BORONG, BERITA FLORES — Dua orang warga Kampung Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda Utara, Kabupaten Manggarai Timur melayangkan gugatan kepada Gubernur Provinsi NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dan Bupati Manggarai Timur Agas Andreas. Dua warga tersebut masing-masing, Isfridus Sota dan Bonevasius Yudent melayangkan Gugatan Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang.
Gugatan TUN tersebut terdaftar dengan Nomor Perkara: 5/G/2021/PTUN-KPG di PTUN Kupang, diwakili oleh Pengacara Marthen Jenarut, S.Fil, SH, MH, Vitalis Jenarus, SH, Valens Dulmin, SH, MH, Anselmus Malofiks, SH dan Elias Sumardi Dabur, A.Md, SH.
Pengacara penggugat, Marthen Jenarut, S.Fil, SH, MH, Vitalis Jenarus, SH, Valens Dulmin, SH, MH, Anselmus Malofiks, SH dan Elias Sumardi Dabur, A.Md, SH mengatakan, Gubernur NTT dan Bupati Manggarai Timur digugat karena menerbitkan keputusan tentang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Bukan Logam Kepada PT. Istindo Mitra Manggarai dan Keputusan Tentang Izin Lingkungan Terhadap Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Batu Gamping di Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur yang Diprakarsai oleh PT. Istindo Mitra Manggarai, tanggal 23 November 2020.
“Kedudukan dan kepentingan yang dirugikan secara ringkas dapat kami sampaikan kepentingan para penggugat dalam perkara ini terkait dengan adanya kepentingan yang dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan Para Tergugat,” tulis pengacara penggugat dalam keterangan pers Kamis, 22 April 2021.
Baca: Diaspora Kritik Hasil FGD KBAK Untuk Tambang Semen Manggarai Timur
Lebih lanjut dijelaskan bahwa, para penggugat adalah anggota masyarakat yang tak terpisahkan dari masyarakat adat Lengko Lolok yang memiliki lahan dan hunian di Lengko Lolok, Desa Satar Punda. Di atas tanah Para Penggugat, PT. Istindo Mitra Manggarai (“PT Istindo”) mulai merencanakan kegiatan penambangan batu gamping di Lengko Lolok. Rencana tersebut tanpa persetujuan para penggugat, dan karenanya dapat mengakibatkan para penggugat kehilangan hak atas tanah, kehilangan mata pencaharian dan penghidupan, kehilangan mata air dan hak untuk menikmati masa depan serta keberlangsungan hidup keluarga dan keturunannya.
“Bahwa tanah dan segala yang tumbuh di atasnya, serta hunian milik para penggugat, termasuk kampung adat (rumah gendang) masyarakat adat Lengko Lolok masuk dan atau menjadi bagian di dalam wilayah IUP Operasi Produksi Batu Gamping PT. Istindo,” kata penggugat dalam keterangan tersebut.
Masih menurut pengacara penggugat, apabila PT. Istindo Mitra Manggarai melakukan kegiatan operasional, maka sangat berpotensi menimbulkan kerugian bagi para penggugat yaitu menimbulkan dampak berupa rusaknya lahan milik para penggugat, hilangnya kampung halaman, kehilangan ruang hidup, kehilangan lahan pertanian dan perkebunan, dan kehilangan masa depan anak cucu para penggugat.
Bahwa selain itu, wilayah IUP Produksi Batu Gamping PT. Istindo mencakup seluruh ruang hidup para penggugat termasuk semua masyarakat adat Lengko Lolok. Jika ruang hidup para penggugat dihancurkan maka eksistensi para penggugat sebagai masyarakat adat Lengko Lolok akan musnah. Jika eksistensi dan ruang hidup para penggugat musnah, maka identitas kultural para penggugat pun akan musnah yaitu Kampung sebagai tempat hunian (Golo Lonto/Beo Ka’eng), Tanah sebagai lahan kelola untuk hidup (Uma Duat), Halaman Kampung sebagai tempat untuk ekspresi kreativitas hidup Natas Labar), Altar untuk perayaan kehidupan (Compang Takung), Mata Air untuk pemenuhan kebutuhan hidup (Wae Teku).
