RUTENG, BERITA FLORES- Hasil penyelidikan Kejaksaan Negeri (Kejari) Manggarai dalam kasus terminal Kembur telah menetapkan dua tersangka bernama Gregorius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa pada Oktober 2022 lalu.
Selanjutnya pada 29 Maret 2023, hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Kupang memberikan vonis hukuman bagi dua tersangka tersebut.
Gregorius Jeramu divonis dua tahun penjara serta denda sebesar harga tanah yang telah ia terima. Sedangkan Benediktus Aristo Moa divonis 1,6 tahun penjara serta denda 100 juta.
Putusan itu mendapat sorotan lewat aksi demonstrasi yang dilakukan secara berjilid-jilid oleh Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (DPC PMKRI) cabang Ruteng Santu Agustinus.
Laurensius Lasa selaku Ketua DPC PMKRI cabang Ruteng mengatakan, Kejari Manggarai selama ini mengalihkan penyelidikan fisik terminal Kembur ke penyelidikan proses pengadaan lahan.
“Sementara yang bermasalah selama ini pembangunan fisik terminal kembur yang tidak kunjung selesai. Sebab terminal ini pembangunannya tidak sampai finishing sehingga menyebabkan bangunan ini mangkrak,” Ujar Laurensius saat berdemonstrasi di depan Kejari Manggarai pada Senin, (5/6) siang.
Menurut Laurensius, pilihan mengabaikan penyelidikan terhadap pembangunan fisik menimbulkan kecurigaan besar terhadap Kejari Manggarai.
Ia menduga Kejari Manggarai telah menjadikan kasus terminal kembur sebagai ajang dalam praktik-praktik pemerasan.
“Kami menduga Kejari Manggarai telah bermain mata atau berselingkuh dengan beberapa pihak tertentu sehingga kasus pembangunan fisik ditutup rapat oleh Kejari Manggarai,” imbuh dia.
Ia menegaskan, penetapan dua tersangka oleh Kejari Manggarai menjadi preseden buruk dalam praktik penegakan hukum di Indonesia secara umum dan Manggarai khususnya.
Selain itu, penetapan dua tersangka juga melahirkan rasa pesimisme masyarakat terhadap penegakan hukum di tanah Nuca Lale.
Sementara Marsianus Gampu selaku Presidium Gerakan Kemasyarakatan (Germas) PMKRI cabang Ruteng mengatakan, putusan yang dikeluarkan oleh aparat penegak hukum tentu tidak bisa diterima begitu saja.
Sebab itu, secara organisatoris PMKRI Ruteng menyampaikan beberapa keberatan terkait penetapan dua tersangka oleh Kejari Manggarai.
Pertama, terminal Kembur sama sekali tidak memberikan kontribusi ekonomi yang langsung terhadap masyarakat Manggarai Timur melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun pajak retribusi.
Kedua, terkait total (loss) atau kerugian negara sesuai hasil perhitungan yang telah disampaikan oleh Inspektorat Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar harga tanah. “Kami menilai keputusan ini sangat tidak logis,” ujar dia.
Sebab Gregorius Jeramu merupakan pemilik sah tanah tersebut dan telah diakui secara hukum adat Manggarai sesuai UUD 1945 setelah amandemen ke-2 pada tahun 2000, yang termuat dalam pasal 18B.
Pasal 18B itu menerangkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam kenyataannya, Kejari Manggarai menersangkakan Gregorius dengan PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah PBB tersebut bukan alas hak/bukti kepemilikan tanah.
Sementara berdasarkan hierarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia hukum tertinggi adalah UUD 1945. Sebab itu, ia menilai penetapan tersangka oleh Kejari Manggarai melawan perintah UUD 1945.
“Dikatakan sebagai total (loss) atau kerugian negara apabila Gregorius Jeramu menjual tanah yang bukan miliknya. Sementara faktanya dia menjual tanah miliknya sendiri yang diakui secara hukum adat Manggarai,” kata Marsianus.
Karena itu, Narsi menyimpulkan proses penegakan hukum yang sedang berjalan telah mengabaikan hukum adat atau mengabaikan hak ulayat masyarakat adat Manggarai.
Ketiga, ia menilai terjadi kriminalisasi hukum terhadap pemilik lahan. Pasalnya, Tua Golo Kembur mengakui bahwa tanah tersebut telah dikuasai oleh bapak Gregorius Jeramu selama lebih dari 20 tahun.
“Nah Dalam pasal 37 UU Pokok Agraria yang berbunyi bahwa ketika kita menguasi tanah selama 20 tahun atau lebih secara terus menerus, jujur, dan tidak dipersengketakan, memiliki hak untuk memperoleh hak atas tanah tersebut,” tegasnya.
Artinya negara sudah mengatur sedemikian rupa tentang hukum adat yang kemudian dijadikan sebagai landasan tentang keberadaan tanah yang berada di Indonesia umumnya dan Manggarai khususnya.
Apalagi kondisi Manggarai yang masih percaya penuh dengan hukum adat dalam berbagai aspek terlebih khusus tentang tanah.
Keempat, ia menilai bahwa upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejari Manggarai dan hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Kupang tidak objektif dan tebang pilih.
Sebab kepala dinas dan kepala bidang, yakni Fansi Jahang dan Gaspar Nanggar sebagai penanggung jawab utama dalam kasus terminal Kembur itu tidak ditersangkakan.
Tuntutan PMKRI Ruteng Menggugat Kejari Manggarai
Menyikapi penetapan tersangka Gregorius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa oleh Kejari Manggarai dalam kasus terminal Kembur, DPC PMKRI cabang Ruteng Santu Agustus menuntut:
1. Bebaskan saudara Gregorius Jeramu dan Benediktus Aristo Moa
2. Menyatakan mosi tidak percaya terhadap Kejaksaan Negeri Manggarai
3. Mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia (RI) untuk segera mencopot kepala Kejaksaan Negeri Manggarai
4. Mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia (RI) untuk mengevaluasi Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Kupang.
5. Mendesak Pengadilan Negeri Kupang untuk mengambil alih proses penyelidikan pembangunan fisik terminal Kembur
6. Mengutuk keras Kejaksaan Negeri Manggarai (Kejari) Manggarai yang diduga tebang pilih dalam proses penegakan hukum.
Penulis: Heri Mandela