Oleh Alfred Tuname
Tamnos itu sebutan yang lazim untuk Taman Nostalgia. Letaknya di jatung Kupang (nama Kupang disebut-sebut berasal dari nama seorang raja Lai Kopan yang memerintah sebelum Portugis tiba). Seorang teman pernah membuat kalimat satir. “Itu bukan taman, tetapi hutan nostalgia”. Secara denotatif, pernyataan mungkin benar. Tamnos lebih banyak pohon-pohon besar dan bangunan ketimbang bunga berwarna-warni.
Tersirat, ada makna konotatif di balik sebutan “hutan nostalgia”. Yakni, berjuta-juta kenangan dan romansa mungkin pernah terarsir dari tempat itu. Sehingga, siapa saja yang pernah berkelana di Kupang pasti menyentuh arsiran romansa Tamnos. Dengan tagar “tamnos”, semua kenangan manis pun pahit tertumpuk di situ.
Yang jelas, bicara Tamnos berarti ada regressus ad infinitum atas rasa yang pernah berbunga atau gugur, bukan soal “salome” yang entah datang dari mana lobang. Ya, di Tamnos bukan tempat untuk “salome”, tetapi tempat untuk merayakan kebersamaan dalam perbedaan.
Di Tamnos, siapa saja bisa berjumpa dan mengenal wajah. Dalam perjumpaan itu, manusia mengenal cinta kasih dan toleransi. Di sana, para heteroseksual harus menghargai kuam gay dan lesbian; pasangan sejoli harus “bertoleransi” dengan mereka yang jomblo; mereka yang kristiani harus menghargai yang bukan kristen; mereka yang suka salome harus menghargai jogging, dan lain sebagainya.
Seperti itulah harapan besar di balik dibangunnya Taman Nostalgia dan Monumen “Gong Perdamaian Nusantara” (gong itu sudah berumur 450 tahun dari Jepara, milik Ibu Musrini), lalu diresmikan pada tanggal 08 Februari 2011. Maklum NTT sedang mempertahankan citra sebagai provinsi dengan tingkat toleransi paling tinggi. Di sini, toleransi dipaksa mengerti dalam konteks sosio-budaya, bukan politik.
Perihal politik, “narsisme” agama masih terlalu kuat. Dikotomi Kristen dan Katolik masih sangat kental. Distribusi kebijakan dan laku aktor birokrasi masih mengikuti koridor dikotomi itu. Jelas saja, dikotomi itu muncul sebagai resultante politik kontesasi Pilkada/Pilwalkot/Pilgub. Realitas politik narsistik tersebut akan terus ada hingga identitas agama bisa disimpan di ruang privat, bukan ranah publik.
Nah, atas nama politik, sekelompok orang (mungkin aktivis) melakuan deklarasi politis. Malam-malam. Di Tamnos, 15 Agustus 2018. Nama organisasinya, entahlah. Tagline-nya, “Gerakan Menolak #Ganti Presiden dan Ganti Sistem”. Dari orasi-orasinya, mereka tampak bersemangat. Dengan speaker beramplifikasi tinggi, separoh Kecamatan Oebobo bisa dengar suara mereka.
Sayangnya, wacana #gantipresiden itu sudah basi. Atau mungkin sengaja diangkat kembali agar memori kolektif masyarakat ditanamkan kesadaran palsu “ganti presiden”. Ingat teori “kampanye” Paul Joseph Goebbels (ahli propaganda Hitler): kebohongan yang diulang terus-menerus akan menjadi kebenaran. Artinya, arteri politik ganti presiden akan terdengung terus manakala kumandang tolak #gantipresiden didegungkan terus menerus. Dan, tentu saja dalil tersebut akan batal demi teori bila di belakangnya ada kepentinga lain, non politik.
Yang ingin diucapkan di sini adalah bahwa sebuah gerakan apa pun itu harus dianalisa dan dibuka cakrawala berpikir kritisnya. Dengan begitu publik dan kita sendiri tidak tercemplung ulang pada sasaran yang justru sedang dilawan. Berorganisasi dalam gerakan itu penting, tetapi lebih penting lagi adalah berorganisasi menggerakan pikiran, bukan (asal) ikut-ikutan.
Buruknya lagi, penyampaian orasi politis itu dilakukan malam-malam, pada jam makan malamatau pada jam pacaran bagi orang–orang muda di Tamnos. Efeknya pasti nihil. Bahkan bisa muncul antipati. Sebab, hal itu mengusik emosi orang yang sedang makan atau menggangu romansa percintaan sejoli. Lebih jauhnya, ada persoalan etika di sini.
Selebihnya, mari kita bersepakat bahwa setiap orang memiliki hak politik dan berpendapat. Seseorang sah-sah saja tidak bersependapat dalam politik, tetapi publik mesti sepakat bahwa setiap orang berhak berpendapat. Seseorang ingin ganti presiden atau tidak, itu hak warga negara. Tagar “ganti presiden” itu cara berpendapat publik. Tak bisa tiba-tiba ada warga negara yang ingin memformat pendapat atau jalan pikir sesama warga negara.
Kalau ingin mendukung salah satu pasangan kandidat presiden dan wakil presiden tertentu, itu sah-sah saja da merupakan hak konstitusional warga negara. Asal, caranya tidak menggunting benang pemikiran warga negara yang lain. Toh pada akhirnya, publik memilih dalam kaidah elektoral: langsung, umum, bebas, rahasa, jujur dan adil. Toh, mengutip George Bernard Shaw, an election is a moral horor, as bad as battle except for the blood; mud bath for every soul concerned in it.
Biar tak tampak sebagai “mud bath for every soul”, berpolitiklah seperti taman. Di sana semua organisme hidup bersama berdampingan (mit-sein) dan menjadi pembentuk identitas taman. Alur pikir politik pun mesti seperti taman, biar cecapan politik pun lebih komprehensif dan biar gerak “fototropisme” politiknya bisa mencapai matahari kebenaran.
Selebihnya, biarkanlah publik bernostalogia di Tamnos. Mungkin saja ada yang sedang ingin ganti istri/suami atau ganti pacar di sana. Siapa yang tahu? Anything goes.
Alfred Tuname
Penulis dan Esais