YOGYAKARTA – KESA merupakan organisasi yang memfokuskan diri pada kajian seputar isu-isu tentang desa. KESA didirikan pada 25 Oktober 2014. Dalam rangka memperingati hari ulang tahunnya yang ke-6, Kelompok Studi Tentang Desa (KESA) menggelar diskusi publik via zoom meeting.
Diskusi publik yang mengusung tema “Di hadapan Industri Pertambangan: Desa Bisa Apa?” itu digelar pada Sabtu, 24 Oktober 2020 dan dimulai pada pukul 17.30 sampai dengan pukul 19.30 WIB.
Kepala Desa KESA, Herry Kabut mengatakan, tema ini sengaja diangkat karena melihat upaya-upaya yang dilakukan oleh negara untuk menjadikan desa hanya sebagai arena pembangunan. Meskipun UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dimaksudkan untuk menjadikan desa sebagai subjek pembangunan, namun kecenderungan negara untuk mengeksploitasi desa masih menjadi salah satu persoalan pokok yang terjadi di desa. Hal ini menunjukan bahwa desa tidak pernah luput dari saling sengkarut praktik pembangunan di Indonesia.
Menurut Herry, salah satu bentuk upaya untuk mengeksploitasi desa adalah dengan menghadirkan industri tambang di desa. Industri tambang kata dia, tentu melemahkan bahkan meruntuhkan asas rekognisi dan subsidiaritas yang diberikan kepada desa sebagaimana termaktub dalam UU Desa nomor 6 tahun 2014.
“Dengan dalih untuk mensejahterakan masyarakat, industri tambang dipaksa untuk beroperasi di desa yang pada gilirannya mengamputasi kewenangan desa dan merampas ruang hidup masyarakat desa,” ujarnya melalui keterangan pers pada Minggu, 25 Oktober 2020.
Salah narasumber Diskusi Publik, Direktur Lembaga Strategi Nasional, Syarif Aryfaid mengatakan, selama ini pihaknya banyak melakukan advokasi dan pemberdayaan di berbagai desa di Indonesia. Syarif menjelaskan beberapa premis dalam mendudukkan persoalan desa dan korporasi.
Menurut Syarif, premis pertama yang harus dibangun bila mendudukan persoalan desa dengan korporasi adalah menelaah eksistensi desa, eksistensi masyarakat desa, dan eksistensi pemerintah desa di dalam koridor UU desa khusunya yang mengatur tentang klausul kewenangan desa.
“Kita perlu memahami secara mendalam soal kewenangan-kewenangan desa dan eksistensi desa. Eksistensi desa itu secara politik yaitu pemerintah desa, maupun secara sosial dan ekonomi,” pungkas dia.
Premis kedua, kata dia, harus diakui bahwa UU Desa itu bukanlah sebuah kitab suci yang memiliki kesempurnaan. Ada beberapa kelemahan dalam UU Desa. Salah satunya adalah UU Desa makin ke sini terjebak di dalam skema perangkap politik teknokrasi. Ia menambahkan, asas rekognisi yang diberikan negara kepada desa memunculkan interpretasi tambahan.
“Buktinya adalah ketika diturunkan dalam peraturan bawahan entah itu Peraturan Pemerintah, Permedes, Permendagri, seringkali mengalami distorsi makna”, tandasnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa desa dihadapkan dengan persoalan tambang dalam kondisi multiinterpretasi, lalu secara tidak langsung, posisi desa dihadapkan dengan supradesa dulu sebelum berhadapan dengan korporasi. Ketika berhadapan dengan supraesa, desa pada akhirnya ditaklukan dengan cara-cara yang teknokrasi dan administrasi. Jalur yang bisa digunakan ketika desa berhadapan dengan cara-cara yang teknokrasi dan administrasi itu yaitu melalui musyawarah desa tentang rencana investasi tambang yang masuk ke desa.
“Dalam Musyawarah Desa itu, desa punya hak untuk menolak investasi tambang tersebut. Tetapi kemudian, hak menolak itu bukan berarti secara hukum bisa membatalkan izin investasi. Jadi, desa bisa berbuat secara prakarsa lokal untuk menolak kehadiran investasi itu tetapi keputusannya akan dilihat pada arsiran-arsiran kewenangan”, tandasnya.
