Oleh: Herry Kabut
Polemik rencana pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur semakin “seru”. Setiap hari, sebagian besar (untuk tidak mengatakan semua) media daring dan mungkin juga media cetak di NTT selalu menyajikan informasi (entah dalam bentuk berita maupun opini) terkait rencana pendirian pabrik semen ini.
Sajian informasi ini selalu berisi alasan penerimaan ataupun penolakan terhadap rencana pendirian pabrik semen ini. Pihak pro selalu menyajikan alasan yang sekiranya dapat membuka pikiran publik untuk menerima dengan lapang dada kehadiran pabrik semen ini. Dari pihak pro, setidaknya ada tiga pendapat yang dijadikan alasan untuk menerima kehadiran pabrik semen ini, yaitu bahwa pabrik semen dapat meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang atau pabrik (MLT/P), meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah Matim), dan mengurangi pengangguran.
Hal yang sama dilakukam oleh pihak kontra. Pihak kontra selalu menyajikan alasan yang sekiranya membuka pikiran publik untuk menolak kehadiran pabrik semen ini. Pihak kontra menilai bahwa pabrik itu akan merusak lingkungan, menghilangkan hak ulayat mereka dan menghancurkan relasi persaudaraan mereka dengan sesamanya (Sahan, dalam The Columnist, 29 Mei 2020).
Baca: Sambangi Lokasi Tambang, Uskup Ruteng: Waspada Pengaruh Setan yang Merusak Ciptaan Tuhan
Tentu saja, perbedaan pendapat ini sangat baik bagi pengembangan kultur demokrasi kita. Sebab demokrasi bukan hanya menuntut konsensus (kesepahaman) tetapi juga disensus (ketaksepahaman). Bila kita hanya menuntut konsensus maka sia-sialah kita berbicara tentang kebebasan berpendapat yang menjadi salah satu “mantra” dalam demokrasi. Lagi pula, kalau kita hanya menuntut untuk membangun kesepahaman, maka sebetulnya kita meniadakan medan konfrontasi yang memungkinkan orang untuk mengambil sikap secara tegas dan terbuka (suka dan tidak suka) terhadap suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Jika hal yang terjadi seperti ini (menuntut kesepahaman), maka demokrasi kita sedang berada dalam bahaya. Bahkan, dalam sebuah diskusi yang bertema “Melawan Oligarki dan Korupsi” yang diselenggarakan oleh Sorge Magazine, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan Sapu Koruptor pada 7 April 2015, Robertus Robert mengatakan bahwa “demokrasi mengandalkan disensus bukan konsensus. Inti dari demokrasi adalah ketaksepahaman (disensus). Kalau demokrasi semua diminta sepaham bukan demokrasi namanya”.
Kedudukan Desa
Jika kita mencermati informasi di beberapa media, setidaknya kita mendapati bahwa alasan-alasan di atas cukup dominan sebagai alasan untuk menerima maupun menolak kehadiran pabrik semen ini. Kalaupun ada alasan lain (misalnya, secara nasional produksi semen sudah terlampau surplus, dan lain sebagainya), tetap saja itu tidak dapat menggeser alasan utama di atas. Alhasil, kita terus berkutat pada beberapa alasan tersebut dalam setiap diskusi maupun debat tentang rencana pendirian pabrik semen ini.
Tentu saja, alasan-alasan tersebut sangat bisa digunakan untuk menerima maupun menolak pabrik semen ini. Tetapi, ketika kita hanya berkutat pada beberapa alasan utama di atas, maka pada akhirnya kita akan menjadi jenuh. Sebab setiap kali diskusi ataupun debat, kita selalu mendasarkan diri pada beberapa alasan di atas untuk meyakinkan publik agar menerima maupun menolak pabrik semen ini. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud mengajak pembaca untuk melihat sisi yang lain dari rencana pendirian pabrik semen ini.
