Oleh Alfred Tuname
“Aer su di batang leher na baru besong muncul”, kata orang Kupang. Kata orang Betawi, “kemane aje lu?” Tampak seperti itulah kemunculan Mensi Anam, anggota dewan DPRD Manggarai Timur (Matim), di media Floresa.co (10/9/2018). Pada media itu, diunggah ke publik sebuah pertanyaan menohoknya kepada Wakil Bupati Agas Andreas di sidang DPRD.
“Saya (saat rapat paripurna) minta pendapat operasional Pa Wakil Bupati Andreas Agas terhadap persoalan yang ada. Kira-kira begaimana sudah jalan keluarnya”, kata Mensi Anam (Floresa.co, 10/9/2015)
Pertanyaan itu berkaitan dengan kebijakan sembrono Kadis PK Matim, Frederika Soch, terhadap para guru THL dan penerima “Bosda”. Yakni, kebijakan penurunan gaji guru THL menjadi Rp 700.000,- (dari Rp 1.250.000,-), memecat guru secara sepihak (kadang by phone) dan menghilangkan hak para guru yang menerima “Bosda”.
Nah, berkaitan dengan itu, suara keras politisi Mensi Anam muncul. Padahal persoalan itu sudah ada sejak awal tahun 2018. Sejak awal itu pula hanya anggota dewan Heremias Dupa dan Siprianus Habur melakukan protes atas kebijakan Kadis PK Matim. Tak terdengar suara keras Mensi Anam.
Mungkin saat itu, politisi Mensi Anam sedang berkampanye dalam Pilkada Matim 2018. Sebagai Ketua Partai Hanura Matim, ia ikut mendukung salah satu Paket Politik. Mungkin saja, ia tak mau repot dengan urusan pendidikan Matim. Atau, bisa jadi, ada political profit terhadap dukungan politiknya dari persoalan Kadis PK Matim versus para guru. Bahasa lainnya, mungkin mereka “satu kaki” dalam soal dukung-mendukung politik pada Pilkada Matim.
Tesis lain, mengapa suara keras Mensi Anam tidak ditujukan kepada Bupati Yoseph Tote kalau bukan atas dasar politik “satu kaki”. Artinya, di musim kampaye Pilkada Matim 2018, mereka sedang dalam satu barisan mendukung Paket Politik tertentu. Ini hanya kecurigaan politik.
Dasarnya, ide tentang “the personal is political”. Mengutip, esais Christopher Hitchens, (“Missionary Postions”, Wilson Quarterly, 1991), “… that personal preference is a sufficient political commitment”. Di balik posisi atau kedekatan ada komitmen.
Dengan bersuara keras terhadap Wakil Bupati Agas Andreas, ada kesan Mensi Anam sedang berupaya mengosongkan memori kolektif publik atas tanggung jawab Bupati Yoseph Tote. Bukankah posisi Bupati Yoseph Tote masih sedang berlangsung hingga ada daftar calon tetap (DCT) Caleg DPR Pusat nanti?
Selama belum sampai pada titik penguduran diri, Yoseph Tote masih bertanggung jawab atas semua kebijakan dalam pemerintah YOGA Jilid II di Manggarai Timur. Oleh karena itu, persoalan kebijakan Kadis PK Matim adalah tanggung jawab bupati. Jika saja Bupati Yoseph Tote bertindak tegas, persoalan di Dinas PK Matim pasti sudah selesai. Tetapi karena Bupati Yoseph Tote tampaknya lepas tangan, maka kebijakan Kadis PK Matim makin meraja lela.
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2014, tugas wakil bupati sebatas membantu bupati. Itu berarti, suara keras Mensi Anam yang “menagih” tanggung jawab Wakil Bupati Agas Andreas, sejatinya “salah alamat”. Sebab, “stempel” kebijakan masih dipegang Bupati Yoseph Tote.
Memang Mensi Anam berdalih bahwa suara kerasnya didasarkan atas posisi politik Agas Andreas menjadi Pelaksana Tugas Bupati setelah Bupati Yoseph Tote mengundurkan diri (pada 19 September 2018). Tetapi, adalah tidak etik jika menuntut sebuah pertanggung jawaban kepada wakil bupati sementara bupatinya masih menjabat. Dalam bahasa jawa, ojo ndhisiki kerso (jangan mendahului kehendak).
Suara keras Mensi Anam pun tak tampak seperti gelembung kosong sebab keputusan tegas sudah dibuat: Dinas PK Matim harus membayar gaji THL sesuai dengan Perda APBD Matim 2018 (surat no: Insp.700/175/VIII/2018, teranggal 4 Septermber 2019). Itu artinya, semua kembali ditarik ke semula. Tak ada lagi soal.
Saat kebijakan nyaris purna itulah politisi Mensi Anam tampak terperangkap dalam posisi “defisit momentum”. Ia kehilangan momentum politiknya untuk membela suara para guru. Jika “political pretext”-nya adalah Pileg 2019, maka Mensi Anam benar-benar terlambat kereta dukungan.
Kalau saja Mensi Anam berpikir strategis, suaranya seharusnya sudah “go publik” sejak awal persoalan kebijakan Kadis PK Matim bergulir. Saat itu, keberpihakannya kepada para guru akan berbuah manis. Dalam politik, skema balas jasa itu niscaya. (Perlu diingat, para guru itu sangat dekat dengan pemilih milenial; suara para guru sangat didengarkan oleh masyarakat di kampung).
Tetapi ada baiknya juga apabila masih ada anggota dewan kita menunjukan keberpihakannya kepada masyarakat (struggle for people). Setidaknya, masih ada naluri politis dalam diri seorang politisi. Sebab, masih banyak politisi kita yang hanya “struggle for life” (:makan gaji buta); malas sidang dan datang-duduk-diam-duit.
Lebih bahaya lagi jika ada politisi yang kehilangan prinsip politiknya sendiri (beginsel politiek). Kata Hitchens, “the most deplorable politicians are the ones who vote even against their own speeches and against the remnants of their own principles…” Bahaya!
Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique” (2018)