JAKARTA, BERITA FLORES — Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menyebut kelompok ISIS berpotensi membangun sel – sel teroris di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Berdasarkan kebijakan mentitip Napiter (Nara pidana teroris) di Lapas-Lapas di NTT sebagai kebijakan yang kontraproduktif. Bahkan sangat berpotensi paham radikal berkembang di NTT.
“Seakan-akan hendak mendekatkan para teroris dengan calon korbannya, selain itu juga memberi keleluasaan bagi Napiter untuk membangun jaringan sel-sel baru di NTT,” ujar Petrus Selestinus kepada wartawan melalui siaran pers Senin, 28 Mei 2018.
Petrus mengatakan BIN NTT telah mengungkapkan bahwa sejumlah mantan Napiter diduga kuat menjalin komunikasi dan kerja sama dengan para anggota dan pengurus HTI di NTT.
Bahkan dengan sejumlah alumni ISIS yang sudah berada di NTT untuk menjadikan NTT sebagai basis gerakan.
“Dengan demikian kebijakan menempatkan 10 (sepuluh) orang Napiter secara terpisah dan tersebar di di Lapas-Lapas berbeda di beberapa Kabupaten di NTT, telah menimbulkan kecurigaan masyarakat NTT bahwa sebuah “grand design” telah disiapkan untuk mendistribusi dan memperluas jaringan teroris di NTT secara bertahap atas nama titipan Napiter,” kata Petrus.
Pemerintah dan masyarakat NTT jelas dia, telah kecolongan. Masyarakat NTT sangat khawatir dengan kehadiran Napiter di NTT. Sebab berpotensi memicu munculnya gangguan keamanan, rasa tidak nyaman di kalangan masyarakat semakin luas.
“Bahkan berpotensi melahirkan sikap saling curiga di kalangan warga NTT terhadap Napiter dan kelompoknya. Sebagai akibat adanya aksi-aksi Napiter akhir-akhir ini yang menjadikan sejumlah Gereja, Umat, Pimpinan Umat dan Kantor Polisi sebagai target,” lanjut Petrus.
Advokat Peradi itu mendesak pemerintah menghentikan kebijakan menitip Napiter di NTT dan sekarang juga harus pulangkan Napiter dari Lapas-Lapas NTT itu ke Jakarta atau Nusakambangan.
Menurut Advokat senior ini, penempatan Napiter di Lapas-Lapas di NTT tanpa sosialisasi terlebih dahulu dan tanpa minta persetujuan masyarakat setempat, jelas telah mengabaikan hak masyarakat NTT untuk tahu bahkan ikut menentukan dapat tidaknya Napiter dititip di NTT.
“Karena soal keamanan dan ketertiban masyarakat tidak semata-mata menjadi tanggung jawab aparat kemanan, tetapi juga membutuhkan peran serta masyarakat bahkan merupakan tanggung jawab bersama masyarakat NTT dan Pemerintah dalam menjaga NKRI, merawat Kebhinekaan, mengamalkan Pancasila dan UUD 1945,” tegas Petrus.
Sudah saatnya pemerintah pusat menghentikan model pendekatan kekuasaan yang berlebihan terhadap daerah, termasuk terkait dengan penempatan Napiter di NTT.
“Mengapa, karena menitip Napiter di NTT tanpa sosialisasi dan tanpa meminta persetujuan masyarakat, jelas sebagai praktek pendekatan kekuasaan yang tidak diinginkan oleh masyarakat NTT,”
Bahkan ia menilai kebijakan itu sebagai sikap yang kurang beradab, tidak transparan dan mengabaikan suara publik NTT sebagai pihak yang juga punya tanggung jawab terhadap persoalan Kamtibmas.
Masyarakat NTT memahami bahwa budaya politik untuk saling mendengarkan antara Pemerintah dan Masyarakat terkait kebijakan yang strategis, adalah bagian dari kewajiban pemerintah dalam menegakan demokrasi dan sebagai cara pemerintah memberi penghormatan terhadap demokrasi dan HAM bagi warga masyarakatnya.