“Bahwa pada 26 Maret 2020, Tju Bin Kuan mewakili PT Istindo dan Zhao Jiang Hao mewakili PT Semen Singa Merah NTT menandatangani “Kesepakatan Awal” dengan saudara DAMIANUS DEMAS, yang mengklaim dirinya pemilik atau penguasa dari bidang-bidang tanah hak ulayat (masyarakat adat) yang merugikan Penggugat,” kata mereka.
Menurut pengacara penggugat, bahwa dalam wilayah IUP Produksi Batu Gamping PT. Istindo, ada tanah yang masih menjadi tanah ulayat. Tua Adat tidak memiliki kewenangan untuk mengklaim bahwa dia untuk dan atas nama masyarakat adat dapat melakukan penyerahan hak atas tanah pada pihak lain tanpa melalui proses musyawarah untuk mufakat bersama masyarakat adat.
Alasan Gugatan
Bahwa Para Penggugat tidak pernah memberikan persetujuan dan atau melepaskan hak kepemilikan atas lahan atau tanah pertanian, bangunan rumah sebagai tempat tinggal di Kampung Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur kepada pihak manapun terkait usaha pertambangan di atas lahan atau tanah pertanian, bangunan rumah sebagi tempat tinggal di Kampung Lengko Lolok tersebut.
Pengacara penggugat menambahkan, bahwa tindakan para tergugat telah mengabaikan dan atau melanggar hak para penggugat sebagaimana dimaksud pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959), Pasal 10 huruf b disebutkan “Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 vat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU VIII/2010.
“Di mana dalam amarnya memutuskan, Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “memperhatikan pendapat masyarakat” Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) bertentangan secara bersyarat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”;
Sementara pada pasal 10 huruf b sepanjang frasa “memperhatikan pendapat masyarakat” Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”;
Bahwa selain hal tersebut di atas, dengan diterbitkan “Objek Sengketa I” dan “Objek Sengketa II”, maka akan menimbulkan kerugian bagi Para Penggugat yaitu kerugian berupa putusnya hubungan hukum antara Para Penggugat dengan lahan milik mereka, yang tanpa persetujuan Para Penggugat telah dijadikan lokasi objek pertambangan sebagaimana dimaksud dalam kedua objek gugatan tersebut dan menimbulkan kerugian berupa hilangnya akses untuk mengelolah tanah para penggugat serta hilangnya penghasilan para penggugat atas tanahnya.
Di samping itu, para penggugat juga berpotensi mengalami kerugian dari aspek lingkungan hidup, yaitu kerugian akibat kehidupan para penggugat untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat karena ternyata objek gugatan a quo diterbitkan di atas wilayah ecoregion karst dan cekungan air tanah (CAT) yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai wilayah yang harus dilindungi dan dipertahankan demi menjaga keberlangsungan eksistensi lingkungan hidup yang sehat.
Keputusan para tergugat juga melanggar ketentuan sejumlah Undang-Undang, di antaranya: Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (“UU No. 41/2009”), UU Tentang Lingkungan Hidup, sejumlah Peraturan Pemerintah, termasuk Peratutan Daerah Kabupaten Manggarai Timur tentang Perlindungan Mata Air dan Peraturan Gubernur Provinsi NTT tentang moratorium tambang.
Selain menabrak ketentuan UU, keputusan Para Tergugat juga melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, antara lain: Asas Partisipasi Masyarakat. Asas partisipasi masyarakat sangat krusial karena menyangkut dampak sosial dan lingkungan masyarakat sekitar pasca diterbitkannya keputusan Tata Usaha Negara (TUN), dalam konteks ini instrumen perizinan lingkungan hidup, yakni Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Lingkungan.
Dokumen lingkungan tersebut mulai dari awal harus ada partisipasi masyarakat, agar dapat mengakomodasi kepentingan – kepentingan masyarakat sekitar, apalagi Para Penggugat memiliki lahan di lokasi yang akan ditambang, termasuk multiplier effect dari adanya suatu kegiatan usaha. Agenda lanjutan setelah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang adalah pemeriksaan sengketa yang dimulai dengan pembacaan isi gugatan dan jawaban tergugat. (TIM/RED).