Ketika politik masuk desa, pentasnya harus lebih santai. Tak ada kasak-kusuk yang membelah masyarakat. Tak ada vandalism yang menjalar di tiang-tiang pagar rumah. Semua mestinya menari karena ingin menyambut pembangunan sebagai pecahan dari Dana Desa.
Imajinasinya, pentas politik desa itu seperti โbeauty contestโ. Ajang Pemilihan Kepala Desa atau Pilkades itu mirip kontes kecantikan. Setiap calon menampilkan kebolehannya dan kegagahan untuk menarik pemilih. Ide dan misi membangun desa didengungkan biar semua masyarakat desa tahu. Pemikiran dan penampilan juga perlu dipamerkan. SDM desa tak boleh kalah dari meraka yang merasa hidup lama di kota.
Tak perlu ada kecurigaan. Tak perlu ada saling tuduh. Pilkades perlu dinikmati sebagai perayaan politik bersama untuk kebaikan bersama pula. Bukan orang lain yang membangun desa selain warga desa itu sendiri. Jadi, tak perlu ada gesekan dan kekerasan dalam Pilkades.
Masyarakat yang hidup dalam satu desa tak perlu terprovokasi oleh kepentingan segelintir orang. Provokasi itu biasanya datang dari mereka yang ingin mengais keuntungan ekonomi (proyek desa, dll) dari Pilkades. Masyarakat pemilih di desa harus berpikir untuk desa sendiri. Sikap sabar dan tenang mesti diutamakan. Tak perlu โtusuk sana-tusuk siniโ. Jalani proses politik desa dengan jernih dan sesuai dengan aturan. Aturan menjadi โpanglimaโ dalam Pilkades. Tak perlu ada pemaksaan kehendak.
Selebihnya, tunggu hari-H. โGereng le tandaโ, kata orang Manggarai. Itu lebih baik dan lebih aman. Tujuannya adalah untuk menghindari keterbelahan sosial pada masyarakat desa itu sendiri. Pada tipikal masyarakat desa yang gemeinschaft, jika terjadi pemecahan sosial maka hal itu akan berlangsung lama. Bahkan, perpecahan itu akan berdampak pada urusan-urusan keluarga, adat, dan proses pembangunan itu sendiri.
Yang jalas, dalam proses Pilkades, masyarakat desa sudah punya pilihannya sendiri. Mereka sudah cukup cerdas untuk melihat pemimpin atau kepala desa seperti apa yang mereka inginkan. Tentu saja kontestasi politik bukanlah hal yang baru bagi masyarakat desa.
Masyarakat desa memiliki nyaris semua kecakapan untuk menilai dan menakar calon pemimpin mereka sendiri. Mereka memiliki kecerdasan โkronikalโ untuk melihat rekam jejak calon pemimpin; mereka memiliki kecerdasan emosial untuk merasakan karakater pemimpin seperti apa yang diinginkan; mereka memiliki kecerdasan โfinansialโ untuk menakar calon pemimpin menggunakan dana desa. Semua kecakapan itu cukup berfungsi sebagai antena politik di desa.
Kalau memang ada mobilisasi dan konvoi di ajang kontestasi politik desa, hal itu biasa. Namanya kontesasi, perlu juga ada unjuk kemeriahan. Seperti pada pesta pada umumnya, tanpa kemeriahan, joget, konvoi, arak-arakan, konstestasi politik tampak kian serem. Jika politik terlihat horor maka politik kita mati. Tak ada daya hidup maupun menghidupkan.
Padahal, politik desa itu seharusnya menghidupkan vitalitas kehidupan desa; menyemarakan kehidupan desa yang kadang remang dan sepi; dan menggerakkan denyut nadi ekonomi desa yang sering lamban.
Seperti beauty contest, politik desa mesti membelalakan mata masyarakat desa. Bahwa keindahan politik bisa menggairahan masyarakat untuk berubah menjadi lebih baik dan maju.
Politik masuk desa bukan untuk merusak keharmonisan kehidupan masyarakat desa. Pilkades ada untuk menyegarkan proses kepemimpinan sekaligus mengevaluasi laku kepemimpinan. Optimisme pada Pilkades pertanda kehidupan dan pembangunan desa akan menjadi lebih baik.
Pembangunan desa itu bukan hanya untuk kepala desa dan kroni, tetapi untuk semua warga masyarakat desa. Dana desa itu dititipkan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Dana desa itu disediakan agar taka da lagi desa yang terisolasi dari pembangunan yang kota-sentris.
Akhirnya, selamat memilih. Pilihlah kepala desa Anda dengan kepala dingin. Pilihlah kepala desa yang bukan untuk mengepalai proyek pembangunan, tetapi untuk memimimpin desa menuju kesejahteraan bersama.
Alfred Tuname
Penulis dan esais