RUTENG, BERITA FLORES-Pemenang Lomba menulis cerpen dengan tema Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dalam rangka Lustrum Klinik Jiwa Renceng Mose telah diumumkan, pada Selasa, 10 Desember 2019.
Kegiatan yang diinisiasi oleh Yayasan Karya Bakti Ruteng dan Klub Buku Petra ini telah melewati beberapa tahapan penilaian hingga akhirnya terpilih 5 besar sebagai karya terbaik.
Di antaranya, cerpen ‘Nadus dan Sembilan Roh yang Merasukinya’ karya Marto Rian Lesit (Juara 1), ‘Seru Serangga Dalam Kepalaku’ karya Kristian Dadi (Juara 2), ‘Nian Ina Ema Bulakan’ karya Yanti Mesakh (Juara 3), ‘Orang Gila Berisik Sekali karya Yuf Fernandez (Juara 4) dan ‘Penemu’ karya Saverinus Suhardin (Juara 5).
Direktur Klinik Jiwa Renceng Mose dr. Ronald Susilo berperan sebagai salah satu juri pada lomba ini mengatakan, setelah melewati empat pekan yang panjang, terhitung sejak 9 November 2019 hingga 6 Desember 2019 lalu, terdapat 22 cerpen berhasil melewati tahap kurasi.
“Setelah tahap kurasi, kemudian masing-masing juri menentukan 7 cerpen unggulan yang didiskusikan hingga akhirnya mengerucut menjadi 5 besar pilihan Dewan Juri. Di mana tiga di antaranya menjadi karya terbaik yang menempati posisi 1, 2, dan 3,” jelas dr. Ronald Susilo.
Dari data di google form yang disiapkan panitia, ada sebanyak 102 peserta telah mengisi formulir pendaftaran lomba. Tetapi hingga hari terakhir batas pengiriman karya hanya 54 cerpen kemudian masuk ke surel panitia. Karya-karya tersebut kemudian dikirim secara bertahap ke meja kurator.
Lomba Cerpen ODGJ ini adalah sayembara cerpen dengan tema dan tujuan khusus untuk pengarusutamaan isu ODGJ. Namun, cerpen sebagai teks sastra memiliki seperangkat konvensi baik dalam proses penciptaan maupun dalam proses penilaiannya. Strategi-strategi naratif seperti apa yang digunakan seorang pengarang untuk menciptakan sebuah dunia cerita yang meyakinkan dapat ditelaah dan dinilai paling tidak dari tiga elemen yang tak terpisahkan seperti; konten, keperajinan dan konteks.
Konten atau subject matter, pada dasarnya adalah ide-ide, gagasan, perspektif, atau tawaran isi yaitu apa yang umumnya muncul sebagai jawaban dari pertanyaan apa yang ingin disampaikan seorang pengarang dalam cerita tertentu. Otentisitas seorang pengarang bisa ditilik dari gagasannya. Keberpihakan pengarang atas isu tertentu dapat disingkap dari posisi ideologisnya, baik yang secara gamblang tampak pada permukaan teks maupun yang tersembunyi dalam lapis bawah teks.
Dari sisi keperajinan atau craftmanship, pada dasarnya adalah kecakapan teknis atau pertukangan dalam mengolah bentuk, yang secara esensial menentukan bagaimana sebuah cerita diolah, dibangun, dikonstruksikan.
“Dengan kata lain, kemampuan menciptakan komposisi, baik yang padu sesuai pakem storytelling atau yang rumpang by-design. Termasuk dalam elemen ini adalah kemahiran berbahasa dalam menyusun kalimat dan memilih diksi, kepiawaian mengeksekusi sudut pandang penceritaan, kelenturan memunculkan voice yang unik, dan anasir-anasir stilistika lainnya,” jelas Ronald.
A.N. Wibisana, salah satu dewan juri lomba ODGJ juga menambahkan, pada bagian konteks, karya cerpen memiliki dua kaki, yaitu khazanah dan realitas.
