BORONG, BEROTA FLORES – Dari ranjangnya, ia bergerak merangkak seperti balita, menyambut kedatangan saya pada Rabu malam (7/8) di kediamannya di dusun Golo Bajar, desa Bangka Kuleng, kecamatan Poco Ranaka, Manggarai Timur.
Namun, tak satu pun kata yang dia ucapkan selama saya berada di rumahnya malam itu.
Ia hanya memandang dengan tatapan kosong. Wajahnya menggambarkan guratan keletihan sekligus pasrah pada kondisinya.
Nama lengkapnya, Imleda Mei. Perempuan dengan panggilan Imel ini sudah menderita lumpuh sejak lahir. Kini ia berusia 32 tahun.
Seluruh perjalanan hidupnya seakan hanya diisi dengan narasi pilu. Bayangkan, tak hanya lumpuh, sejak balita ia juga harus kehilangan kasih sayang orang tuanya.
Saat berusia tiga tahun, ibunda tercita Monika Iman meninggal dunia. Tak lama kemudian, sang ayah menikah lagi dan menelantarkan Imel.
Imel pun kemudian diasuh neneknya. Setelah sang nenek meninggal, ia diasuh Benidiktus Gusman, saudara ayahnya.
Namun, bukan hal yang mudah bagi Benidiktus untuk merawat Imel. Keadaan ekonominya pas-pasan.
Ia mengaku sering kawalahan karena kondisi rumah yang tak memiliki fasilitas MCK membuat Imel terpaksa buang hajat di got di belakang rumah.
Selain itu, keberadaan sumber air yang cukup jauh dari rumahnya membuat Benidiktus terpaksa bolak balik dari mata air untuk memenuhi kebutuhan air bersih buat Imelda.
Meski termasuk warga penyandang disabilitas dengan kondisi ekonomi yang miskin, namun Benidiktus mengatakan sejauh ini belum ada perhatian dari pemerintah, mulai dari tingkat desa hingga kabupaten.
“Jangankan pemerintah kabupeten Manggarai Timur, pemerintah desa yang dekat pun tidak pernah memperhatikanya,” ujarnya dalam bahasa Manggarai.
Tak banyak hal yang diminta Benidiktus dari pemerintah. Ia cuma berharap pemerintah bisa membantunya membuat fasilitas MCK sehingga ia tidak perlu lagi kewalahan mengurus Imel.
“Harapan saya tidak terlalu besar, kalau ada perhatian dari pemerintah kabupaten Manggarai Timur, cukup buatkan MCK permanen supaya saya tidak terlalu susah megasuh anak ini,” ujarnya.
Kondisi rumah Benidiktus, di mana Imel menjalani hari-hari hidupnya, termasuk rumah sederhana. Tak ada fasilitas yang ramah untuk penyandang disablitas di dalamnya.
Kondisi rumahnya pun sudah tua. Dindingnya yang terbuat dari bambu (lencar) sudah lapuk. Di dalam rumah tak ada bilik atau kamar.
Pemerintah sebenarnya punya program bantuan untuk penyandang disablitas. Program dengan nama Asistensi Sosial Penyandang Disabilitas Berat atau biasa disingkat dengan ASPDB, misalnya. Ini adalah program bantuan bantuan langsung berupa uang tunai sebesar Rp 300.000 per orang per bulan selama satu tahun, yang disalurkan dalam tiga tahap.
Program ini dimaksudkan untuk membantu pemenuhan kebutuhan dasar hidup dan perawatan sehari-hari penyandang disabilitas berat. Kegiatan pemberian ASPDB telah dilaksanakan oleh Kemensos sejak 2006 dan masih berlanjut sampai dengan saat ini.
Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan per tahun 2012 jumlah penyandang disabilitas berat, atau orang yang tidak mampu mengurusi diri mencapai 170.120 orang.
Dari jumlah tersebut, hanya 29.701 orang yang telah memperoleh bantuan ASPBD sejak 2006. Hingga Januari 2016, tercatat 7.140 penyandang disabilitas berat yang masuk ke dalam daftar tunggu calon penerima ASPDB.
Data tersebut menunjukkan bahwa upaya pemeliharaan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas berat untuk pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya memang sangat diperlukan. (TIM).