RUTENG, BERITA FLORES- Perjanjian melalui Kesepakatan Awal antara warga Luwuk berkaitan dengan pendirian pabrik semen dan warga Lengko Lolok berkaitan dengan eksplorasi tambang batu gamping diduga sebuah jebakan hukum.
Koordinator Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Keuskupan Ruteng, Romo Marthen Jenarut, Pr, S.FIL.,SH.,MH menjelaskan hal itu kepada Beritaflores.com melalui WhatsApp pada Senin, 11 Mei 2020.
“Perjanjian tersebut sangat terbuka dan saya menduga ini sebuah jebakan hukum yang dapat merugikan masyarakat sendiri,” ujarnya.
Baca: Merasa Terhina, Suku Lantar-Welek Lengko Lolok Tolak Relokasi Hunian
Romo Marthen mengungkapkan, berdasarkan ketentuan pasal 1320 KUPerdata bahwa kesepakatan awal yang ditandatangani tertanggal 26 Maret 2020 mengetahui Kepala Desa Satar Punda, Fransiskus Hadilaus merupakan pra perjanjian yang sifat dan hakekatnya belum memenuhi standar sebuah perjanjian yang sah.
“Akibat hukumnya bahwa perjanjian tersebut tidak banyak memberikan perlindungan hukum, kepastian hukum serta manfaat bagi masyarakat. Karena itu, penadatanganan dokumen perjanjian tersebut bisa saja tidak membawa konsekuensi hukum dan dapat dibatalkan dan atau batal demi hukum,” tegas dia.
Pengacara Peradi itu mengatakan, objek perjanjian dalam pra perjanjian tersebut tidak dijelaskan secara terperinci dan jelas. Objek perjanjian berkaitan ganti rugi pembebasan lahan, ganti rugi tumbuh tanam, biaya relokasi dan renovasi rumah.
Baca: Di Tumbak, Aktivitas Tambang Digagalkan Meski Warga Sudah Terima Rp25 Juta
Meski masyarakat telah menerima DP (down payment) sebesar Rp.10.000.000 per KK (kepala keluarga) untuk tiga item tersebut, namun tidak dijelaskan tahapan pembayaran berikutnya termasuk total kewajiban pembayaran oleh kedua perusahaan PT Semen Singa Merah NTT dan PT Istindo Mitra Manggarai.
“Saya meminta kepada masyarakat Luwuk dan Lengko Lolok untuk mencermati dengan kritis serta penuh kehati-hatian dalam menandatangani dokumen perjanjian,” pinta Romo Marthen.
Keterlibatan Kepala Desa Satar Punda
Mantan Dosen Fakultas Hukum Atmajaya Jakarta itu menegaskan bahwa, Kepala desa Satar Punda sebagai pemerintah setempat diharapkan untuk lebih berpihak dan harus melindungi kepentingan masyarakat dengan tidak gegabah ikut menandatangani perjanjian tersebut.
“Kepala Desa Satar Punda tidak boleh menyalahgunakan kewenangan hanya untuk kepentingan orang-orang tertentu atau pihak perusahaan,” imbuh dia.
Ia menandaskan, apabila Kepala Desa Satar Punda ikut terlibat menadatangani sebuah perjanjian dan terbukti membawa kerugian yang besar bagi masyarakat Luwuk dan Lengko Lolok, maka patut diduga yang bersangkutan sengaja melakukan kejahatan dalam jabatan. JPIC dan semua pihak akan mengkawal sejauh mana Kepala Desa Satar Punda, Fransiskus Hadilaus bersikap objektif dan mengedepankan kepentingan masyarakat pada umumnya. (R11).