Oleh: Jimmy Carvalo
Sejak reformasi 1998, kita bukan saja telah memasuki era perubahan perbaikan tata-demokrasi tetapi juga liberalisme media. Sebagai pilar ke 4 dalam negara demokrasi, selain eksekutif, lembaga legislatif dan yudikatif, media memainkan peran sebagai watchdog (anjing penjaga) walaupun kadang juga menjadi anjing peliharaan pihak tertentu. Media sebagai sarana informasi, edukasi dan hiburan menjadi kebablasan karena mendapat ruang kebebasan baru yang nyaris tanpa terkontrol dan terbendung oleh siapa pun.
Hari ini, lebih dari 20 tahun pasca-reformasi itu, siapa saja bisa membuat website berita, atau media daring, media online. Bahkan dalam satu kota, semua penduduknya, asal memiliki dana cukup, berkisar antara Rp2 juta sampai Rp4 juta, sudah bisa menyewa jasa web-desaigner untuk membuat media online dengan nama apa saja yang dikehendaki. Jadilah, media online bertebaran di mana-mana, bak cendawan di musim penghujan, dari yang bekerja dengan standar profesionalisme media sampai yang sekedar abal-abal alias media sensasi.
Itu baru dari soal content dan teknik penyajian berita, berpedoman pada Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), belum lagi memeriksa kaidah tata bahasa, atau cara media membahasakan fakta, menuturkan peristiwa agar pembaca juga diperkaya dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apakah ini penting?
Dalam Kode Etik Jurnalistik (saya cenderung menganggap ini sebagai Kitab Suci-nya para wartawan) ditekankan bahwa kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Nah, ini artinya, setiap wartawan harus menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat dan norma-norma agama.
Peran aktif pers melalui berbagai pemberitaannya, merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan suatu negara termasuk daerah (kota/kabupaten), karena selain menyajikan berita berbagai kebijakan dan program pemerintah, juga ikut melaksanakan pengawasan. Bahkan pada waktu tertentu menyatakan sikap (kritik, memuji, memberi pertimbangan dan input) melalui sikap media atas suatu kebijakan, implementasi program pemerintah. Artinya pers hadir sebagai alat kontrol penyelenggaraan pemerintahan.
Kita sedang hidup di era keterbukaan, peranan pers tentu sangat penting dan strategis, salah satunya yang kadang dilewati begitu saja: menyuarakan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Terlewatkan karena pers, media-media sering menampilkam wajah sebagai humas pemerintah, yang lebih banyak menulis apa yang dibuat pemerintah, bukan apa yang dikehendaki atau dipergunjing oleh rakyat.
Independensi media-media mudah terlihat bila kita jeli mengikuti sajian berita mereka. Tidak salah, di tengah serbuan menjamurnya media-media baru yang begitu banyak, pembaca sendiri bisa menentukan, apakah sebuah media, baik cetak, elektronik, terutama media online layak dijadikan referensi, dipercaya atau tidak. Dengan cara itu, wartawan juga didorong publik untuk tetap bekerja secara profesional.
Pers menikmati angin segar reformasi karena adanya jaminan informasi yang bebas, terbuka dan bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam undang-undang pers. Sementara, ‘penyelewengan informasi’ selalu saja terbuka terjadi, di sinilah masyarakat penting membaca berita-berita yang disajikan media dengan selektif dan kritis, memilah, memilih dan memanfaatkan informasi dengan baik. Ketika media cenderung mengejar rating pembaca guna merebut iklan, tidak semua berita dan informasi mendidik dan membawa kebaikan.
Kemerdekaan pers memang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dalam negara yang demokratis yang esensinya bercirikan jaminan pertanggungjawaban kepada rakyat, adanya transparansi penyelenggaraan negara dan terwujudnya keadilan-kebenaran. Bab II, pasal 2-6 UU Pers mengatur fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers yang dituntut profesional, terbuka bila dikontrol masyarakat dan menghormati hak asasi setiap orang.