Baca: PADMA Desak Gubernur NTT Cabut IUP Tambang Semen Desa Satar Punda
Ketimbang berkutat pada alsan-alasan di atas, saya lebih memilih untuk melihat rencana pabrik semen ini dari sisi pengembangan desa, dalam hal ini Desa Satar Punda. Pembacaan tentang rencana pendirian pabrik semen dari sisi pengembangan desa dengan menimbang bahwa sejak awal rencana pendirian pabrik semen ini dimunculkan kepada publik, diskursus tentang pengembangan desa sangat minim.
Minimnya diskursus tentang desa dalam merespon rencana pendirian pabrik semen membuat desa semakin terasing. Padahal, secara administratif, kampung Lengko Lolok dan Luwuk merupakan bagian dari wilayah Desa Satar Punda, bukan hanya semata-mata terletak di Kabupaten Manggarai Timur. Tetapi, perlu diketahui bahwa eksistensi desa bukan hanya mencakup soal wilayah tetapi juga hak asal usul, pemerintahan, peraturan dan pranata lokal, lembaga-lembaga lokal, identitas budaya, kesatuan masyarakat, prakarsa desa, serta kekayaan desa.
Dengan demikian, secara sederhana, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setahu saya (semoga saya keliru), pembacaan tentang pengembangan desa hanya terjadi satu kali yaitu dalam sebuah diskusi publik (online) sesi dua yang bertema “Telaah Lanskap Ekonomi Daerah dan Tantangan Kesejahteraan Masyarakat” yang diselenggarakan oleh “Generasi Muda Manggarai”, pada Sabtu 23 Mei 2020. Dalam diskusi tersebut, Direktur Policy Research Organization Change Operator, Arichy Hadur, memulai argumentasinya dengan melihat kedudukan, serta asas pengakuan (rekognisi) dan kewenangan (subsidiaritas) yang diberikan kepada desa sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa telah memberikan ruang yang cukup besar bagi berkembangnya inisiatif, kemandirian, dan otonomi desa. Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa membawa konsekuensi hukum baru terhadap desa. Jika sebelumnya desa terintegrasi dengan kabupaten (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah) maka sekarang desa merupakan daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Sebab salah satu spirit utama kebijakan nasional adalah memperkuat kemandirian desa dan mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat desa.
Dalam rangka memperkuat kemandirian dan mempercepat kesejahteraan masyarakat desa, maka asas rekognisi (pengakuan) dan subsidiaritas (kewenangan) diberikan kepada desa sebagai asas utama kebijakan desa baru. Rekognisi dalam UU Desa bukan saja mengakui dan menghormati keragaman, kedudukan, kewenangan, hak asal usul, serta susunan pemerintahan desa, tapi juga melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN dan APBD.
Di satu sisi, rekognisi dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas, adat-istiadat, serta pranata dan kearifan lokal sebagai bentuk keadilan kultural. Di sisi lain, redistribusi uang negara untuk desa merupakan jawaban atas ketidakadilan sosial-ekonomi yang juga disebabkan oleh negara. UU Desa juga melindungi desa dari sisi kultural dari imposisi dan mutilasi yang dilakukan oleh pemerintah supradesa, politisi, dan investor.
Penerapan asas rekognisi tersebut disertai dengan asas subsidiaritas. Asas ini berlawanan dengan asas residualitas yang selama ini diterapkan dalam UU Nomor 32/2004. Asas residualitas yang mengikuti asas desentralisasi menegaskan bahwa seluruh kewenangan dibagi habis antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan terakhir di tangan pemerintah kabupaten/kota. Dengan asas desentralisasi dan residualitas ini, desa ditempatkan dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota, yang menerima pelimpahan sisa-sisa kewenangan dari bupati/wali kota.
Asas subsidiaritas menegaskan bahwa tidak ada organisasi yang mendominasi dan menggantikan organisasi yang kecil dan lemah dalam menjalankan fungsinya. Sebaliknya, tanggungjawab moral lemaga sosial yang kuat dan besar adalah membantu organisasi yang lebih kecil untuk memenuhi aspirasi mandiri yang ditentukan pada level yang lebih kecil-bawah, ketimbang dipaksa dari atas (Colombo dalam Sutoro Eko, dkk, 2017: 81-82).
