Oleh Alfred Tuname
Pemimpin politik tampaknya berbeda dengan pemimpin lainnya. Pemimpin politik diikuti sebab pengaruh. Di sana ada kekuasaan dan loyalitas. Kekuasaan dirayakan untuk mendistribusikan keadilan. Loyalitas digerakan oleh ideologi dan etos serta visi yang clear.
Kepemimpinan di luar politik hanya soal aturan dan jejang. Di sana ada profesionalitas, promosi dan sedikit kuasa. Yang jelas, pemimpin politik itu bukan manajer yang diberjalan dalam koridor “juklak dan juknis”.
Dalam politik, kekuasaan ada dimana-mana. Apa saja diatur oleh politik. Seorang yang memiliki kekuasaan politik, boleh jadi, bisa mengatur apa saja dan dimana saja. Oleh karena itu, pemimpin politik selalu punya “magnet” yang luar biasa. Atas politik, loyalis, sengkuni dan masyarakat (people, roeng) mengerumini sang pemimpin. Jelas, karena dia punya pengaruh (influence).
Tetapi untuk menjadi pemimpin politik, perjuangan tidak pendek. Memori politik harus panjang. Seorang politisi harus memiliki “dua jantung” agar bisa tahan banting. Pujuan dan cacian selalu datang silih berganti. Benar kata Winston Churchill, “in war, you can only be killed once, but in politics, many times”. Seorang tentara terbunuh hanya sekali; politisi “dibunuh” berkali-kali.
Karena itu, seorang politisi seharus memilki watak sekaligus singa dan rubah. Mengutip Pax Benedanto (1999) yang membaca Il Principe, singa ditekuti karena memiliki kekuatan tetapi tidak tangkas menghadapi perangkap, sementara rubah itu licik dan mampu memperdayai perangkap di hadapannya. Jika ingin selamat dalam rimba politik, jadilah kedua-duanya.
Kala memasuki rimba kompetisi politik, karakter seorang politisi diuji. Ia diuji oleh sesama politisi (lawan politik) juga masyarakat (pemilih). Politisi yang tidak cermat dan ceroboh, ia akan “dibunuh”. Karir politiknya bisa-bisa habis dan patah arang.
Seorang politisi tulen, akan membaca secara cermat gerak bidak dan kuda lawan. Dengan menggunakan filosofi catur, analisisnya harus diperhitungankan tiga-empat langkah ke depan. Setiap manuver politik selalu berurusan dengan risiko dan konsekuensi. Salah sedikit, checkmate!
Sudah pasti, pemenang adalah politisi yang mampu melakukan “blitzkrieg” dan “checkmate” politik terhadap lawan. Di ruang demokrasi, pihak yang kalah harus mengakui kehebatan sang pemenang. Tentu, kemenangan politik harus dimaknai sebagai kehendak masyarakat. masyarakat pemilih-lah yang menghendaki seseorang menjadi pemenang politik. Pemenang politik itu disebut pemimpin politik.
Seorang politisi yang kalah dalam kompetisi politik seharusnya tidak perlu uring-uringan atau bersedu-sedan. Apalagi ia harus mencari-cari kesalahan sang pemenang. Ketika kompetisi sudah selesai, seharusnya ada aksi “angkat topi” dan mengakui keunggulan lawan. Toh, seorang politisi harus tunduk pada kehendak rakyat (jika seseorang benar-benar politisi tulen).
Selebihnya, biarkanlah sang pemimpin baru melaksanakan tugas dan amanah rakyat. Sebab, tugas berat seorang pemimpin baru bukanlah “balas dendam” politik, melainkan “balas jasa” politik terhadap segenap kehendak dan aspirasi masyarkat. Pembangunan infrastruktur, pelayanan publik dan birokrasi yang efektif-efisien.
Memang ada istilah “forgive but not forget”. Itu semacam “fatsun politik” pasca kompetisi politik (pesta demokrasi). Tetapi, demi masyarakat, fatsun politik tersebut tidak akan menebal manakala para elite politiknya mampu berkomunikasi dan berangkulan secara baik.
Di situ, regresi pembicaraan politik kompetisi cenderung menjadi lelucon. Kata Hegel, “the first time as tragedy, the second time as farce”. Sebab, semua telah bersatu memikirkan kebaikan bersama dan kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, menyambut pemimpin baru (pemenang) mesti dirayakan dengan trompet kepentingan bersama. Di sana, nyanyian politik pun menjadi serasi dan harmonis, tidak yang fals oleh kepentingan pribadi dan golongan.
Perbedaan politik itu niscaya, tetapi kebersamaan membangun itu lebih penting. “Politik ist natürlich wichtig, aber es bleibt trotzdem immer an einem selbst hängen…” demikian penulis Alina Bronsky. Bahwa politik itu memang penting, tetapi seseorang pemimpin mesti berpikir politik untuk kemajuan bersama, bukan untuk kekuasaan.
Selanjutnya, masa depan adalah milik masyarakat yang percaya kepada pemimpinnya dan mampu mengkritik pemimpinnya apabila keliru dalam kebijakan. Tanpa kepercayaan politik, pembangunan tak pernah purna; tanpa kritik kebijakan akan berjalan miring.
Akhirnya, mari bakar kembang api buat sang pemenang. Hapus mata lebam dengan senyum. Usir pening dengan nyanyian. Setelahnya, berkerjalah bersama-sama dan bersama-sama bekerja. Itulah politik. Sekian!
Alfred Tuname
Esais