Dengan semakin banyak muncul media-media baru, masyarakat perlu mengapresiasi positif. Hal ini menandai kemajuan era informasi dan komunikasi, era kebebasan baru dalam berdemokrasi. Tidak hanya mengapresiasi, masyarakat juga harus memberi input pada ragam penyajian berita media-media agar kewarasan berliterasi media tetap terpelihara baik.
Media-media sedang ‘berperang’ mengais rupiah dari iklan, merebut simpati pembaca dan berusaha menjadi yang terbaik di mata pembaca. Tidak jarang, antara fakta, ilusi dan opini bercampur-aduk demi 3 hal ini. Salah satunya adalah semakin ramainya pemberitaan tentang persoalan perempuan yang tak jarang, lebih mengekploitasi perempuan demi rating kunjungan pembaca ketimbang memberi edukasi positif sebagai berita yang ‘tulus’ mengangkat harkat-derajat kaum hawa.
Begitupun, saya perhatikan, bagaimana media belakangan ramai menyukai publikasi berita penyimpangan seksual, kekerasan seksual, lalu di-share ke media sosial yang sebagian besar penggunanya adalah kaum remaja dan anak-anak. Bahkan, penyajian kalimat pun terkadang begitu erotis, menimbulkan nafsu birahi bagi pembacanya. Tidak hanya itu, penyajian gambar ilustrasi atau gambar realitas yang walaupun telah di-blur tetap mengandung imajinasi liar dalam alam pikiran banyak orang.
Baik berita yang mengekploitasi persoalan perempuan (misalnya juga, anak yang menjadi korban, sering tidak di-blur), kehidupan pribadi narasumber yang ‘dijual’ ke publik tanpa menulis bagaimana pendapat para aktivis pembela hak perempuan dan anak, misalnya, sebagai bentuk perimbangan dan pertimbangan etis ‘perjuangan’ media mencari keadilan narasumber, maupun liputan kekerasan dan penyimpangan seksual, bisa menimbulkan gagap literasi media. Pengalaman traumatik korban/narasumber dan pemilihan diksi yang selektif, tidak vulgar, menonjolkan aspek penting saja perlu mendapat perhatian media.
Gagap berliterasi media di kalangan masyarakat terjadi karena karya jurnalistik terkadang lahir tidak berpededoman pada UU Pers dan KEJ. Pers bertanggung jawab atas kredibilitas setiap informasi yang di-publish, berikut dampaknya pada kematangan memajukan literasi masyarakat.
Dewasa ini, kecepatan dalam menyajikan berita menjadi bentuk penilaian keberhasilan sebuah media. Berita harus diproduksi sebanyak-banyaknya dan terus-menerus. Di balik efektivitas dan kuantitas yang dikejar itu, bisa saja kualitas berita diabaikan. Taruhannya? Kepercayaan publik terhadap media. Verifikasi, independensi, komprehensivitas dan proporsionalitas sering dilihat dengan sebelah mata, jadilah, selain banyak pengaduan masuk ke gedung Dewan Pers, dalam percakapan medsos pun, tidak sedikit media yang dikecam dan ditertawakan.
Spiritualitas pers yang selalu mengarah pada kebenaran, membutuhkan dukungan luas masyarakat. Kita sedang menikmati era digitalisasi media, siapa pun bisa menjadi wartawan, tanpa media konvensional. Tak bisa dipungkiri, facebook dan blog pun merupakan bagian dari media sosial yang sering dipakai banyak orang menulis semacam berita, ulasan, atau bahkan feature yang tidak kalah bagusnya dan enak dibaca.
Masyarakat, ketika dihadapkan dengan peliputan media yang tidak akurat dan cermat, tidak bisa juga melemparkan kesalahan semata-mata hanya pada media tertentu. Dalam pasal 17 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menggariskan bahwa masyarakat dapat mendirikan sebuah Lembaga Pemantau Pers (LPP) bekerjasama dengan Dewan Pers. Dengan demikian, diharapkan ada sinergitas, bersama-sama mewujudkan pers yang baik, mencerdaskan dan bertanggung jawab.
Penulis merupakan mantan Redaktur Suara NucaLale, Redaktur Majalah ObjectiveNews dan Pemred Jurnal Flores