Oleh sebeb itu lanjut Petrus, pemerintah tidak boleh hanya melindungi kepentingan HAM Napiter mengabaikan HAM masyarakat NTT.
“Hentikan kebijakan yang selalu menganggap semua keputusan yang datang dari pusat selalu benar,”
Sebagian ASN Memiliki Loyalitas Ganda
Kekhawatiran publik NTT terhadap keberadaan Napiter titipan di Lapas dan Rutan-Rutan di NTT adalah pada potensi berkembangnya “loyalitas ganda” pada sebagian Aparat Penyelenggara Negara dan/atau Aparatur Sipil Negara (ASN) di NTT saat ini.
Petrus Selestinus menduga kuat bahwa sejumlah oknum alumni ISIS sudah masuk ke NTT dan dengan mudah melakukan aktivitas. Selain itu, ada aktivitas anggota dan pengurus HTI di NTT (sebelum dan sesudah dibubarkan). Kelompok yang terkoneksi dengan mantan Napiter untuk memperjuangkan khilafah dengan kemasan yang lain di Kupang dan TTS.
“Apalagi wilayah terdekat NTT yaitu Bima menurut informasi BIN NTT sudah dinyatakan sebagai wilayah “merah teroris. Begitu pula dengan Kabupaten Manggarai Barat pernah dilakukan pelatihan teroris oleh salah satu terduga teroris bernama Sarifuddin yang kemudian ditangkap di Manggarai Barat pada April 2015. BIN NTT juga mencatat Kabupaten Sumba Barat Daya menjadi wilayah yang menjadi sasaran para teroris sehingga oleh BIN dijadikan fokus pantauannya,” kata Petrus.
Petrus menyatakan bahwa Napiter titipan, bisa saja dengan leluasa menjalankan aksinya membangun jaringan teroris di NTT dari dalam Lapas. Dengan begitu Lapas di NTT bukannya bertujuan memperbaiki perilaku Napiter sesuai dengan tujuan pemidanaan. Akan tetapi Napiter itu justru menjadikan Lapas sebagai pintu masuk bagi penguatan jaringan teroris di NTT.
“Lewat kunjungan keluarga dan sahabat sehingga berpotensi mempermudah berkembang biaknya sel-sel teroris di NTT sebagai Provinsi yang terkenal sangat toleran dan rukun dalam menjaga NKRI dan Kebhinekaan,”
TPDI pun mengaku khawatir sebab jaringan sel-sel tidur binaan teroris profesional yang sudah menyebar di NTT telah dipetakan dan kelak bisa dimatikan oleh BIN dan Aparat penegak hukum.
Jika tidak, maka NTT tinggal menunggu waktu yang tepat bagi teroris untuk membuat masalah besar yang menggegerkan di NTT sebagai daerah baru target para teroris yang berdampak menggegerkan Indonesia bahkan dunia.
Menjauhkan Pengawasan, Tetapi Dekatkan Teroris versus Korbannya.
Penitipan Napiter di NTT, diduga kuat dilakukan tanpa ada koordinasi dengan Hakim Pengawas dan Pengamat dari Pengadilan yang memutus perkara Napiter dengan Hakim Pengawas dan Pengamat pada Pengadilan Negeri di wilayah hukumnya menerima titipan Napiter.
“Sebagaimana hal itu diatur dalam KUHAP dan SEMA No. 7 Tahun 1985. Jika demikian halnya, maka penitipan Napiter dimaksud dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menjauhkan Napiter dari pengawasan dan pengamatan Hakim Pengawas dan Pengamat dan mendekatkan “pelaku teror” dengan “calon korbannya,”
Jika hal tersebut terjadi, maka implikasi hukumnya adalah penitipan Napiter menjadi cacat hukum dan bermasalah secara hukum dan politik karena melenceng dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Ini bisa menimbulkan tafsir lain yaitu sebagai sebuah “grand design” untuk mempermudah kerja para teroris.
Apalagi para teroris memiliki kemampuan untuk membungkus identitas aslinya dengan profesi apa saja demi menyamarkan identitas aslinya dengan tujuan mereka yang sesungguhnya. (DEL/NAL/FDS).