RUTENG, BERITA FLORES – JPIC SVD dan JPIC OFM mengajukan surat keberatan dengan Nomor: 001/OF-JPIC/XI/2020 perihal Penolakan Hasil Kajian Tim Penilai AMDAL Terkait Rencana Penambangan Batu Gamping di Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Surat keberatan tertanggal 23 November 2020 itu ditujukan kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT.
Dalam surat keberatan tersebut bahwa, JPIC OFM mengacu pada Surat Nomor: DLHK. 005/755/I/2020 tanggal 11 November 2020, Perihal Pemberitatahuan tentang Penilaian Mandiri Rapat Tim Teknis Komisi Penilai AMDAL di mana terdapat pula jadwal sidang tim teknis penilai AMDAL tanggal 19-20 November 2020 tentang rencana penambangan batu gamping di Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (dan telah dilaksanakan kegiatan dimaksud).
“Maka dengan ini kami dari Office for JPIC SVD Ruteng dan JPIC OFM Indonesia yang bertanda tangan di bawah ini: Pater Simon Suban Tukan, SVD, Direktur JPIC SVD Ruteng dan Pater Aloysius Gonzaga Goa Wonga, OFM dan Direktur JPIC OFM Indonesia, setelah mempelajari dokumen AMDAL (ANDAL/RKL-RPL), bersama seluruh masyarakat Lengko Lolok dan sekitarnya yang kontra tambang batu gamping dan lembaga pemerhati lingkungan menyatakan dan menegaskan hal-hal mengenai dampak negatif penting terhadap lingkungan dan manusia dari kegiatan penambangan batu gamping, yang mengancam keselamatan bersama dan keberlanjutan hidup di lokasi tambang dan sekitarnya bahkan Flores pada umumnya, sebagai berikut,” tulis JPIC dalam surat keberatan.
Menurut Direktur JPIC, proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh PT. Istindo Mitra Manggarai (IMM) dan pihak terkait tidak melibatkan semua masyarakat yang terkena dampak langsung dari rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan batu gamping; dan dalam prosesnya masih ada warga Lengko Lolok yang menolak kehadiran tambang batu gamping. Bahkan sampai saat ini, rencana pembebasan lahan itu masih terbatas pada kesepakatan, tidak ada realisasinya.
“Kondisi ini telah menimbulkan konflik kepemilikan lahan dan konflik sosial lainnya hingga saat ini, dan jika rencana penambangan itu tetap dipaksakan, maka akan menimbulkan konflik permanen dan bahkan kekerasan fisik di dalam masyarakat,” kata JPIC.
JPIC menguraikan bahwa, di dalam kesepakatan yang dibuat dengan warga pro tambang batu gamping, pengalihan hak atas tanah bersifat permanen dari warga Lengko Lolok kepada PT IMM dengan harga yang sangat murah. Artinya setelah tanah lunas dibayar hak atas tanah seluas 599 ha sepenuhnya beralih kepada perusahaan. Ini adalah tindakan perampasan tanah/lahan masyarakat Lengko Lolok oleh PT IMM sehingga anak cucu dari warga lengko lolok pun akan kehilangan tanah dari leluhurnya.
“Tanah yang ada di dalam lokasi IUP PT. IMM termasuk tanah dan bangunan Gereja paroki Reo-Keuskupan Ruteng. Sampai saat ini Gereja Keuskupan Ruteng menyatakan dengan tegas menolak rencana penambangan batu gamping oleh PT. IMM. Gereja Keuskupan Ruteng juga menolak rencana PT. IMM untuk memindahkan gedung Gereja ke tempat pemukiman baru masyarakat adat Lengko Lolok,” ungkap JPIC.
Menurut JPIC, dalam dokumen AMDAL dinyatakan bahwa aktivitas penambangan batu gamping oleh PT. IMM menggunakan metode tambang terbuka dengan menggunakan bahan peledak sebagai media untuk membongkar bukit dan batu. Metode penambangan ini meningkatkan bahaya bagi keselamatan warga di sekitar lokasi tambang, tidak hanya warga Lengko Lolok, tetapi juga warga Tumbak, Waso, Serise, Luwuk, Watu Roga yang berada persis di bawah lokasi yang bakal ditambang.