Kedua asas ini bertujuan memberi kesempatan kepada desa untuk mengelola urusan yang mampu mereka tangani. Kedua asas ini juga mempertegas bahwa desa bukan lagi berposisi sebagai objek pembangunan, tetapi berposisi sebagai subjek pembangunan. Sebagai subjek pembangunan, ada beberapa hal yang diharapkan mampu dilaksanakan oleh desa, yaitu; Pertama, mampu meningkatkan kualitas hidup masnusia dan menanggulangi kemiskinan. Kedua, meningkatkan/mengembangkan potensi ekonomi desa menjadi ekonomi produktif. Ketiga, membangun infrastruktur dan meningkatkan ekonomi di kawasan perdesaan untuk membuka akses ekonomi desa, membuka lapangan pekerjaan dan memacu pertumbuhan ekonomi.
Keterasingan Desa
Keterasingan desa yang saya maksud dalam tulisan ini ada absennya pembacaan tentang desa dalam merespon rencana pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda. Jika kita mencermati rencana pendirian pabrik semen ini, kita bisa menemukan adanya keterasingan desa dalam rencana ini. Menurut saya, keterasingan desa terjadi karena kita belum sepenuhnya merubah cara pandang kita tentang desa.
Baca: Strategi Perampasan Sumber Daya dan Kewenangan Desa di Satar Punda
Sebagian besar di antara kita (terutama pemerintah supradesa, politisi, dan investor) masih memandang desa sebagai sasaran (objek) pembangunan. Dengan kata lain, kita masih beranggapan bahwa desa memang layak menjadi arena yang harus dieksploitasi baik eksplotasi terhadap sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Cara pandang seperti ini bisa kita temukan pada diri Bupati Andreas Agas. Hal itu bisa dilihat dari pendekatan Bupati Andreas Agas dalam memuluskan rencana pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda. Pendekatan yang dipakai oleh Bupati Andras Agas dalam memuluskan pendirian pabrik semen ini yaitu pendekatan top down (dari atas ke bawah). Pendekatan ini mempunyai kecenderungan untuk menjadikan desa sebagai objek pembangunan. Hal itu telah dilakukan sang bupati dengan cara membajak demokrasi yang telah mengakar di desa yaitu musyawarah mufakat.
Pembajakan demokrasi desa yang dilakukan Bupati Andreas Agas dapat kita saksikan secara saksama dalam cuplikan video yang berisi dialog antara Bupati Andreas Agas dengan salah satu warga Desa Satar Punda pada saat sosialisasi rencana pendirian pabrik semen. Dalam cuplikan video yang berisi dialog tersebut, kita bisa melihat bagaimana upaya sang bupati untuk menempatkan warga Desa Satar Punda sebagai objek.
Padahal, hubungan antara manusia tidak dapat dimengerti sebagai yang satu mengerjakan yang lain. Hubungan wajar antarmanusia adalah sama dengan sama (setara), dan itu yang kita kenal sebagai komunikasi. Dua-duanya adalah subjek, bukannya satu subjek yang mengobjekkan yang lain.
Baca: RUU Cilaka dan Celaka Bagi Desa
Bupati Andreas Agas juga telah melakukan pembajakan demokrasi desa dengan mengundang perwakilan masyarakat Desa Satar Punda untuk mengadakan pertemuan perihal rencana pendirian pabrik semen ini di rumah pribadinya di Cekalikang. Sikap yang ditunjukkan oleh Bupati Andreas Agas tersebut sebetulnya merusak demokrasi di Desa Satar Punda.
Mengapa demikian? Demokrasi yang dijalankan di desa adalah desa demokrasi komunitarian. Wujud dari demokrasi komunitarian adalah musyawarah mufakat (dalam konteks budaya Manggarai sering disebut Lonto Leok). Bahkan, menurut Hatta, “kebiasaan masyarakat desa yang mengedepankan musyawarah, mufakat, rapat dan gotong royong merupakan bentuk demokrasi asli Indonesia”.
