TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT sudah menempuh mekanisme yang telah diatur Perpres karena tanah itu masih bersengketa antara suku Paumere dengan Musa Gedu,” lanjut dia.
Minus Panitia Pengadaan Tanah?
Pertanyaan ini kata Petrus, menjadi sangat penting. Mestinya dijawab terlebih dahulu oleh pihak TNI-AD. Sebab, masyarakat pemangku kepentingan tanah hak ulayat merupakan suku Paumere di Nangapanda.
“Saat ditanya apakah pernah ada pantia pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT pernah melakukan sosilisasi, penyuluhan, pendataan terhadap status hukum, batas-batas?,”
“Apakah di atas tanah dimaksud terdapat hak-hak pihak lain?, Apakah ada sengketa atau tidak, apakah ada bangunan rumah, gereja atau masjid? dan benda-benda lain yang ada di atasnya ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan?
Petrus mengungkapkan, bahwa ternyata warga suku Paumere menyatakan dengan tegas tidak pernah ada panitia pengadaan tanah untuk melaksanakan mekanisme sesuai undang – undang.
Advokat asal Maumere itu menyatakan, padahal menurut peraturan presiden RI bahwa, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah harus dilaksanakan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.
“Sementara di atas tanah warga yang berasal dari hak ulayat suku Paumere di Nangapanda dimaksud, sejak tahun 1974 hingga sekarang masih terjadi sengketa pemilikan antar warga masyarakat di dalam suku Paumere dengan pihak Ahli Waris Musa Gedu di Pengadilan Negeri Ende,”
Namun, terang Petrus, pihak TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT belum pernah memperlihatkan bukti pemilikannya. Bahkan masuk ke dalam sengketa perdata melalui pintu gugatan intervensi, sekedar membela kepentingan perdatanya sebagai pihak yang mengklaim sebagai pemilik atas tanah tersebut.
Dengan demikian, maka praktek atau pola penguasaan tanah oleh TNI-AD dan Satuan Brimob Polda NTT di atas tanah hak ulayat suku Paumere, benar telah dilakukan penyerahan oleh pihak Ahli Waris Musa Gedu pada tanggal 20 Januari 2008.
Maka penyerahan tanah dengan mekanisme penyerahan secara langsung tanpa melalui mekanisme pantia pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dalam hal ini kepentingan pertahanan keamanan, jelas sebagai “tindakan perampasan hak milik warga sekaligus merupakan perbuatan melanggar hukum”
“Terlebih-lebih telah dilakukan dengan cara tidak menghormati prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah sesuai dengan perintah Peraturan Presiden. (NAL/FDS/BEF).