RUTENG, BERITA FLORES – Yayasan Pendidikan Tinggi Tunas Karya Ruteng dituding melakukan pembohongan publik dalam penyampaian alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap LPM, mantan dosen tetap di STIE Karya Ruteng.
Tudingan ini disampaikan oleh kuasa hukum LPM, Melkior Judiwan, usai menyerahkan permohonan tripartit kepada Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabupaten Manggarai, pada Senin 14 April 2025.
Melkior menjelaskan bahwa pernyataan resmi dari pihak Yayasan yang menyebutkan bahwa PHK terhadap kliennya dilakukan karena melanggar perjanjian kerja, sering tidak melaksanakan tugas, serta telah diberikan tiga surat peringatan (SP), merupakan informasi yang menyesatkan dan tidak berdasar.
“Setelah kami dalami, klien kami tidak pernah menerima satu pun surat peringatan, apalagi sampai tiga kali. Oleh karena itu, pernyataan yayasan yang telah disampaikan ke publik melalui media adalah bentuk kebohongan publik yang sangat merugikan nama baik klien kami”, tegas Melkior.
Menurutnya, surat peringatan merupakan dokumen hukum yang sangat penting dalam proses pemutusan hubungan kerja. Surat peringatan harus memuat keterangan tentang jenis pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga kerja, disertai dengan sanksi yang diberikan, dan menjadi bukti bahwa proses PHK dilakukan sesuai prosedur.
“Tanpa surat peringatan, maka PHK yang dilakukan terhadap klien kami adalah sepihak dan melanggar hukum”, tambahnya.
Permohonan Tripartit Setelah Gagal di Tahap Bipartit.
Melkior lebih lanjut menjelaskan bahwa pihaknya telah mengajukan permohonan tripartit kepada Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Manggarai. Langkah ini diambil setelah proses bipartit yang diajukan pada 28 Maret 2025 gagal.
Dalam permohonan tripartit tersebut, Melkior menjelaskan terdapat 20 poin yang merinci kronologi kasus, dugaan pelanggaran, serta tuntutan terhadap hak-hak normatif kliennya sebagai mantan dosen di STIE Karya Ruteng.
“Kami berharap mediator dari Disnaker dapat segera memproses permohonan ini. Kami juga mendorong pihak yayasan untuk bersikap kooperatif dan sportif agar persoalan ini bisa diselesaikan pada tahap mediasi tripartit tanpa perlu dibawa ke pengadilan”, ungkap Melkior.
Dugaan Pelanggaran Pidana Ketenagakerjaan.
Selain itu, Melkior juga menyoroti adanya praktik pembayaran upah yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Nusa Tenggara Timur.
Tindakan tersebut, menurutnya dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan ditegaskan dalam Pasal 185 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Pembayaran upah yang di bawah UMP bukan hanya merupakan pelanggaran administratif, tetapi juga tindak pidana kejahatan. Ancaman hukumannya bisa berupa penjara minimal satu tahun dan maksimal empat tahun, serta denda yang mencapai ratusan juta rupiah”, jelas Melkior.
Melkior menambahkan bahwa dalam pola penyelesaian hubungan industrial, mediasi tripartit merupakan mekanisme legal yang memberikan ruang bagi dialog antara tenaga kerja, pemberi kerja, dan pemerintah (melalui mediator Disnakertrans).
Proses tripartit tersebut kata melkior diharapkan dapat menemukan titik temu untuk menyelesaikan persoalan yang ada, sebelum dilanjutkan ke ranah pengadilan hubungan industrial.
“Mediator Disnaker memiliki wewenang untuk mengundang kedua belah pihak dan memfasilitasi perundingan. Jika pihak yayasan tetap tidak hadir atau tidak kooperatif, maka kami akan membawa kasus ini ke pengadilan”, pungkasnya.
Penulis : Yondri Ngajang