Oleh: Ambros Leonangung Edu, Peminat Pendidikan Keluarga
Lebih dari satu bulan, sebagian besar warga berada “di rumah saja sesuai arahan pemerintah untuk meredam laju wabah Corona (Covid 19). Pria-wanita berkeluarga yang sebelumnya bekerja di luar kini harus terus berada di rumah dan bekerja dari rumah (work from home). Akan tetapi, bersama pasangan dan anak-anak menjadi pil pahit bagi orang-orang tertentu yang selama ini menghabiskan sebagian besar waktu produktif di kantor atau tempat kerja. Apalagi, para ayah-ibu yang sering pulang kerja larut malam dan di akhir pekan pun masih saja menepi ke pojok ruangan untuk mengutak-atik pekerjaan dengan alasan konsekuensi profesi, rasanya tidak betah jika terus ada di rumah.
Di masa self-isolation ini, sejumlah orang tua harus berhadapan dengan pemandangan yang tidak biasa: anak-anak yang rewel, ingin dimanja, digendong, dibelikan susu, jajan, atau mainan baru. Orangtua berpikir, self-isolation membuat mereka jenuh. Mereka beranggapan bahwa rumah tangga adalah organisasi konsumen (cost centered organization), di mana anak-anak harus diberi makan, minum, pakaian, alat tulis sekolah, dan berbagai kebutuhan.
Konsep demikian berakibat pada mobilitas kerja yang tinggi untuk mengisi pundi-pundi rumah tangga. Tetapi, lama-kelamaan mobilitas akan menciptakan distorsi komunikasi dan interaksi sosial anak-orangtua akibat terkikisnya kontak sosial. Orangtua lebih banyak memikirkan kerja dan selalu ada di tempat kerja, sedangkan anak-anak di tempat titipan, sekolah, atau di rumah.
Inferioritas Posisi Keluarga
Perasaan kesepian orangtua pekerja selama masa self-isolation dan ingin cepat-cepat kembali ke tempat kerja, memberi pratanda bahwa selama ini keluarga telah ditelantarkan. Anak-anak sedikit saja menikmati waktu bersama orangtua. Anak-anak dibiarkan untuk bertumbuh dari air susu kaleng ketimbang air susu ibu. Masa-masa pertumbuhan berada di tangan pediatrik/pengasuh.
Tekanan hidup tak dapat dielak di tengah tingkat konsumsi rumah tangga yang tinggi, khususnya keluarga-keluarga perkotaan. Tetapi, membiarkan diri tenggelam dalam hiruk-pikuk pekerjaan hingga mengabaikan urusan keluarga adalah sebuah kekeliruan. Kesuksesan di tempat kerja tidak selalu sebanding dengan kesuksesan di rumah. Profesi dan keluarga sering ada dalam relasi asimetrikal. Dunia pekerjaan unggul, keluarga dinomorduakan. Sang ayah mungkin sukses di luar sana, dihormati atas kerja keras dan loyalitasnya, disegani karena watak kepemimpinannya yang demokratis dan mampu bekerja dalam tim, tetapi di rumah ia justeru berperingai kasar dan kejam. Sang ayah merasa diri raja di dalam singgasana kerajaan rumah imajinasinya sendiri; dia suka memberi perintah, membuat aturan secara sepihak dan dianggap benar oleh dirinya sendiri, sementara itu isteri dan anak-anak dianggap bawahan, pembantu dan pengikut. Tocqueville (Janara, 2002) mengkritik kultur patriarkis-aristokrat yang terpelihara dalam alam pikiran para ayah dan lelaki.
Efek obsesi berlebihan pada profesi tak jarang menerpa ibu-ibu yang hebat pembukuan (accounting) atau paham tata keuangan kantor, sedangkan di rumah perilaku para anggota keluarga tampak boros dengan keuangan yang tidak terurus. Pemandangan ini memperlihatkan sickers down effect keahlian dan pengalaman di tempat kerja tidak selalu sejalan dengan praktik kehidupan berkeluarga. Manajemen organisasi profesi ditata bagus oleh orang-orang terlatih, tetapi di keluarga tidak lebih dari manajemen warung kopi. Keuangan negara diurus secara profesional dari neraca tunggal bernama APBN, demikian pula lembaga-lembaga profesi dari kas utama, tetapi pada tingkat keluarga, si ayah, ibu dan anak-anak memiliki rekening masing-masing.
Pada titian ini, keluarga-keluarga sering tidak terpelihara, dibiarkan, ditelantarkan, dilepas begitu saja seperti sarang yang memelihara bibit-bibit kekerasan. Jika makin banyak keluarga seperti itu, bukan tidak mungkin dari sana akan bertumbuh benih-benih anggota masyarakat dan warga bangsa yang kasar, kejam, dan korup.
Refleksi Kedekatan Anak-Orangtua
Efek Corona mengembalikan orang pada habitat aslinya, keluarga. Bersama suami/istri dan anak-anak adalah momen untuk berdiskusi dan memikirkan keluarga secara baru. Tentang anak-anak yang selama ini minim perhatian, suami yang jarang dipedulikan, isteri yang sering dibentak, keuangan yang tidak terurus, rencana-rencana keluarga entah harian, mingguan, bulanan atau tahunan, manajemen kesehatan anak, dan macam-macam hal.
Titik puncak dari perhatian terhadap keluarga ada pada proses ada-bersama melalui apa yang disebut “kelengketan” (touchment), entah anak dan orangtua, atau suami dan isteri. Kelengketan adalah kontak fisik, misalnya, anak-orangtua bermain dan bersenda gurau bersama. Media terbaik anak bersosialisasi dengan orangtua adalah tubuh ayah-ibu mereka. Tubuh manusia telah didesain secara sempurna dengan impuls-impuls untuk mengaktifkan segala macam kemampuan dalam diri seperti imajinasi, empati, kepedulian, perhatian, dan bahkan kecerdasan otak.
Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang sering disentuh, dibelai, dipeluk, atau sering melakukan kontak fisik dengan orangtua, akan bertumbuh menjadi anak-anak yang perhatian, berjiwa kepemimpinan, suka bekerja sama dengan orang, dan lebih tenang. Sebaliknya, anak-anak yang jarang disentuh, dibelai, dipeluk, akan bertumbuh menjadi anak-anak yang bandel, masa bodoh, dan gampang depresi. Jika ada anak yang mau bermain kuda-kudaan dan guling-gulingan dengan ayah, jika si kakak dengan penuh kasih sayang menggendong (Manggarai: éko, tatong) adiknya yang masih kecil-kecil, biarlah kelengketan itu tercipta sebagai bentuk pendidikan terbaik bagi anak.