RUTENG, BERITAFLORES – Desakan soal pencabutan surat keputusan penetapan lokasi (penlok) pembangunan proyek Geothermal Poco Leok kepada Bupati Manggarai, Herybertus G.L Nabit, menuai respon praktisi hukum Siprianus Ngganggu.
Respon Siprianus disampaikan pasca sekelompok masa yang menamakan dirinya sebagai Aliansi Pemuda Poco Leok melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Bupati Manggarai di Ruteng, pada Senin 3 Maret 2025.
Masa aksi yang ketika itu beraudiens dengan Bupati Manggarai di aula Nuca Lale kantor Bupati mendesak agar Bupati Hery Nabit mencabut SK Penlok pembangunan Geothermal Poco Leok itu.
Bupati Hery Nabit lalu merespon desakan itu dengan menegaskan jika pihaknya tidak akan mengamini tuntutan para masa aksi.
Dasar penolakan ini diterangkan jelas bahwa penerbitkan SK Penlok pembangunan proyek Geothermal di wilayah Poco Leok itu telah melewati semua tahapan sejak awal.
Siprianus lalu berpandangan jika pernyataan sikap tegas dari Bupati Hery Nabit saat menjawab desakan para masa aksi sangatlah beralasan dan patut diacungkan jempol sebab tidak bertentangan dengan hukum.
“Sikap Bupati Manggarai Herybertus Geradus Laju Nabit, yang menolak permintaan warga demonstran untuk mencabut SK Penetapan Lokasi (Penlok) di Poco Leok dalam kaitannya dengan Geothermal yang di terbitkan pada tahun 2022 menurut pandangan hukum saya sudah sangat tepat dan patut untuk diancungi jempol,” kata Siprianus.
Pandangan itu, terang Siprianus, berangkat dari pemikiran hukum, bahwa pembuatan SK Penetapan Lokasi (Penlok) di Poco Leok dalam kaitannya dengan Geothermal yang diterbitkan pada tahun 2022 oleh Bupati Manggarai tentunya didasari pada kajian dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.
“Dan tentunya, SK Penetapan Lokasi ini telah digunakan oleh pihak yang membutuhkan dan tentunya telah menimbulkan akibat hukum seperti adanya pemberian kompensasi kepada warga masyarakat atau pemberian ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk lokasi Geothermal,” terangnya.
Kata dia, SK Penlok adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang final, sudah pasti dan tidak memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain.
Selain itu, lanjut Siprianus, SK Penlok itu sangat konkret dimana obyeknya tidak abstrak tetapi berwujud yaitu jelas terkait penetapan lokasi untuk kepentingan proyek geothermal.
SK tersebut juga, terang Siprianus, bersifat individual. Artinya, Penlok tidak ditujukan untuk umum tetapi untuk wilayah di Poco Leok dengan titik-titik yang telah ditentukan dalam SK Penetapan Lokasi.
Sehingga jelasnya, masyarakat bisa menempuh langkah hukum melalui PTUN untuk menggugat SK Penlok yang dikeluarkan oleh Bupati Manggarai pada tahun 2022.
Dasar Hukum Gugatan ke PTUN Mesti Jelas
Siprianus juga menjelaskan terkait sejumlah hal yang harus dicermati untuk menggugat ke PTUN diantaranya; apabila terdapat warga masyarakat yang merasa telah dirugikan atas penetapan SK Penlok tersebut serta proses penerbitan SK Penlok diketahui cacat hukum baik formil maupun materil.
Termasuk, terang dia, jika ada warga masyarakat yang menilai penerbitan SK Penlok itu dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang Bupti Manggarai atau Pejabat Pemerintahan di Lingkup Pemkab Manggarai (Onrehctmatige Overheidsdaad).
Jika demikian terjadi, maka langkah hukum yang harus ditempuh adalah melakukan gugatan ke PTUN Kupang.
“Menurut hemat saya langkah yang ditempuh adalah mengajukan gugatan ke PTUN Kupang untuk meminta agar SK Penetapan Lokasi tahun 2022 tersebut dibatalkan dan meminta Bupati Manggarai untuk menyatakan telah Melakukan Perbuatan Melawan (Onrehctmatige Overheidsdaad),” bebernya.
Adapun dasar hukum pengajuan gugatan ke PTUN Kupang tersebut, papar Siprianus, tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Kewenangan ini juga tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 1986 jo UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan beberapa aturan yang lainnya seperti UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2026 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Hal lain yang turut dikomentari Siprianus adalah soal perilaku sejumlah oknum warga yang telah meruntuhkan pagar kantor Bupati Manggarai saat aksi demonstrasi digelar.
Menurutnya, tindakan pengerusakan itu adalah tindakan hukum yakni kesengajaan dan memiliki niat untuk merusak fasilitas umum.
Karenanya, Siprianus turut mengutuk keras tindakan anarkis yang dilakukan dan berharap agar pihak Polres Manggarai dapat memanggil dan meminta pertanggungjawaban hukum dari para pelaku.
“Menurut saya, perbuatan dari warga masyarakat tersebut telah memenuhi unsur pasal 170 KUHP, dan karenannya para pelaku dapat ditahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 KUHAP,” katanya.
“Tindakan hukum yang tegas kepada para pelaku pengerusakan bukan karena dendam, tetapi tindakan hukum yang tegas ini bertujuan untuk dapat menimbulkan efek jera bagi warga yang lain untuk tidak merusak fasilitas umum”, tutupnya. (**)
Penulis: Adrianus Paju