Jakarta, Berita Flores – Masyarakat NTT sedang ramai membicarakan OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang dilakukan oleh KPK terhadap Marianus Sae sebagai Calon Gubernur NTT periode 2018-2023.
MS terjaring dalam OTT di Surabaya yang dilakukan KPK dengan tuduhan tengah melakukan Tindak Pidana Korupsi yaitu menerima suap atau gratifikasi.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan jika kita mencari istilah OTT di dalam KUHAP maupun di dalam UU 30/2002 Tentang KPK, maka kita tidak akan menemukan nomenklatur OTT di dalam kedua UU yang selama ini menjadi landasan bekerjanya KPK.
Namun demikian KUHAP hanya mengenal dan mengatur tentang “Tertangkap Tangan” dan “Penangkapan” di dalam pasal 1 angka 19 s/d 20 dan pasal 16 s/d 19 KUHAP.
Jika rumusan pasal 1 angka 19 KUHAP di atas, dihubungkan dengan rangkaian OTT KPK terhadap Marianus Sae pada hari Minggu tanggal 11 Februari 2018, maka OTT KPK terhadap Marianus Sae dengan pihak terkait di beberapa tempat berbeda antara lain di Ngada, Bajawa, di Kupang, NTT dan di Surabaya, telah menimbulkan tanda tanya dan persepsi berbeda tentang makna “Tertangkap Tangan” versi OTT KPK dan “Tertangkap Tangan” versi KUHAP.
Petrus menegaskan hakekat Tertangkap Tangan menurut KUHAP mensyaratkan pelaku harus “kedapatan tengah melakukan” atau beberapa saat setelah melakukan “dipergoki” dan di tangan pelaku ditemukan benda yang digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan.
“Sedangkan hakekat “Tertangkap Tangan” yang diterapkan dalam OTT KPK, tidak masuk dalam kriteria “Tertangkap Tangan” menurut pasal 1 angka 19 KUHAP, terutama kriteria “tengah terjadi” dan “dipergoki” terdapat barang bukti sebagai alat yang digunakan melakukan kejahatan berada di tangan pelaku,” katanya.
Jika kita cermati penjelasan pimpinan KPK di sejumlah media, bahwa MS ditangkap oleh Tim Penyidik KPK pada Minggu 11 Februari 2018, setelah KPK mendapat informasi dari masyarakat, pengecekan ke lapangan dan melakukan serangkaian “penyidikan”, maka OTT KPK terhadap MS, terjadi ketika kasus dugaan menerima suap/gratifikasi sedang berada dalam tahap penyidikan oleh KPK.
Dengan demikian, maka penangkapan terhadap MS hanya boleh dilakukan dengan mekanisme biasa seperti diatur dalam pasal 16 – 19 KUHAP bukan dengan OTT.
Terminologi KPK terkait Bupati Ngada Marianus Sae ditangkap dalam OTT yang dilakukan oleh Tim Penyidik KPK, setelah mendapatkan informasi dari masyarakat, pengecekan ke lapangan dan melakukan serangkaian penyidikan mengandung makna bahwa OTT KPK di beberapa tempat berbeda di Surabaya, Kupang dan di Bajawa dalam waktu bersamaan tidak memiliki landasan hukum.
“Karena tidak sedang terjadi peristiwa suap, sehingga menimbulkan tanda tanya publik, terutama untuk apa dilakukan OTT dan atas dasar kepentingan mendesak siapa sehingga OTT harus dilakukan di luar mekanisme KUHAP,” kata Petrus.
Jika kasus dugaan korupsi berupa menerima Suap atau Gratifikasi yang disangkakan kepada Marianus Sae dengan pemberi suap sedang dalam tahap penyidikan KPK, mengapa terhadap Marianus Sae dkk mesti dilakukan OTT KPK, bukankah dengan Laporan Masyarakat dan bukti-bukti yang sudah dimiliki berdasarkan serangkaian penyelidikan dan penyidikan KPK.
Maka penangkapan terhadap Marianus Sae, hanya boleh dilakukan setelah Marianus Sae diperiksa sebagai Saksi atau Marianus Sae lalai memenuhi panggilan KPK, meskipun telah dipanggil secara patut dan atas kelaiannya itu KPK bisa melakukan penangkapan melalui penjemputan paksa (bukan OTT) sesuai ketentuan KUHAP.
Oleh karena itu tegas dia, KPK harus menjelaskan secara lengkap kepada publik tentang landasan hukum OTT dan Tertangkap Tangan menurut KUHAP.
“Kapan Penyelidikan dan Penyidikan kasus ini mulai dibuka, kapan tahap Penyelidikan ditingkatkan ke Penyidikan, pernahkah Marianus Sae dipanggil dan mangkir tanpa alasan yang sah ketika dimintai keterangan dan apa urgensinya sehingga KPK tiba pada pilihan sikapnya melalukan OTT Marianus Sae, tanpa menggunakan Surat Panggilan sesuai dengan mekanisme biasa,”
Petrus menilai tindakan OTT ini menjadi janggal sebab Penyidik KPK sempat memeriksa terlebih dahulu Wihelmus Iwan Ulumbu dan mendapatkan keterangan bahwa ATM BNI pada Rekening atas nama Wihelmus Iwan Ulumbu dipegang oleh Marianus Sae untuk belanja kebutuhannya sehari-hari.
Pada posisi KPK mendapatkan keterangan bahwa ATM BNI untuk rekening atas nama Wihelmus Iwan Ulumbu diserahkan kepada dan digunakan oleh Marianus Sae, mestinya membuka wacana penyidik bahwa antara Wihelmus Iwan Ulumbu dengan Marianus Sae terdapat sebuah hubungan hukum yang oleh KPK seharusnya diuji kebenarannya terlebih dahulu.
Oleh karena itu, tandas dia terkait OTT ini, KPK harus memberikan penjelasan secara lengkap untuk meluruskan berbagai spekulasi tentang OTT terhadap Marianus Sae. Penjelasan ini sangat penting dan urgent untuk menghindari penilaian negatif dari publik bahwa KPK sedang diperalat oleh kekuatan “Mafia Hukum” untuk menghancurkan Paslon Gubernur NTT Marianus Sae. (NAL/FDS/BEF).