Oleh Alfred Tuname
Ratna Sarumpaet (Ratna) bikin heboh. Seantero negeri terpancing membahasa namanya. Perbincangan tentang Ratna menenggelamkan berita gempa Palu (meksipun tetap ada empati buat para korban).
Mungkin Ratna bukan siapa-siapa. Ia hanya seleb kedaluwarsa yang mencoba peruntungan dalam politik. Kalau bukan karena pretext Pilpres 2019, ia hanya hitz dalam berita infoteinment.
Tetapi, Ratna ingin tetap eksis. Ia bergabung dalam kubu Prabowo-Sandi. Lawannya, Jokowi-Ma’ruf Amin. Maka, perbuatan dan perkataan Ratna pun bisa mengocok alur pikir lawan politik.
Tersiarlah kabar, Ratna Sarumpaet dipukul. Mukanya memar. Ada bengkak dan lebam. Wajah tuanya kian buruk. Konon, Ratna mengaku kepada Tim Kubu Prabowo-Sandi, ia digebuk di Bandung.
Atas kabar itu, berbagai respon muncul di berbagai media, cetak dan online. Tak ketinggalan komentar-komentar lepas publik dan para politisi. Simpati kemanusiaan dan tudingan politis melintas “harba-biru” di laman-laman media.
Atas dasar itu, kubu Prabowo-Sandi mulai bermain. Playing victim. “Mengemis” keadilan atas nama korban. Biar ada iba dari publik, proliferasi berita pembelaan korban pemukulan dilayangkan. Tesis politisnya, ada gerakan premanisme yang menggebuk kubu Prabowo-Sandi.
Biar faktanya terang-benderang, polisi bergerak cepat. Polisi tak mau berlama-lama dengan “katanya-katanya”. “Sidak” dilakukan ke semua Rumah Sakit di Bandung. Tak hanya itu, sumber daya kepolisian bergerak lebih lincah. Hasilnya, menggemparkan. Hoax.
Kalau mengikuti Toba Beta (penulis buku The Master of Stupidity), “hoax needed to complete the premises of truth”. Dalam kisah Ratna, hoax terjadi bukan untuk melengkapi kebenaran, tetapi karena ada fakta lain yang benar.
Faktanya, Ratna Sarumpaet mengikuti program bedah plastik. Wajahnya tak karuan, bukan karena digebuk, tetapi karena dibedah. Itu menurut informasi A1 polisi. Informasi itu benar karena disertai bukti.
Kebenaran telah menyingkap tabir hoax. Karena hoax, Ratna tak hanya buruk muka, tetapi “kehilangan muka”. Di hadapan publik, Ratna mengakui skenario kebohongannya. Semacam ada “the call of the satan” dalam aksinya. Karena pengakuan Ratna, Tim kubu Prabowo-Sandi merasa “kebangkaran jenggot”.
Double-Hoax
Kubu Prabowo-Sandi merasa “kebakarangan jenggot” karena sebenarnya mereka bisa mengais political profit dari hoax. Hoax bisa masuk dalam perangkap playing victim untuk menyudutkan kubu Jokowi-Ma’ruf Amin.
Sayangnya, langkah pion Ratna Sarumpaet dalam catur Pilpres 2019 tak berhasil. Langkahnya tertangkap basah. Hoaxnya tercium cepat. Maksud Ratna dan tim kubu Prabowo-Sandi pun terendus oleh kecerdasan politik publik.
Dalam ilmu militer, itu disebut “the hinge factor”. Cuaca tak bersahabat, buruknya intelijen, keteledoran seorang prajurit bisa menjadi penyebab kekelahan perang. Penjelasan Erik Durschmied dalam bukunya The Hinge Factor: How Chance and Stupidity have Changed History (2013), sesuatu yang bisa seketika mengubah moment kemenagan menjadi kekalahan disebut sebagai “hinge factor”. Dalam konteks ini, hoax Ratna Sarumpaet merupakan “the hinge factor” bagi kubu Prabowo-Sandi.
Thus, tim kubu Prabowo-Sandi tak perlu bersandiwara bahwa telah dibohongi Ratna Sarumpaet. Ratna Sarumpet pun tak perlu melakukan “double- hoax”, seolah-olah telah berbohong pada Prabowo dan tim; atau biar terkesan ada “political sacrifice”, Ratna membiarkan dirinya sendirian bersalah demi menyelamatkan tim.
Publik sudah paham, semua kebohongan itu adalah hasil kerja tim. Mengingkari dalil ini sama artinya dengan penghinaan atas kecerdasan publik (insulting the public’s intelligence).
Nah, terlepas dari pretext Pilpres 2019, Ratna sendiri sedang merawat wajah publiknya dengan mengkonsumsi hoax kecantikan. Sebagai seleb, Ratna adalah “orang yang terasing dari cermin di hadapannya sendiri” (mengutip Goenawan Muhammad). Ia takut terhadap realitas tubuh; ia cemas atas proses biologis pada kulitnya.
Boleh jadi, Ratna juga korban hoax proganda jasa awet muda. Padahal, di depan publik, ia terlihat kritis (kalau bukan cerewet). Ups, hasilnya ternyata jauh panggang dari api. Wajah Ratna Sarumpaet justru terlihat tak karuan. Seperti ia habis digebuk.
Daripada “buruk muka cermin dibelah”, mending risikonya dibagi untuk publik. Terjadilah hoax.
Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique” (2018)