Tidak hanya itu, metode penambangan ini, dalam kenyataan di banyak lokasi tambang, seperti di lokasi tambang mangan Serise-Lengko Lolok, meningkatkan polusi udara, merusak daerah resapan air dan meninggalkan lubang yang menganga. Artinya menimbulkan kerusakan permanen. Kondisi alam dengan kemiringan mencapai 700 tidak akan bisa dipulihkan dengan metode pemulihan apapun. Demikian juga dengan kondisi alam yang rawan gempa di lokasi rencana penambangan, penggunaan bahan peledak ini akan meningkatkan frekuensi gempa dan atau gerakan tanah, yang pada gilirannya nanti akan menyebabkan terjadinya erosi dan sedimentasi pada lahan-lahan pertanian dan perkampungan milik masyarakat.
“Saat ini tim Geologi dari Kementerian ESDM sedang melakukan penelitian tentang karst di wilayah Manggarai Timur termasuk lokasi di dalam wilayah IUP PT. IMM di mana hasil sementara memperlihatkan bahwa ada ciri-ciri Bentang Alam Karst (seperti ditemukannya dua ponor). Karena itu kesimpulan PT. IMM yang termaktub dalam dokumen ANDAL bahwa lokasi IUP tidak memenuhi kriteria Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) terlalu cepat dan hanya ingin cepat mendapatkan rekomendasi dan izin lingkungan,” beber JPIC.
Lebih lanjut JPIC menambahkan, air dan udara merupakan kebutuhan vital manusia dan karenanya sangat penting. Penambangan batu gamping adalah kegiatan pembongkaran alam/gunung, apalagi menggunakan bahan peledak yang akan menimbulkan pencemaran udara dan merusak sumber-sumber air dan mencemarinya, sehingga menurunkan kuantitas air tanah. Warga Lengko Lolok, Tumbak, Waso, Serise, Satarteu, Watu Roga dan Luwuk akan kekurangan air, tidak saja untuk kebutuhan manusia, tetapi juga untuk kebutuhan ternak dan tanaman pertanian mereka (sawah yang ada di bawah lokasi tambang). Udara dan air yang tercemar menyebabkan keracunan pada manusia, hewan ternak dan tanaman. Hal ini merusak kualitas hidup manusia/warga di sekitar lokasi penambangan. Karena itu, seperti disampaikan dalam dokumen AMDAL, pencemaran udara dan penurunan kuantitas dan kualitas air merupakan dampak negatif penting dari penambangan. Dengan demikian, rencana penambangan batu gamping oleh PT IMM berpotensi melanggar hak hidup warga sekitar, terutama hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dalam surat keberatan juga, JPIC juga menguraikan bahwa, informasi dan data yang ada di dalam dokumen ANDAL sebagaimana disajikan dalam tabel 4.3 tentang kriteria dan kelayakan lingkungan hidup memperlihatkan sejumlah dampak negatif penting lingkungan yang menurunkan kualitas kehidupan manusia. Bahkan sampai memindahkan penduduk dari tempat hidupnya dengan seluruh sistem kehidupannya, tetapi pihak pemrakarsa (PT IMM) menyatakan bahwa rencana penambangan batu gamping adalah layak secara lingkungan. Pernyataan ini mengandung unsur penipuan dan merampas hak hidup dan ruang hidup warga Lengko Lolok dan sekitarnya.
Peserta rapat penilaian AMDAL terdiri dari beberapa pihak termasuk masyarakat yang terkena dampak baik yang setuju maupun tidak setuju dengan rencana dan/atau kegiatan penambangan batu gamping. Kenyataannya tidak satupun masyarakat kontra tambang dilibatkan dalam rapat tim teknis untuk menilai AMDAL. Padahal masyarakat yang tidak setuju juga memiliki lahan/tanah di wilayah rencana usaha dan/atau kegiatan PT. IMM, termasuk pihak Gereja Keuskupan Ruteng. Jika rencana itu dilaksanakan maka, kami yakin konflik sosial terbuka akan terjadi dan tidak bisa dihindari.
Selain masyarakat yang terkena dampak, tim teknis penilai AMDAL juga harus melibatkan kelompok-kelompok masyarakat pemerhati lingkungan. Bahwa ada 12 kelompok masyarakat pemerhati lingkungan yang telah menyatakan keberatan dan menolak proses AMDAL. Namun kelompok-kelompok masyarakat tersebut juga tidak dilibatkan dalam pembahasan AMDAL. Fakta ini juga berpotensi menimbulkan konflik di lapangan di kemudian hari. Karena kelompok pemerhati lingkungan hidup itu juga mempunyai hak atas lingkungan hidup yang sehat.
