RUTENG, BERITA FLORES- Pekan lalu, Bupati Manggarai bersama Forkopimda (forum komunikasi pimpinan daerah) yang terdiri dari Kapolres, Kejari, Dandim 1612, dan Ketua DPRD melakukan studi banding (Stuba) geotermal ke Tomohon, Sulawesi Utara.
Kepala Dinas (Kadis) Komunikasi dan Informatika Kabupaten manggarai, Heribertus Jelamu mengatakan bahwa kegiatan Stuba tersebut sudah direncanakan lama, bahkan mestinya dilaksanakan pada tahun 2024 lalu.
Menurut Kadis Jelamu, kegiatan Stuba tersebut tidak melanggar Inpres No 1 Tahun 2025 terkait efisiensi anggaran daerah, sebab seluruh biaya kegiatan itu ditanggung sepenuhnya oleh pihak PLN.
”Tidak satu sen pun APBD Manggarai dipakai untuk kegiatan ini,” ujarnya pada Jumat, 14 Maret 2025.
Kegiatan Stuba tersebut dilakukan Bupati Nabit, PLN, dan Forkopimda di tengah gelombang penolakan warga lokal terkait kehadiran proyek geotermal di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kini kegiatan Stuba itu mendapat kritik keras dari Edi Hardum, dosen sekaligus praktisi hukum asal Manggarai.
Menurutnya, pendanaan (pembiayaan Stuba) oleh pihak swasta seperti PLN terhadap pejabat publik patut diduga memenuhi unsur gratifikasi karena dapat menimbulkan persekongkolan.
“Sejak dulu, korupsi di daerah dilanggengkan dengan keberadaan forum seperti ini, yang lebih banyak mengakomodir persengkokolan di bawah payung atas nama keamanan dan ketenteraman masyarakat,” ujarnya pada Sabtu, 15 Maret 2025.
Untuk itu, ia tidak heran jika banyak sekali pejabat daerah terjerat kasus korupsi, meskipun ada juga yang tidak tersandung kasus serupa.
Edi menilai, selama ini Forkopimda sering menjadi alat kompromi politik dan bisnis sehingga memungkinkan terjadinya praktik korupsi yang sulit disentuh hukum.
“Saya tidak sedang menuduh Forkompinda Manggarai melakukan korupsi, tetapi sekadar mengingatkan. Bisa saja masyarakat menduga bahwa Forkompinda Manggarai mendapat sesuatu atas studi banding di Sulawesi Utara atau bahkan keberadaan proyek geothermal di Poco Leok”, imbuhnya.
Stuba Harus Dilakukan Sebelum Sosialisasi, Bukan Setelah Pro-Kontra Masyarakat
Lebih lanjut Edi mengatakan, Stuba tersebut menjadi sinyal kuat keputusan Pemda dan PLN untuk tetap melanjutkan proyek geothermal di Poco Leok.
Sementara semestinya, tegas dia, Stuba dilakukan sebelum sosialisasi proyek kepada masyarakat, bukan setelah terjadinya pro dan kontra di tengah masyarakat.
Karena itu, ia mengajak masyarakat Poco Leok untuk terus berjuang mempertahankan hak mereka sebagai warga lokal tanpa melanggar hukum.
“Masyarakat Indonesia pasti bersama kalian selama perjuangan kalian untuk mempertahankan hak kalian,” katanya.
Keterlibatan APH saat Stuba Bentuk Tekanan Terhadap Warga Poco Leok
Keterlibatan aparat penegak hukum (APH) seperti Kapolres, Kejari, dan Dandim saat melakukan Stuba ke Tomohon memberi kesan untuk menekan penolakan warga Poco Leok.
“Kalau mau studi banding, cukup pihak PLN dan Bupati serta timnya. Kehadiran Kapolres, Kajari, dan Dandim hanya memperkuat kesan bahwa ini bentuk tekanan”, tegasnya.
Keterlibatan mereka, sambung Edi, dapat menutup ruang gerak warga Poco Leok untuk mencari perlindungan hukum di tengah konflik proyek geotermal yang terus meningkat dan tidak pernah berujung.
Semestinya, tegas Edi, pimpinan APH menghindari atau menjaga jarak dalam setiap proyek yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
“Masyarakat akan ragu dan takut untuk meminta perlindungan hukum karena mereka bukan hanya berhadapan dengan PLN dan Bupati, tetapi juga Forkompinda yang di dalamnya ada Kapolres, Kejari, dan Dandim”, bebernya.
Pimpinan Tertinggi APH Didesak Tindak Tegas Kapolres, Kejari, Dandim Manggarai
Merespon keterlibatan Kapolres, Kejari, dan Dandim Kabupaten Manggarai, Edi pun mendesak Kapolri, Jaksa Agung, dan Panglima TNI untuk memberikan tindakan tegas terhadap ketiganya.
Ia berharap pimpinan tertinggi APH menegur atau pun memberi sanksi serup kepada ketiganya karena ikut serta dalam rombongan stuba ke Tomohon.
Sebab menurutnya, aparat penegak hukum mesti bersikap netral dalam setiap proyek yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
“Saya mendesak Kapolri agar menegur dan bila perlu memberi sanksi Kapolres Manggarai. Jaksa Agung juga harus menegur Kajari Manggarai. Demikian pula Pangdam Udayana atau bahkan Panglima TNI perlu menegur Komandan Kodim Manggarai”, pungkasnya.
Penulis: Yondri Ngajang