BORONG, BERITA FLORES- Warga Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Flores-Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak kehadiran pabrik semen di wilayah mereka.
Warga beralasan, lahan mereka akan mengalami kerusakan parah apabila aktivitas perusahaan pabrik semen masuk di wilayah itu. Bahkan, warga bakal kehilangan lumbung padi akibat lahan sawah dikuasai oleh perusahaan pabrik semen PT Singa Merah.
Data yang diperoleh Beritaflores.com, ada sebanyak delapan (8) kepala keluarga (KK) telah menyatakan penolakan mereka terhadap kehadiran pabrik semen PT Singa Merah di kampung itu. Meskipun sebanyak 65 kepala keluarga lainnya telah menerima uang down payment (DP) di kantor perusahaan PT Singa Merah di Reo, Kecamatan Reo pada Sabtu, 11 April 2020.
Menurut salah satu warga kampung Luwuk yang menolak kehadiran pabrik semen, Kontantianus Esa (62) mengatakan, tanah milik mereka merupakan warisan para leluhur yang harus dijaga dan dirawat. Ia menegaskan, dirinya tidak akan memberikan sejengkal tanah miliknya kepada investor asing karena takut menghianati para leluhur mereka.
“Ini tanah pusaka warisan dari para leluhur. Ada pesan orangtua kami bahwa, tanah ini diwariskan secara turun temurun harus dijaga dan dirawat,” ujarnya saat ditemui awak media di Luwuk, pada Jumat, 17 April 2020.
Baca: 16 Tahun Jadi Buruh Tambang: Warga Lingko Lolok Mengaku Tetap Miskin
Ia mengatakan, tanah miliknya terancam rusak parah apabila mulai melaksanakan aktivitas pabrik semen di wilayah mereka. Padahal, ia bersama keluarganya menggantungkan nasib untuk menghidupi tiga (3) orang anaknya dengan penghasilan dari lahan sawah di lokasi yang akan mendirikan perusahaan pabrik semen itu.
Kontantianus mengakui bahwa, ia bersama keluarga memperoleh penghasilan dari sawah yang dikerjakan sebanyak tiga (3) kali dalam setahun sehingga sangat membantu kebutuhan pangan bagi keluarganya.
“Saya punya tiga (3) bidang tanah sawah dan empat (4) bidang lahan kering terancam hilang karena perusahaan membutuhkan seluas 120 hektare lahan untuk mendirikan pabrik semen,” ungkap dia.
Oleh karena itu, lanjut dia, sejumlah bidang tanah milik warga Luwuk terancam hilang akibat rencana mendirikan pabrik semen tersebut. Di mana, semua tanah milik warga saat ini merupakan tanah warisan dari orangtua mereka masing-masing yang telah meninggal dunia (para leluhur).
“Kami tolak pabrik semen karena merusak lahan sawah. Apalagi sekarang, tidak ada lagi pembukaan lahan baru. Semua tanah sudah ada pemiliknya,” terang dia.
Baca: Strategi Perampasan Sumber Daya dan Kewenangan Desa di Satar Punda
Ia juga secara tegas menolak menerima uang down payment (DP) dari perusahaan sebesar Rp.10.000.000 meskipun warga lainnya telah menerima uang DP tersebut dari perusahaan pabrik semen asal Tiongkok itu.
“Perusahaan berjanji memberikan uang ganti rugi dengan total sebesar Rp.50 juta dengan rincian dana untuk merenovasi rumah sebesar Rp.30 juta sedangkan uang kompensasi sebesar Rp.20 juta. Sementara warga lain telah menerima DP sebesar Rp.10 juta,” beber Kontantianus.
Sementara itu, warga lainya yang menolak kehadiran perusahaan pabrik semen, Karolina Hinam (57) mengatakan, kehadiran perusahaan pabrik semen dapat merusak ekosistem lingkungan bahkan sumber mata air di kampung mereka terancam hilang.
“Kehadiran perusahaan pabrik akan merusak lingkungan dan lahan sawah kami. Bahkan sumber mata air akan hilang,” ujar Karolina kepada awak media di Luwuk, pada Jumat, 17 April 2020.
Putri kelahiran 1963 itu, mengungkapkan bahwa, meski dirinya menjanda usai suaminya meninggal dunia beberapa tahun lalu, namun ia bersama anggota keluarganya di kampung Luwuk secara konsisten menolak kehadiran perusahaan pabrik semen karena bisa merusak lingkungan. Ia menegaskan, apabila, perusahaan memaksa mereka untuk menyerahkan lahan, maka dirinya bersama keluarga akan menghadang pihak perusahaan PT Singa Merah di lokasi.
“Kami akan hadang, kalau dipaksakan lahan kami digunakan untuk lokasi pabrik semen,” tegas dia.
Karolina mengisahkan, usai kepergian sang suami, dirinya belum membagikan sejumlah harta warisan berupa lahan sawah dan lahan kering kepada anak-anaknya.
“Lopo (kakek) dari anak saya bernama Kantor orang pertama menempati kampung Luwuk ini. Dia datang dari Ngendeng, lalu ke Rehut. Setelah itu dia ke sini (Luwuk). Makanya kami takut sekali dengan arwah leluhur kami. Kami sangat takut terhadap nenek moyang kami,” kisah Karolina kepada awak media dengan mata berkaca-kaca yang membuat keluarga di sekelilingnya saat itu merasa haru.
Baca: DPRD Diminta Hentikan Praktek Makelar Tanah Untuk Pabrik Semen
Warga Luwuk lainnya yang menolak pabrik semen, Agustinus Fan (35) bersih keras menolak kehadiran perusahaan pabrik semen di kampung mereka. Agustinus beralasan, selain merusak lingkungan kehadiran pabrik semen bisa menciptakan beragam persoalan. Mulai dari kualitas air akan bertambah buruk, akibat limbah cair dalam bentuk minyak dan sisa air dari kegiatan penambangan sehingga menimbulkan lahan kritis yang mudah terkena erosi.
“Bahkan pabrik semen juga meningkatkan suhu udara dan debu serta suara yang ditimbulkan mesin dalam pabrik dapat menimbulkan kebisingan,” cetus dia.
Secara terpisah, salah satu warga Luwuk, Efridus Suhardi mengatakan, dirinya mendukung kehadiran pabrik semen karena telah menerima uang down payment (DP) dari perusahaan swasta asal Tiongkok itu.
“Kami ini orang miskin pak, ketika ada masuk pabrik itu peluang ekonomi bagi kami,” ujarnya singkat.
Ia mengakui, belum mengetahui secara persis sejumlah perjanjian antara perusahaan dengan warga setempat terkait kesepakatan jual beli lahan untuk mendirikan pabrik semen PT Singa Merah itu.
“Sejauh ini kami belum tahu berapa harga tanah warga per meter persegi. Belum dapat informasi,” pungkas dia. (R11).