Oleh Alfred Tuname
Terlalu banyak diskursus perihal kepemimpinan. Atau ikut kata penulis Jean Blondel (1987), leadership is as old as mankind. Terlebih di musim Pilkada, diksi pemimpin laris manis. Semua dengan argumentasinya masing-masing. Semua baik adanya. Terdapat banyak tawaran dan persyaratan yang disuguhkan ke publik. Tentu semua itu adalah harapan publik.
Ada kriteria tegas, humanis, jujur, tanggung jawab, santun (etik), dll. Semua itu merupakan “rumus identik” kepemimpinan yang umum diketahui publik. Jika seorang tak dekat rumus itu, maka sudah jelas ia bukan pemimpin. Rumus identik mesti harus melekat (embodied) dalam diri seorang pemimpin.
Tak perlu disebutkan apalagi dipromosikan sebab kualitas kepemimpin tersebut sudah lekat di benak publik (locked in public mind). Jika ada calon pemimpin yang mengkampanyekan nilai-nilai kepemimpin itu, maka secara psikologi politik ia sedang tidak percaya diri. Sebab, kualitas nilai kepemimpinan tidak bisa dijadikan slogan kampanye politik, tetapi diwujudkan dalam tindakan dan kebijakan.
Sebagai misal, seoarang anggota DPRD tidak mungkin dinilai jujur dan tanggung jawab terhadap publik jika ia jarang hadir sidang DPRD yang merumuskan dan memperjuangkan kepentingan publik. Ia telah dipilih untuk menyuarakan kepentingan publik, tetapi ia justru terlampau sibuk mengurus bisnis dan politik pribadi. Bayangkanlah saja nasib konstituennya jika anggota DPRD terlampau sibuk urus yayasan pribadi dan bisnis jagung.
Seorang pemimpin idealnya harus melampaui kepentingan pribadi. Ia memang harus ada di tengah publik tetapi ia juga harus ikut merumuskan kebijakan demi kebaikan bersama. Tak ada gunaknya ia pandai “bernarsis politik” bila tak terlibat dalam memperjuangankan kepentingan masyarakat.
Tentang itu, di tahun 1811, Thomas Jafferson menulis, “tak pernah dapat saya membayangkan, bagaimana suatu mahkluk yang berakal budi dapat menawarkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dari kekuasaan yang dipakainya atas orang lain”.
Ada bersama masyarakat lain dan berjuang memenuhi hak-hak masyrakat itu adalah bagian dari cara pemimpin yang “melu handarbeni”. Dalam falsafah kepemimpinan Jawa, ada istilah “melu handarbeni”: ikut memiliki. Rasa “melu handarbeni” ini sangat penting sebab kepemimpinan yang dekat dengan rasa kekuasaan itu tidak diartikan sebagai “menguasai orang lain”.
Lantas, bagaimana mungkin seorang pemimpin atau calon pemimpin bisa “melu handarbeni” atau ikut merasakan penderitaan rakyat bila ia hanya hadir ketika membutuhkan dukungan masyarakat? Muncul dari dunia entah-berantah, ia tiba-tiba hadir dan mempromosikan diri sebagai “ratu adil” dalam politik. Pensiuan dari mana lubang, lalu keluar dengan menggotong psikologi politik “pre-power syndrome”: merasa berkuasa/bisa berkuasa sebelum berkuasa. Orang Manggarai menyebutnya dengan ungkapan “lawo cai bao, tekur cai retuk”.
Seseorang yang merasa diri pemimpin dan baru masuk suatu lingkungan masyarakat yang asing baginya, akan kebingungan dan gelagapan seperti tikus yang muncul di keramaian. Atas kondisi itulah psikologi seseorang merasa perlu memperkenalkan diri dan (bahkan) memegahkan diri biar dikenal dan diakui. Segala cara dilakukan untuk sekadar mendapatkan simpati atau sekadar mencangkokkan namanya di ingatan masyarakat.
Pada konteks Pilkada, ada calon pemimpin yang “lawo cai bao, tekur cai retuk” tampil dengan menilai dan mengkritik tanpa dasar terhadap proses pembangunan yang sudah dilakukan. Dalam marketing politik, hal itu bisa dimengerti sebagai cara untuk mendapatkan perhatian publik. Tetapi jika kritik dilakukan tanpa akurasi data dan informasi, maka sejatinya ia sedang melakukan pembusukan politik dan pembohongan publik.
Lebih parahnya lagi, ada juga calon pemimpin seperti itu yang tidak mengerti regulasi dan nomenklatur pemerintahan. Akibatnya, hoax dan informasi bohong justru keluar dari mulut sang calon tersebut. Alih-alih mendapatkan simpati, ternyata justru sendang mengumpulkan antipati.
Demokrasi lokal pun sesak dengan hoax dan sama sekali menjauhkan publik dari kualitas politik yang benar dan bernas. Politik yang benar dan bernas seharusnya merupakan resultante dari praktik politik sesuai dengan aturan, santun dan jujur dalam menyampaikan pendidikan politik atau kampanye. Yang jelas, kualitas demokrasi politik tidak ditentukan oleh omongan politik yang berbusa-busa, melainkan oleh praktik politik yang benar.
Kualitas pemimpin pun tidak ditentukan oleh kerasnya mikrofon kampanye politik, tetapi oleh konsistensi praktik politiknya. Pemimpin tidak diukur dari kerasnya omongan dan tegasnya bicara, tetapi dari tindakan yang konsisten. Publik tak butuh pemimpin yang hanya tegas bicara, tetapi loyo dalam praktik.
Kalau di tarik ke dalam konteks Pilkada, seorang calon pemimpin yang gemar gonta-ganti pasangan calon bupati atau wakil bupati adalah pemimpin yang “tegas” dalam pragmatisme politik, tetapi tidak konsisten dalam sikap pilihan politik.
Jika konsisten sinonim dengan ketegasan sikap, maka prinsipnya lebih baik mundur dari proses Pilkada dari pada harus mengganti pasangan calon yang sudah lama berjuang saama-sama. Lebih baik batal sebagai calon, dari pada harus mengganti pasangan calon dalam kontenstasi Pilkada. Pemimpin atau politisi sejati mestinya tidak akan bernegoisasi dengan prinsip dan pilihan.
Hal itu berbeda dengan politik karbitan (baru belajar) politik. Politisi karbitan cenderung lebih pragmatis. Mana yang menguntungkan, itu yang dipilih. Nyaris tak ada beginsel politiek (prinsip politik), meski dari mulutnya keluar kalimat “pemimpin harus tegas”. Karena tak punya beginsel politiek, ia mudah bermetamorfasa menjadi “kutu-loncat” dalam kandidasi politik Pilkada.
Jika “politik menjadi bagian dari panggilan hidup” (mengutip I.J. Kasimo), maka seorang politisi atau calon pemimpin tidak mungkin jadi “kutu-loncat” dalam politik (pencalonan). Seorang politisi mesti punya prinsip dalam berpolitik. Di situlah letak ketegasan. Beginsel politiek itu dekat dengan martabat politik. Bahwa politik itu senyawa dengan kepentingan masyarakat.
Alfred Tuname
Penulis dan Esais