Oleh: Rofinus Taruna Baru
Di tengah peristiwa covid-19 seluruh masyarakat Indonesia dihebohkan dengan demonstrasi penolakan tambang tepatnya di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Indonesia. Lantas menurut informasi yang beredar baik di berbagai media massa maupun di tengah masyarakat ada dua PT yakni: PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Singa Merah yang rencana masuk melakukan penambangan di desa tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama struktur perekonomian didominasi oleh pertanian, kehutanan dan perikanan yakni mencapai 44,78%.
Jika kita telusuri lebih jauh lagi Kecamatan Lamba Leda yang selalu menjadi lahan industri pertambangan memiliki komoditi produktif diantaranya: kemiri (591.95 ton), kopi (307.05 ton), mente (143.67 ton). Yang paling banyak digeluti adalah budidaya kemiri yakni mencakup 3.979 kepala kelurga dan kopi sebanyak 2.183 KK. Sementara data BPS mengungkapkan, kontribusi dari semua jenis pertambangan di Matim terhadap PDRB hanya 2,57% di tahun 2019 (voxtntt.com).
Berdasarkan data diatas menunjukan bahwa kehadiran tambang di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Indonesia tidak memberi dampak terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), kesejahteraan masyarakat, dan perlindungan terhadap alam. Maka dari itu bagi saya alangkah baiknya pemerintah memperhitungkan situasi kehidupan masyarakat Desa Satar Punda serta dipertimbangkan lagi soal kebijakan untuk melakukan penambangan.
Perlu dilihat bahwa kehadiran tambang hanya akan bertahan untuk beberapa tahun. Dan harusnya, pemerintah berkaca pada pengalaman sebelumnya. Jangan membuat masyarakat desa Satar Punda hanya dijadikan sebagai sasaran dari penambangan dan bukan sebagai pelaku penambangan itu sendiri. Untuk itu pemerintah jangan dengan secara sengaja membuat masyarakatnya menderita di tanahnya sendiri. Kalau penambangan ini tetap dijalankan anak cucu, kehidupan sosial, budaya, pertanian, dan adat masyarakat setempat yang akan hilang dengan sendirinya (Juru bicara Fraksi PKB DPRD NTT, 3 Juni 2020).
Undang-Undang Minerba yang tertuang dalam pasal 145 menyatakan bahwa “Masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak: [a] memperoleh ganti rugi yang layak akibat dari kesalahan dalam pengusahaan kegaitan pertambangan; [b] mengajukan gugatan melalui pengadilan kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi aturan.” Artinya bahwa pasal ini muncul Jika konflik perusahaan tambang dengan masyarakat terjadi. Sementara kalau kita melihat dan mendengar pemberitaan diberbagai media ini desa satar punda masuk dalam ketentuan, artinya bahwa penolakan yang dilakukan oleh masyarakat desa satar punda, LSM, akademisi tentu ada dasarnya.
Bila dilihat dari berbagai Surat Keputusan dan aturan Undang-Undang yang berlaku diantaranya: Pertama, Surat Keputusan Gubernur NTT, No. 359/KEP/HK/2018 tentang Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) di Provinsi NTT itu disahkan pada 14 November 2018. Kedua, Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang telah direvisi dan disahkan oleh DPR RI pada tanggal 12 Mei 2020. Ketiga, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai berikut: a. Surat Keputusan Nomor SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018 tentang Penetapan Wilayah Ekoregion Indonesia. b. Surat Keputusan Nomor SK.297/Menlhk/Setjen/PLA.3/4/2019 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Air Nasional. Keempat, Peraturan Menteri ESDM No. 17/2012 tentang Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Kelima, UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian. Keenam, Perda Manggarai Timur Nomor 6/2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Sebagaimana yang dijelaskan diatas bahwa penambangan tidak boleh dilakukan (dalam hal khususnya di desa Satar Punda, kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Indonesia) karena bertentangan dengan Surat Keputusan dan aturan Undang-Undang. Bagi saya sangat tidak wajar kalau kita sengaja dan pura-pura tidak tau dengan aturan yang berlaku, serta dengan sengaja menjebak masyarakat desa yang tidak tau apa-apa soal dampak yang timbul dari penambangan.
Memutus Mata Rantai Tambang
Kita mengakui didalam suatu wilayah kabupaten kita mengenal yang namanya Bupati, DPRD serta instansi-instansi lain. Untuk itu bagi saya solusi alternatifnya adalah: Pertama, seharus nya lembaga-lembaga ini harus bersinergi bahu membahu untuk mendengarkan tuntutan dari masyarakat agar penambangan itu dihentikan. Kedua, Pemerintah daerah seharusnya turun tangan untuk memberikan pehaman kepada masyarakat soal penambangan (dalam hal ini jika tolak adanya penambangan maka pendapatan daerah hanya berkurang beberapa persen saja dan dan jika terima maka konsekuensi terbesar adalah kepada lingkungan dan anak cucu). Ketiga, Pemerintah Daerah dalam hal bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) membaca kembali aturan yang berlaku. Keempat, masyarakat secara bersama-sama tetap mempertahankan tanah milik mereka dan menolak adanya tambang.
Penulis adalah Sarjana Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta, Anggota GMNI Komisariat STPMD ‘APMD’ Yogyakarta 2017-2018, sekaligus Mantan Wakil Ketua Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (KOMAP) STPMD “APMD” Yogyakarta 2018-2019