Oleh Frans Anggal
Paus Fransiskus punya permenungan indah tentang Natal. Butir demi butir pesan ia sampaikan melalui kalimat indikatif, diikuti kalimat kondisional. A adalah B ketika B melakukan C. Begitu rumusannya. Salah satunya ini, butir pertama pesan: “Christmas is you, when you decide to be born again each day and let God into your soul.” Natal adalah engkau, ketika engkau memutuskan untuk dilahirkan kembali setiap hari dan membiarkan Tuhan masuk ke dalam jiwamu.
Selanjutnya, dengan rumusan yang sama, pesan-pesannya menetes sebutir demi sebutir. Pohon Natal adalah engkau, ketika engkau bertahan terhadap terpaan badai dan kesulitan hidup. Hiasan Natal adalah engkau, ketika kebajikanmu menjadi warna-warni yang menghiasi hidupmu. Lonceng Natal adalah engkau …. Lampu Natal adalah engkau …. Dan seterusnya dan seterusnya. Semuanya adalah engkau.
Ada yang menarik dari permenungan singkat paus ini. Tidak satu kata pun ia menyebut Yesus si bayi Natal. Padahal Yesus itu tokoh utamanya kisah Natal. Tanpa Yesus, Natal tidak ada.
Yang disebut paus koq hal-hal tetek bengek, tidak penting, yang tanpa semua itu pun Natal tetap bermakna asalkan Yesusnya tetap ada. Ini tidak. Yesus “dilupakan”. Yang “diingat” malah pohon Natal, hiasan Natal, lonceng Natal, lampu Natal, lagu Natal, kartu Natal, kado Natal, kue Natal, dan seterusnya dan sebagainya.
Apakah paus sedang tidak keliru? Tega-teganya Yesus tidak ia singgung sama sekali. Kalau Yesus sampai tersinggung bagaimana? Kalau Bunda Maria dan Santo Yosef kecewa berat, siapa bertanggung jawab? Mereka dua sudah setengah mati pertaruhkan hidup demi bayi yang dinanti-nantikan, eh, pada ulang tahun ke-2017 kelahiran, Yesusnya tidak disebutkan. Yang disentil malah pohon, hiasan, lonceng, lampu, lagu, kartu, kado, kue. Apakah kue yang menyelamatkan manusia? Sejak kapan kue memanggul salib ke Golgotha?
Untuk paus keliru dalam urusan seperti ini pasti tidaklah. Itu pasti. Katolik punya dogma infalibilitas kepausan. Intinya, di bawah bimbingan Roh Kudus paus tidak mungkin salah atau keliru dalam pengajaran iman dan moral.
Kalau begitu? Yang banyak keliru justru umat yang digembalakannya. Apa kekeliruan mereka? Mereka merayakan Natal tidak dengan fokus pada bernasnya Natal, tapi justru pada ampasnya. Pohon, hiasan, lonceng, lampu, lagu, kartu, kado, kue, yang semunya beratribut Natal itu adalah ampas tahu Natal. Laku Natal masa kini justru fokus ke ampas ini seraya lupa akan sari tahunya: Yesus.
Paus berangkat dari laku keliru itu. Ia start dari yang ampas menuju yang bernas. Ia menyebut pohon, hiasan, lonceng, lampu, lagu, kartu, kado, kue, yang selama ini sudah sangat diakrabi umat kristiani dalam ber-Natal, dengan tujuan menyadarkan mereka untuk apa sebenarnya semua barang tetek bengek itu diadakan kalau bukan untuk membawa mereka semakin dekat dengan Yesus si bayi Natal.
Pohon, hiasan, lonceng, lampu, lagu, kartu, kado, kue, musik Natal dan lain-lain sudah lazim menjadi sarana perayaanan Natal. Semua itu bikin Natal jadi raya, besar, akbar, meriah, gegap gempita, dan bila ditingkahi bunyi petasan serta letap-letup kembang api—di Flores ditambah lagi dengan dentuman meriam bambu—maka perayaan Natal pun jadi bising.
Paus pada bagian awal permenungannya, sebelum meneteskan butir demi butir pesan, justru menyinggung kebisingan itu. Kebisingan Natal!
“Christmas is usually a noisy party: we could use a bit of silence, to hear the voice of Love,” kata paus. Natal sering menjadi pesta yang bising. Padahal kita dapat sejenak berhening untuk bisa mendengarkan suara Cinta.
Ya, suara Cinta! Suara ilahi, dalam sanubari, tak pernah berteriak atau memekik. Ia selalu hanya membisik. Dalam bising, suara itu mungkin akan sulit terdengar. Ia membutuhkan keheningan agar mendapat tempat. Suasana yang dipersyaratkannya mirip suasana sebuah persalinan. Suasana religius. Suasana ketika sang ibunda bertarung jiwa raga antara hidup dan mati. Suasana ketika batin sang ayah bergelut antara cemas dan harap.
Suasana inilah yang dipesankan paus dalam permenungannya. Adapun pohon, hiasan, lonceng, lampu, lagu, kartu, kado, kue, musik, dan lain-lain itu, silakan. Tak apa-apa koq, malah bagus, sejauh tidak melupakan fokus: sang bayi yang lahir dalam keheningan dan kesederhanaan.
Malahan pohon, hiasan, lonceng, lampu, lagu, kartu, kado, kue, musik, dan lain-lain itu akan sangat dianjurkan apabila tidak sekadar dijadikan “instrumentum” yakni titian menuju Allah, tetapi juga “sacramentum” yaitu tanda kehadiran Allah itu sendiri.
Aha! Lonceng Natal sudah berdentang. Selamat merayakan Natal. Natal yang bernas, bukan yang ampas. Natal yang hening, bukan yang bising. Beralihlah bumi dari bunyi ke sunyi.
Penulis adalah kolumnis, mantan Pemimpin Redaksi Harian Umum Flores Pos.