“Lahan yang digunakan untuk kegiatan penambangan batu gamping yang memanfaatkan 599 ha adalah lahan pertanian warga, belum termasuk areal konstruksi dan processing, hal ini berdampak pada hilangnya produksi pertanian, khususnya pangan, artinya akan menghilangkan ketahanan dan kedaulatan pangan warga, dan generasi yang akan datang. Apalagi dalam kesepakatan pelepasan hak atas tanah, pelepasan itu terjadi secara permanen,” tegas JPIC.
JPIC mengungkapkan, pasca beroperasinya pertambangan biasanya tanah milik masyarakat akan mengalami perubahan sifat, baik sifat fisik (artinya: pasca beroperasinya tambang akan terjadi perubahan struktur dan tekstur tanah serta iklim mikro), sifat kimia (artinya: pasca beroperasinya tambang, ph tanah menjadi rendah (reaksi tanah masam), kadar unsur hara makro (terutama N, P, dan K), mineral beracun meningkat (Fe, Pb, Cu dan Zn)] maupun sifat biologis (artinya: aktivitas mikroorganisma menurun, miskin bahan organik).
Dalam surat itu disebutkan bahwa, perusahaan tambang mangan sebelumnya (PT. Istindo Mitra Perdana) pernah menambang mangan di lokasi yang sama dan sebagian lahan milik warga Serise. Data geologi memperlihatkan bahwa potensi mangan di lokasi itu cukup besar dan diduga belum semuanya ditambang. Dengan kondisi harga mangan dunia sekarang adalah terbaik kedua sesudah emas, maka rencana penambangan batu gamping oleh PT IMM yang pemiliknya masih orang sama dengan PT Istindo Mitra Perdana, sesungguhnya hanya sebuah kamuflase untuk menambang mangan.
“Selanjutnya, pemilik perusahaan tersebut, sampai saat ini tidak pernah melaksanakan tanggung jawab reklamasi terhadap lingkungan yang hancur. Peristiwa ini masih menyimpan rasa duka dan trauma mendalam bagi warga Serise dan kampung sekitar termasuk Lengko Lolok,” tulis JPIC dalam surat keberatan.
Bahwa sikap penolakan ini mempunyai dasar konstitusionalnya. Adapun pasal-pasal dalam UUD 1945 dan pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjamin hak masyarakat menolak pertambangan adalah sebagai berikut: pasal 28 g ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
“Juga ketentuan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,” kata JPIC.
Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Ketetapan MPR RI No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan: Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Hak masyarakat ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 9 ayat (3) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 65 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”.
Pasal 65 ayat (4) UU No.32 Tahun 2009 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas partisipasi dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” dan Pasal 65 ayat (5) UU No.32 Tahun 2009 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup”.
Permohonan atau Tuntutan
“Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, maka dengan ini kami menegaskan kembali sikap kami sebagai berikut: Bahwa kami dari Office for JPIC SVD, JPIC OFM, dan JPIC Keuskupan Ruteng dan masyarakat Lengko Lolok kontra tambang batu gamping berketetapan hati untuk menolak Dokumen AMDAL (ANDAL/RKL RPL) yang sudah dibahas oleh Tim Penilai AMDAL. Menolak setiap bentuk pemaksaan kehendak dan semua upaya Pemerintah Manggarai Timur untuk menghidupkan kembali IUP tambang di Manggarai Timur, terutama di wilayah Lengko Lolok,” tegas JPIC.
Office for JPIC SVD, JPIC OFM, dan JPIC Keuskupan Ruteng dan masyarakat Lengko Lolok kontra tambang batu gamping juga meminta kepada Bupati Manggarai Timur, Gubernur Nusa Tenggara Timur dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk menolak hasil studi AMDAL (ANDAL/ RKLRPL) yang dibuat oleh PT Istindo Mitra Manggarai dan Tim teknisnya. JPIC juga menegaskan, bahwa dalam hal Bupati Manggarai Timur mengabaikan hak-hak konstitusional dan hak-hak hukum sebagaimana diuraikan di atas, maka pihak JPIC akan menggunakan hak konstitusional dan hak hukum untuk memperjuangkan hak secara kolektif dengan menggugat Bupati Manggarai Timur melalui prosedur hukum yang berlaku di Indonesia. (TIM).