Khazanah berkaitan dengan sejauh mana sebuah cerita dapat dihadapkan dan dibandingkan dengan karya-karya yang telah ada sebelumnya, bagaimana posisi sebuah cerita dalam tegangan antara invensi dan konvensi. Realitas, atau secara longgar bisa disebut sebagai “konteks kebudayaan”, adalah sejauh mana sebuah cerita berhubungan dengan situasi sosial-budaya tempat seorang pengarang melahirkan karyanya.
“Apakah cerita itu lahir dalam modus mimisis sebagai pencerminan, peniruan ataupun pembayangan kenyataan empirik atau lahir dalam modus creatio sebagai sebuah upaya penciptaan dunia alternatif, dunia yang mungkin, atau bahkan dunia yang sama sekali baru,” tutupnya.
Catatan Penting Dewan Juri: Cerpen Bertemakan ODGJ Minim Riset
Lomba penulisan karya sastra berupa cerpen dengan tema Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) memiliki sejumlah catatan penting dari tim juri.
Lima besar cerpen tersebut ternyata tidak lepas dari sejumlah kesalahan elementer seperti penggunaan kalimat-kalimat yang tak efektif, kesalahan ejaan dan tanda baca, pemilihan diksi yang tak hati-hati, atau bahkan silap yang memberikan dampak serius pada otoritas pengarang, seperti kesalahan informasi faktual dalam narasi.
Kesalahan-kesalahan tersebut tampaknya disebabkan oleh kerja penyuntingan yang tergesa-gesa dan riset yang digarap ala kadarnya. “Dengan demikian, kelima cerpen terpilih bisa dibilang sebagai minus malum, cerpen-cerpen yang memiliki kadar kesalahan paling sedikit, cerpen-cerpen yang mempunyai tingkat kesalahan yang masih dapat dimaafkan,” tutur A.N Wibisana salah satu Dewan Juri.
Ia juga mengungkapkan kekecewaannya. Tema semenarik ini, para cerpenis tampak menggarap isu ODGJ berdasarkan pengamatan minim riset. Ada spektrum tipe gangguan jiwa yang sangat luas—apakah para cerpenis membaca DSM-5, atau paling tidak ikhtisarnya—tetapi nyaris semua cerpen tergiring membahas ODGJ dengan sederhana sebagai “orang gila”. Beberapa cerpen membahas PTSD, tetapi subjek permasalahan favorit para cerpenis itu adalah pemasungan, stigma.
“Betul pemasungan adalah problem krusial di NTT atau di Jawa Barat mungkin paling krusial juga, tetapi sayembara ini jelas-jelas diadakan sebagai salah satu bentuk pengarusutamaan isu ODGJ, bukan semata advokasi untuk masalah pemasungan,” jelasnya.
Sementara itu, menurut dr. Ronald Susilo, kesalahan di atas membuktikan bahwa penulis-penulis dari NTT belum menaruh minat yang besar pada dunia literasi. Barangkali, aku Ronald, perlu dilakukan penelitian terkait hal ini.
Ketidaktertarikan penulis-penulis ini bisa terjadi karena membaca dan menulis tidak menghasilkan uang dalam waktu yang cepat.
“Dengan bahasa yang lebih sederhana, menulis tidak dapat memberi kehidupan yang layak. Akhirnya, akan muncul istilah, menulis itu butuh bakat, bukan usaha. Jika ini terjadi, maka hilanglah daya saing kita di semua bidang. Ingin melakukan sesuatu, yang dipikir pertama kali adalah bakat bukan bagaimana caranya,” tutur Ronald.
Secara keseluruhan, Ia sependapat jika cerpen dengan tema ODGJ yang masuk ke meja juri, kualitasnya belum sesuai dengan harapan. Sebagian besar cerpen ditulis dengan tergesa-gesa sehingga banyak penggunaan tanda baca yang tidak tepat, pemilihan kata yang kurang pas, nalar atau logika sebuah cerita tidak dibangun dengan baik, judul yang masih belum provokatif, tokoh yang diciptakan tidak terasa hidup ketika dibaca, teknik penceritaan yang itu-itu saja dan masih banyak lagi yang sebenarnya bisa disebutkan.
“Ini tentu saja akan menjadi pekerjaan ekstra bagi editor ketika harus menyunting cerpen-cerpen yang akan dikumpulkan menjadi antologi nantinya,” tutup Ronald.
Penulis: Gheryl Ngalong