Oleh Alfred Tuname
Yang jahat sering kali seperti pencuri di malam hari. Dalam gelap, pejahat beraksi. Mungkin sebab itulah orang sebut dunia gelap adalah dunia kejahatan. Mungkin pula, pencuri itu digerakan oleh kuasa gelap.
Dalam gelap orang tak berkutik. Imajinasi akan kematian menarik ketakutan; imajinasi akan kehancuran memuculkan rindu keutuhan.
Dalam terang, keutuhan itu ada. Terang membuat manusia malu. Persis kisah manusia pertama yang malu ketika mendapati dirinya telanjang.
Terang membuat menusia tak berbuat salah. Tak bisa bersembunyi dalam terang. Karena itu manusia yang taat disebut “anak terang” dalam tradisi kristiani.
Di zaman kekinian, pencuri muncul sebagai pribadi yang “menciptakan” atau membawa terang. Persis seperti Prometheus. Dalam mitologi Yunani, Promotheus adalah pencuri api dari para dewa di Gunung Olymphus. Api yang curi itu diberikan kepada manusia demi kesejahteraan.
Seharusnya, api itu menimbulkan kesejahteraan. Tetapi para pencuri itu justru melakukan tindakan “anti-Promothean”. Mata api menjadi rayuan hipnotis mematikan dan menimbulkan chaos.
Penyair Mario F. Lawi dalam puisinya “SED LIBERA NOS A MALO” (Lelaki Bukan Malaikat, Juni 2015) secara prosaik menguraikannya secara apik: …Si Pencuri menyalangkan matanya di hadapan kami./Suaranya yang santun sesekali mengelabui/Domba-domba kami yang lugu dan tak pernah fasih/Membedakan jerat maut di antara hamparan temali.//
(Naimata, 2013)
Pencuri juga itu perayu. Bagi kaum Marxist, kapitalisme adalah perayu yang ulung. John Perkins dalam bukunya “Confession of An Economic Hit Man” (2004) menulis pengakuan itu secara detail. Negara-negara miskin (The Third World) dirayu untuk meminjam dana/berutang dari institusi keuangan dunia, World Bank, IMF dan USAID.
Niatnya, bukan untuk membangun, tetapi menguasai negara-negara tersebut. Hitungannya, negara-negara miskin tidak akan mungkin mengembalikan utang (default). Tahun 2009, negara Zimbawe mengalami default dan terpaksa mengubah mata uangnya kedalam US Dollar.
Rayuan pencuri juga bisa berbentuk kecanggihan teknologi. Mereka yang gagap, “lugu dan tidak fasih”, akan termakan teknologi.Tanpa kefasiahan atau cakap menggunakan teknologi, seseorang akan terjerembab dan tertelan teknologi itu sendiri. Teknologi itu sejenis monster Frankenstein bagi mereka yang gagap.
Dan penyesalan pun datang kemudian.Penemu Teori Relativitas dan Atom, Albert Einstein penah menyatakan penyesalan atas “monster” yang ia ciptakan sendiri. “Woe is me!” (celakalah aku!), katanya setelah mendengar tragedi Hiroshima dan Nagasaki.
Dalam suratnya kepada Frank Delano Roseveelt, Eisntein menulis, “had i known that the Germans would not succeed in producing an atomic bomb, I would have never lifted a finger”.
Penyesalan selalu datang belakang manakala teknologi berdampak buruk. Tetapi teknologi tetap diandalkan manusia, meskipun banyak diantara manusia gagal menggunakan teknologi. Dan, teknologi itu selalu tumbuh dan berkembang di segala musim peradaban manusia. Dalam segala musim peradaban itu, mengutip penyair Arthur Rimbaud, tout croît, et tout monte!
Mereka yang gagal menggunakan teknologi, hati-nya pasti babak belur dililit jeratan-jeratan temali atau termakan “elang” Zeus seperti cerita Prometheus.
Padahal, api yang pernah diambil Prometheus itu adalah obor pengetahuan. Pengetahuan biar manusia beradab dan bijak. Kata Sokrates, “all things are knowledge, including justice, temperance, and courage-which tend to show that virtue can certainly be taught”. Semua pengetahuan diarahkan demi kebaikan manusia an sich.
Demokrasi itu juga pengetahuan. Tujuannya, keadilan dan hak asasi manusia lebih ditegakan. Jika demokrasi didekatkan dengan teknologi, di sana ada kebebesan. Teknologi membantu manusia menjadi manusia yang bebas, merdeka dan bermartabat. Melalui teknologi, manusia melabrak keterbatasan dan melompat jauh (quantum leap) menjadi manusia yang bermartabat.
Tetapi, jika nilai kebebasan didekatkan dengan teknologi, ring perekatnya adalah etika dan moral. Tanpa itu, akan ada “spasi” dan ruang kosong yang gelap. Di sanalah pencuri yang licik dan “domba yang lugu dan tak pernah fasih” beradu rayu. Tangan-tangan yang gratil merogoh ke segala arah. Jadilah kejahatan.
Sebab, mengutip Ignas Kleden, teknologi itu memenuhi kebutuhan indrawi yang berhubungan dengan emosi-emosi di bawah perut (epithumia, dalam istilah Plato); demokrasi itu memenuhi kebutuhan psikis berupa kebebasan, kesamaan dan keadilan (thumos).
Teknologi itu baik, asal bijak. Prometheus sudah membawa api ke bumi. … sed libera nos a malo! Bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin.
Alfred Tuname
Esais