Menurut dia, secara gerakan sosial, desa bisa melakukan penolakan terhadap industri pertambangan. Tetapi, penolakan itu bisa dijadikan poin untuk negosiasi bagaimana relasi, negara, korporasi, dan masyarakat sipil. Penaklukan desa itu, selain dilakukan oleh pemerintah daerah, juga dilakukan oleh pemerintah provinsi serta dilakukan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, hal yang bisa dilakukan adalah mendorong pemerintah daerah melakukan upaya-upaya proteksi terhadap desa, khususnya aset-aset strategis desa.
“Sehingga, desa bukan hanya sekadar nama, tetapi dia punya aset yang kemudian dia bisa terlibat dalam pengelolaan aset tersebut dan menjadi bagian penting dalam menjadi daya dukung ekonomi di desa,” beber dia.
Pada kesempatan yang sama, Dosen SPMD “APMD” Yogyakarta, Fatih G. A. Nasution salah satu narasumber dalam diskusi publik ini, mengatakan, sebetulnya desa belum menjadi bagian konflik pertambangan, hari ini. Hal itu bisa dicek di berbagai media, misalnya yang selalu digambarkan adalah konflik antara warga dengan korporasi atau dengan negara. Desa belum dimunculkan menjadi subjek dalam hal ini. Padahal, desa itu menjadi pihak yang paling dirugikan. Desa kata dia, menjadi pihak yang paling dekat dengan dampak aktivitas pertambangan baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun secara ekologi.
“Desa belum menjadi basis dalam melakukan pengorganisasian membangun gerakan keadilan tambang. Belum ada upaya untuk meletakkan desa sebagai poros kekuatan untuk melakukan perimbangan bagi bekerjanya industri ekstraktif ini,” urai dia.
Ia juga agak menyangsikan bahwa pertarungannya adalah antara desa dan korporasi atau dengan negara. Desa, sampai hari ini hanya menjadi situs tempat berlangsungnya konflik-konflik pertambangan. Desa pun hanya disebut di media hanya sebagai lokasi berlangsungnya pertengkaran semacam itu. Tetapi, desa belum menjadi subjek dalam konteks pertarungan untuk melawan industri ekstraktif.
Ia melanjutkan bahwa sebetulnya ada peluang yang bisa kita lakukan terkait dengan menjadikan desa sebagai basis membangun “perlawanan”. Desa bisa menjadi pengimbang karena desa merupakan pihak yang paling terdampak dan yang paling berkepentingan terhadap keadilan sumber daya tentunya. Bahkan dalam UU Desa membuka peluang adanya pembangunan kawasan perdesaan dan kerjasama antardesa. Hal ini perlu diorganisasikan dengan membangun narasi yang justru melawan wacana tentang kawasan tambang dalam skema kerjasama antardesa atau dalam satu kawasan.
“Artinya, sebetulnya hal yang kita coba dorong adalah pertarung pada tingkat discourse dulu. Bagaimana memenangkan discourse bahwa kawasan desa-desa yang akan dijadikan lokasi tambang ini kita rebut maknanya sebagai kawasan yang tertutup bagi upaya untuk menylapnya atau mengeksploitasi menjadi kawasan tambang,” terang dia.
Ia menjelaskan, di dalam membangun gerakan melawan industri tambang memang harus holistik. Tidak bisa meletakkannya dalam kerangka yang sektoral atau parsial. Jangan sampai, misalnya desa hutan dan desa tambang tidak ketemu. Karena poinnya sama yaitu menjaga dan merawat ruang hidup desa sebagai entitas sosial maupun ekonomi.
Lebih lanjut, ia menguraikan, desa boleh saja menolak investasi tambang tetapi tentu itu akan semakin kuat gaungnya apabila desa mengorganisasikan diri dengan skema kerjasama antardesa melalui kawasan perdesaan sehingga narasinya juga utuh. Jadi, hal yang diperjuangkan adalah soal nasib desanya. Bukan hanya orang-orang yang tinggal di desa, tetapi bicara tentang desa sebagai entitas yang utuh. Dalam konteks itu, desa semakin punya makna sebagai subjek. Meskipun berlangsung via Zoom Meeting, diskusi publik ini tetap menarik karena audiensnya sangat antusias. Hal itu terbukti dari semangat audiens dalam menyampaikan pertanyaan dan informasi kepada kedua pemateri. (Tessy Janar/Tim).