Oleh: Rofinus Taruna Baru
Pasal 1 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dana Desa sebagai salah satu amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang harus dilakukan oleh Pemerintah tak hanya menimbulkan kegembiraan bagi desa yang selama ini terbatas dalam pengelolaan sumber-sumber pendapatan Dana Desa untuk kemajuan dana. Penggunaan Dana Desa menimbulkan permasalahan klasik dalam sistem penggunaan dana desa yakni peruntukkannya tidak memberikan hasil yang sesuai untuk pembangunan desa.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 mengatakan bahwa Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, Pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah sudah mengucurkan dana desa sebanyak Rp 127,74 triliun sejak pertama kali digelontorkan pada 2015. Desa yang sudah menerima dana tersebut 74.910 dengan rincian pada 2015 sebesar Rp 20,76 triliun, 2016 Rp 49,98 dan 2017 Rp 60 triliun.
Maraknya kasus korupsi yang terjadi sepatutnya diberi perhatian serius. Setelah dikeluarkannya UU No 6/2014 tentang Desa, anggaran dana desa bergulir dalam jumlah sangat besar. Kendati dari hasil temuan tak semua menjadikan anggaran desa sebagai obyek, ini menunjukkan ada permasalahan besar dalam pengelolaan anggaran di desa sehingga penggunaan dana desa menjadi rawan. Dalam kondisi demikian, terbuka kemungkinan tindak pidana korupsi kian marak terjadi dalam pengelolaan Dana Desa.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan inventarisir setidaknya 14 potensi permasalahan yang mencakup aspek regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan dan aspek sumber daya manusia. Lembaga Swadaya Masyarakat yakni Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan tahunannya menuliskan teridentifikasi tujuh bentuk korupsi yang umumnya dilakukan pemerintah desa, yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, mark up, laporan fiktif, pemotongan anggaran dan suap.
Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) hingga November 2018 sudah ada 181 kasus korupsi yang berkaitan dengan pengelolaan dana desa dengan kerugian mencapai Rp 40,6 miliar. Dalam rangka mencegah munculnya generasi korupsi dan meluasnya korupsi bahkan hingga ke desa-desa, maka perlu dibangun kesadaran bagi seluruh elemen masyarakat, aparatur sipil negara, aparatur pemerintah desa, para pejabat maupun pemimpin di negeri ini bahwa setiap hari adalah hari anti korupsi. (https://antikorupsi.org/id/news/lonjakan-korupsi-di-desa).
Praktik korupsi anggaran desa semakin meningkat sejalan dengan membesarnya kucuran dana transfer pusat dan daerah. Dana transfer dari Pemerintah Pusat, yakni Dana Desa, Tahun 2016 sebesar Rp 46,7 triliun yang diberikan bagi lebih dari 74.000 desa seluruh Indonesia. Setiap desa dengan rumus perhitungan anggaran mendapatkan kucuran dana desa (DD) rata-rata Rp 650 juta per tahun. Sementara kucuran dana transfer daerah dalam wujud Alokasi Dana Desa (ADD) bervariasi besarannya.
Anggaran sebesar itu mendorong perilaku penyimpangan anggaran oleh jajaran aparatur desa, khususnya Kepala Desa. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, mengamanatkan untuk melakukan langkah-langkah upaya strategis dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi, salah satunya dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi bagi setiap lini pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah.
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 31 Pasal 2 dan 3 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi Aktif dan Korupsi Pasif. Adapun yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut: Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau dapat merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara.
Memutus Mata Rantai Korupsi Dana Desa
Dengan melihat peristiwa yang terjadi di lapangan maka, untuk itu bagi saya perlu dilakukan upaya diantaranya: 1). Adanya aturan yang tegas dalam tindak pidana korupsi dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 1). Adanya lembaga yang bekerja independen tanpa diintervensi oleh siapapun dan bertugas mengkawal secara tegas aliran Dana Desa. 3). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu bekerja ekstra, gerak cepat dan tegas serta tegakan hukum seadil-adilnya. 3). Masyarakat desa jangan pernah tinggal diam dan gunakan Hak nya sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa khususnya di Pasal 68.
Penulis adalah Mantan Anggota Politik Kampus GMNI Komisariat STPMD “APMD” Yogyakarta 2017-2018, sekaligus Mantan Wakil Ketua Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (KOMAP) STPMD “APMD” Yogyakarta 2018-2019