KUPANG, BERITA FLORES – Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menilai Frans Oan Semewa (FOS) merupakan korban peradilan sesat.
“Penyidik Polda NTT telah memaksa terjadinya peradilan yang sesat,” ujar Koordinator TPDI Petrus Selestinus kepada wartawan melalui siaran pers Minggu, 18 Maret 2018.
Advokat senior itu menyoroti penetapan FOS sebagai tersangka oleh penyidik Polda NTT pada Februari lalu, dengan tuduhan pemalsuan Akta Jual Beli Tanah di Labuan Bajo, Kabupataen Manggarai Barat – NTT.
Baca Juga : Kuasa Hukum FOS Pertahankan Ketentuan Pasal 79 KUHP
Dilaporkan FOS bersama Tim Kuasa Hukumnya melakukan Praperadilan di PN Kupang atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Untuk membuktikan sah atau tidaknya penangkapan FOS dan atau penahanannya oleh penyidik Polda NTT.
“Disini sesungguhnya telah terjadi peradilan sesat yang dicoba dipaksakan oleh Penyidik Polda NTT,” tegas Petrus.
Baca Juga : FOS Hadirkan Saksi Ahli dalam Perkara Praperadilan di PN Kupang
Advokat Peradi itu menyebut tindakan penangkapan FOS adalah bagian dari proses pembodohan yang dilakukan Polda NTT.
“Untuk membodohi masyarakat NTT yang sudah tinggi kesadaran hukumnya. Ini bentuk penyalahgunaan wewenang Penyidik Kepolisian. Juga menghamburkan uang negara untuk sebuah kasus yang bukan lagi masuk dalam domain kekuasaan atau wewenangnya,” urainya tegas.
Baca Juga : Polda NTT Dinilai Ceroboh dalam Penetapan FOS Sebagai Tersangka
Oleh karenanya, lanjut dia, Hakim Praperadilan harus mengabulkan gugatan Praperadilan FOS sebagai proses pembelajaran bagi rekan-rekan Penyidik Polri di NTT yang bisa saja semangat penegakan hukumnya berlebihan sampai melampai batas alias overload.
Ia pun menyarankan, Penyidik Polda NTT untuk menyadarkan Pelapor supaya menempuh upaya perdata sekiranya meyakini bahwa atas transaksi jual beli tanah yang menjadi alas hak pihak FOS diduga terjadi pemalsuan tanda tangan. Maka buktikanlah itu dalam persidangan perdata. Sebab upaya hukum secara perdata masih terbuka lebar.
“Yang dihapus dalam pasal 78 dan 79 KUHP itu adalah kewenangan menuntut aparat Peradilan tetapi hak menuntut dari pihak korban masih terbuka dan silahkan pihak Pelapor tinggalkan Polisi, jangan peralat wewenang Polisi untuk tugas – tugas yang bukan lagi menjadi domain polisi,” ucapnya.
Baca Juga : Penyidik Polda NTT Dinilai Melanggar Hukum, Frans Oan Smewa Lakukan Praperadilan
Petrus menyindir Penyidik Polda NTT bahwa, Kapolri Jenderal Tito Karnavian belum lama ini menegaskan bahwa yang merusak citra polisi di mata masyarakat adalah Polisi yang bertugas di bidang reserse.
“Inilah yang harus diperhatikan oleh Kapolda NTT dalam rangka membenahi profesionalisme anak buahnya di bidang reserse,” tandas putra Flores itu.
Masih menurut Petrus, ketentuan mengenai kedaluwarsa suatu tindak pidana sudah sangat jelas diatur di dalam KUHP.
“Ketentuan pasal 79 KUHP sudah sangat jelas yaitu bahwa tenggang waktu untuk menghitung mulainya kedaluwarsa berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan bukan pada hari diketahuinya adanya peristiwa pidana,” jelasnya.
Ia menegaskan, penafsiran terhadap pasal 78 tersebut tidak boleh berdiri sendiri untuk mendapatkan pemahaman yang utuh.
“Karena itu membaca ketentuan pasal 79 KUHP tidak boleh berdiri sendiri tetapi juga harus membaca juga ketentuan pasal 178 KUHP di mana secara gamblang dan limitatif KUHP menegaskan kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa. Kewenangan menuntut hapus disini adalah kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim,” terangnya.
Korban kejahatan, kata dia, boleh saja melapor tetapi Polri, Kejaksaan dan Hakim tidak lagi memiliki wewenang untuk menuntut secara pidana terhadap si pelaku yang diduga melakukan pemalsuan.
Dilaporkan Praperadilan tersebut mempersoalkan penetapan tersangka terhadap FOS. Sebelumnya, Erlan Yusran, Kuasa hukum FOS menilai penetapan tersangka tersebut melanggar ketentuan pasal 79 KUHP tentang kedaluwarsa tindak pidana. (NAL/FDS/BEF).