Dalam konteks pembangunan desa, keputusan menerima atau menolak pabrik semen dapat dibicarakan pada saat musyawarah rencana pembangunan desa. Musyawarah desa adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis, termasuk rencana pembangunan yang berasal dari desa maupun rencana investasi yang masuk ke desa. Dengan demikian, Bupati Andreas Agas tidak mempunyai kewenangan untuk mengadakan musyawarah (pertemuan) dalam rangka membahas rencana pembangunan pabrik semen di Desa Satar Punda, apalagi bila musyawarah itu dilakukan di rumah pribadi.
Lagipula, musyawarah desa sejatinya membutuhkan partisipasi dari setiap masyarakat. Bukan seperti yang dilakukan oleh Bupati Andreas Agas yang hanya mengundang tiga (3) orang perwakilan warga Lingko Lolok seperti pertemuan yang digelar pada Minggu, 14 Maret 2020 dan 15 orang perwakilan warga pada pertemuan Minggu, 22 Maret 2020. Pertemuan yang dilakukan antara Bupati Andreas Agas dengan perwakilan warga Kampung Lingko Lolok bukan merupakan perwujudan musyawarah mufakat karena pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh segelintir orang.
Padahal, kehadiran setiap orang dalam musyawarah ataupun pertemuan sangat dibutuhkan guna mempengaruhi kebijakan apalagi kebijakan tersebut menyangkut kemaslahatan bersama warga Desa Satar Punda. Persis, pada titik inilah Bupati Andreas Agas melakukan kekeliruan (kalau tidak mau dikatakan blunder) dan mematikan partisipasi warga Desa Satar Punda dalam merancang pembangunan desa.
Membaca Ulang Desa
Desa tidak pernah luput dari saling sengkarut praktik pembangunan di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh cara pandang kita (terutama pemerintah supradesa, politisi, dan investor) terhadap desa. Secara umum, pemerintah supradesa, politisi, dan investor masih memandang desa sebagai sekerup kecil dalam mesin pembangunan yang berfungsi melayani kepentingan yang lebih besar dari keberadaan desa itu sendiri. Desa menjadi alat untuk menjaga stabilitas harga pangan bagi penduduk kelas menengah perkotaan; sumber pasok buruh murah bagi perluasan industri manufaktur padat karya; maupun (paling tidak sekali dalam lima tahun) alat untuk mendulang suara bagi partai berkuasa atas nama stabilitas politik.
Selain itu, pemerintah supradesa, politisi, dan investor mendekati desa sebagai sumber permasalahan yang harus diatasi. Tidak heran jika kemudian desa begitu akrab dengan beragam kata yang tidak hanya merujuk pada masalah ekonomi, seperti kemiskinan, ketertinggalan, kesenjangan, pengangguran, tapi juga masalah sosial-politik seperti sumber konflik (agraria). Alhasil, desa dalam cara pandang ini tidak lebih dari “objek sentralisasi, depolitasi, kooptasi, intervensi, dan instruksi dari atas” (Antlov, 2003).
Sadar atau tidak disadari, polemik rencana pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda, sedikit banyak mencerminkan cara pandang kita terhadap desa. Selama ini, diskursus kita tentang desa hanya seputar dana desa atau yang sedang ramai sekarang tentang BLT Dana Desa. Padahal, desa melampaui dana desa. Dengan kata lain, dana desa merupakan bagian kecil dari dari pengakuan dan penghormatan negara terhadap desa.
Polemik rencana pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda mesti menjadi momentum bagi kita untuk membaca ulang desa. Jika selama ini kita memandang desa sebagai medan untuk dieksplotasi baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusianya, maka sudah saatnya kita keluar dari cara pandang seperti itu. Apapun keputusan warga Desa Satar Punda perihal rencana pendirian pabrik semen ini harus dihargai tanpa harus diintervensi oleh pihak manapun. Tugas kita adalah mendorong warga dan pemerintah Desa Satar Punda untuk mulai memahami kedudukan dan kewenangan desa demi berkembang dan tercapainya desa yang berdaulat, kuat, dan mandiri.
Penulis adalah anggota Kelompok Studi Tentang Desa, sedang belajar di Yogyakarta