Oleh Alfred Tuname*
Mungkin kita sudah pernah menonton film Coffee and Cigarettes (2003) yang disutradarai oleh Jim Jarmusch. Film itu diperankan oleh beberap aktor “kelas berat” di dunia perfilman. “We’re really the coffee and cigarettes generation, when you think about it”, kata salah seorang pemeran film itu.
Film dengan setting Prancis tahun 1920-an itu adalah konsep kafe ideal. Ide film tersebut, menurut penulis, adalah tentang jouissance berbicara di sebuah kafe. Kopi dan rokok menjadi “jangkar” untuk duduk berbicara.
Jadi, kafe itu “kawannya” berbicara: ngobrol, diskusi, curhat et cetera. Boleh jadi, kafe itu dekat dengan literasi. Di kafe ada semacam “ekstasi” untuk orang saling berkomunikasi; dengan orang lain (dialogis) atau diri sendiri (monologis).
Karena itu, di kafe selalu dijumpai berbagai varian kopi sebagai menu. Sejarah bahkan varietas kopi pun bisa dijumpai di etalase-etalase kopi. Tentu saja, sebutan kafe pun diambil dari kata kopi yang mengandung kafein itu.
Adalah anomali apabila sebuah kafe hanya ada satu jenis menu kopi yang ditawarkan. Anehnya lagi, kalau kafe lebih banyak menawarkan lebih banyak varian menu makanan. Itu bukan kafe. Itu adalah warung makan yang “nyambi” jadi kafe.
Jenis tawaran menu lain selain varian menu kopi memang penting juga ada di kafe. Itu sah-sah saja. Sejauh itu tidak menggantikan citarasa sebuah kafe menjadi warung makan. Sebab, tidak semua pengunjung adalah seorang penikmat kopi dan peminum kopi.
Ada yang datang hanya untuk menikmati suasana kafe, sehingga ia hanya memilih untuk minum es buah, jus, makan mie, minum teh, dan lain sebagainya. Degustibus non est disputandum. Soal selera tidak dapat diperdebatkan.
Perdebatan tentang “eksistensi” sebuah kafe sampai pada konsep displacement kafe menjadi tempat hiburan malam. Jelas saja kafe itu bukan tempat hiburan, tetapi tempat dimana peradaban itu dibangun. Ada semangat komunikasi yang akrab di tempat yang disebut kafe itu.
Tentu ada “live music” di kafe. Tetapi fungsinya untuk mengantar suasana intimasi percakapan pengunjung. Kehadiran “live music” bukan menjadi fokus perhatian, apalagi menjadi varibel penggangu suasana percakapan. Kalau ingin jadi fokus perhatian, itu namanya “live concert” dan tempatnya bukan di kafe (tetapi di alun-alun atau lapangan).
“Live music” di kafe sejatinya menjadi pencipta “good mood” pada pembicaraan, bukan menjadi “noise” pada suasana dialogis. Karena itu, pilihan lagu pun biasanya bukan aliran-aliran musik cadas (hard rock, underground) apalagi musik-musik remix ala dugem. Pilihan-pilihan lagu slow pop, “Jazzy”, blues, instrumental, acoustic, dll.
Lebih aneh lagi apabila ada tawaran karaoke di kafe. Tawaran ini semestinya anomali dalam konsep sebuah kafe. Sebab itu berarti pemindahkan susana pub pada kafe. Atau semacam tempat hiburan pub yang “nyambar” dari kafe. Jika demkian, jangan tanya kopi di situ sebab yang ada hanya minuman bir dan sejenisnya.
Di kafe, ada juga yang minum bir. Tetapi itu dinikmati dalam suasana yang rileks, bukan untuk mabuk. Bir itu menu sampingan pada kafe. Kopi dan variannya harus tetap menjadi menu utama, selebihnya suasana yang nyaman.
Bahwa semua orang itu bisa merajik kopi sendiri di rumah. Tawaran kafe adalah suasananya. Kafe itu hadir untuk “menarik” penikmat kopi keluar dari rumah. Kalau suasana kafe itu tidak nyaman atau tidak melahirkan “good mood”, maka kafe itu akan ditinggalkan. Toh, ngopi di rumah sendiri lebih terasa nyaman.
Seperti dalam film Coffee and Cigarettes, banyaknyakafe itu bisa menciptakan “generasi kopi”. Atau sebaliknya, “generasi kopi” bisa membutuhkan kafe. Di sini, “generasi kopi” dimengerti sebagai generasi yang kreatif yang bebas berkreasi dan berekspresi.
Sedangan tentang “cigarettes”, itu soal selera orang. Setiap orang bisa memberikan perspektif tentang merokok. Itu sah-sah saja. Lebih asik lagi apabila orang membahas topik rokok itu di kafe. Sambil ngopi atau ngopi sambil merokok, itu preferensi seseorang yang bebas.
Tentu karena di kafe biasanya tidak ada “smoking room” khusus. Semua sudut kafe bisa digunakan sebagai tempat ngopi dan atau merokok. “Cigarettes and coffee, man. That’s a combination”, ujar seorang pemeran dalam film Coffee and Cigarettes (2003).
Akhirnya, “ngafe” yuk…
*Esais dan Penikmat Kopi