RUTENG, BERITAFLORES –Pemerhati lingkungan, Heribertus Philipus Nerius Baben, mengingatkan Pemerintah daerah (Pemda) Manggarai untuk menghormati hak ulayat serta prinsip tata kelola energi terbarukan dalam upaya pengembangan proyek Geothermal Poco Leok.
Pernyataan pria yang akrab disapa Heri Baben ini disampaikan sebagai respon atas suara penolakan masyarakat serta desakan pencabutan Surat Keputusan (SK) Penentuan lokasi (Penlok) Geothermal Poco Leok kepada Bupati Manggarai, Herybertus G.L Nabit.
Dalam aksi demonstrasi yang digelar di Kantor Bupati Manggarai, pada Senin 3 Maret 2025 lalu, sejumlah masa aksi mendesak agar Bupati Hery Nabit segera mencabut SK Penlok Geothermal Poco Leok.
Walau demikian, Bupati Hery Nabit, secara tegas menolak desakan tersebut dengan alasan bahwa proyek ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional dan proyek ini diperuntukkan bagi pariwisata Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Karenanya, Heri Baben menilai hadirnya proyek tersebut telah mengabaikan aspek karena justru bertentangan dengan tujuan utama pembangunan, yaitu kesejahteraan masyarakat.
“Setiap proyek pembangunan harus memanusiakan manusia. Pengabaian hak adat dan ulayat merupakan pengingkaran terhadap tujuan pembangunan,” katanya kepada Beritaflores, Jumat 7 Maret 2025.
konflik semacam ini juga, kata dia, bukan hal baru dalam proyek pembangunan berskala besar.
Ia lalu mencontohkan beberapa kasus ekstrem, seperti konflik di Rempang dan Pagar Laut, Tangerang, yang berujung pada ketegangan sosial akibat minimnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan proyek.
Dengan begitu, katanya menekankan, pendekatan dialogis dan pemufakatan bersama harus menjadi prinsip utama sebelum proyek geothermal dilaksanakan, guna menghindari eskalasi konflik serupa.
Geothermal: Potensi dan Risiko
Heri Baben juga mengakui bahwa proyek geothermal memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan energi nasional sekaligus mendukung visi pembangunan hijau. Walau demikian, lanjutnya, proyek tersebut tidak boleh sekadar menjadi ladang investasi yang berorientasi pada keuntungan semata.
“Kalau hanya berburu rente, tahapan proses bisa dilewati, mitigasi risiko diabaikan, dan spesifikasi teknologi diminimalkan. Alih-alih menghasilkan energi ramah lingkungan, yang terjadi justru sebaliknya, membahayakan masyarakat sekitar,” katanya.
Bicara tata kelola energi terbarukan, beber Heri Baben, pentingnya berbasiskan enam prinsip utama sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 4 UUD 1945, yakni kebersamaan, efisiensi berkeadilan, keberlanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan demokrasi ekonomi.
“Prinsip berwawasan lingkungan tidak hanya mencakup aspek ekologis, tetapi juga hak-hak sosial, termasuk hak masyarakat adat dan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945”, bebernya.
Dengan begitu, Heri Baben menegaskan jika proyek geothermal harus mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat setempat, tidak hanya dampak ekologis saja.
Audit Investigatif dan Keterbukaan Informasi Publik
Dalam rangka memastikan proyek geothermal berjalan sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik, Heri Baben turut mendukung audit investigatif terhadap proyek-proyek geothermal yang tengah berjalan di beberapa wilayah Flores.
Ia berpendapat bahwa evaluasi menyeluruh diperlukan untuk memastikan proyek-proyek tersebut tidak melanggar prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.
Heri Baben lalu menyoroti laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menemukan bahwa sekitar 30 persen dana proyek strategis nasional (PSN) tidak dialokasikan untuk proyek, melainkan mengalir ke pihak-pihak yang tidak terkait.
“Ini memperkuat pentingnya keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945. Publik berhak tahu bagaimana dana proyek digunakan, terutama jika menyangkut kepentingan masyarakat luas”, katanya.
Heri Baben berharap agar pemerintah dan kontraktor proyek geothermal benar-benar memperhatikan aspek sosial dan lingkungan sebelum melanjutkan proyek di Flores.
Jika tidak, proyek ini justru akan menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan dan merugikan masyarakat setempat.
“Jangan sampai masyarakat dikorbankan atas nama pembangunan”, tutupnya. (**)
Laporan: Oskarianus Yondri Saputra Ngajang