BORONG, BERITA FLORES – Koordinator Kelompok Diaspora Luwuk-Lengko Lolok, Maksi Rambung, mengkritisi pihak PT Istindo Mitra Perdana karena meninggalkan lubang bekas tambang mangan yang masih menganga di kampung Serise, Desa Satar Punda akibat aktivitas tambang mangan sebelumnya.
Maksi Rambung menegaskan hal tersebut saat mendapat kesempatan berbicara pada acara sosialisasi konsultasi publik dalam rangka penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) penambangan batu gamping di Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur pada Sabtu, 12 September 2020.
Pria yang pernah bekerja pada perusahaan tambang batu bara di Kalimantan itu mengatakan, dirinya tidak anti terhadap kehadiran perusahaan tambang. Akan tetapi ia mengaku benci dengan pelaku atau perusahaan tambang yang bekerja tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Menurut dia, aktivitas pertambangan memiliki asas manfaat, asas keadilan, keseimbangan, keberpihakan kepada masyarakat, partisipatif, transparansi, akuntabilitas dan berwawasan lingkungan.
“Kalau hari ini kita analisa, lalu fakta historis kegiatan tambang sudah merusak, apa kira-kira yang dilakukan,” ujarnya di hadapan ratusan peserta kegiatan itu.
Maksi, begitu ia akrab disapa menegaskan, pihak PT Istindo masih ada di sini. Bahkan PT Istindo Mitra Perdana yang disebut-sebut telah berganti baju menjadi PT Istindo Mitra Manggarai menangani penambangan batu gamping di Lengko Lolok, kini bekerja sama dengan perusahaan semen asal Tiongkok PT Semen Singah Merah NTT.
“Jika hari ini kita bereuforia dengan kehadiran tambang, maka menurut saya kita harus berpikir ulang. Sering terjadi adalah tambang liar. Ya memang orang liar. Rusak memang negeri ini. Kami dalam segala tuntutan untuk melakukan reklamasi,” kata putra kelahiran Luwuk itu.
Ia menambahkan, dalam lapisan tujuh hingga delapan meter pada aktivitas tambang yang telah dikupas. Lalu disusun kembali. Di mana, harus kembali ditanam pohon sesuai peruntukannya sejalan dengan perintah undang-undang.
Maksi pun mengungkapkan bahwa, ada juga wilayah pasca aktivitas tambang mangan seperti di kampung Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda terdapat sejumlah lubang besar yang menganga bekas aktivitas tambang PT Istindo Mitra Perdana. Bahkan terjadi di beberapa titik ada tumpukan debu mangan.
“Itu racun, saya anggap itu limbah. Seharusnya dilakukan land clearing atau dilakukan pembersihan lahan. Tetapi apa yang kita lihat hari ini. Maaf pa Didi, pimpinan PT Istindo. Saya tidak tahu apa sebabnya, tapi itu fakta historis dan fakta hukum,” beber Maksi Rambung.
Ia menguraikan, wilayah pulau Flores, NTT harus dijaga dan dirawat dari ancaman kerusakan lingkungan secara masif oleh para perusak lingkungan. “Kita ini lahir dari rahim yang sama, yakni pulau Flores. Saya hanya bayangkan, pulau kita hanya sejengkal lalu kita abaikan itu. Kalimantan, pulau cukup besar lahan tidak produktif dan pemerintah sudah menetapkan wilayah pertambangan,” kata dia.
Menurut Maksi, apabila ada perusahaan yang melakukan lobi jual beli lahan untuk aktivitas pertambangan, itu tidak ada dalam pasal undang-undang. Jika aktivitas jual beli lahan dilakukan demi pertambangan, maka seluruh wilayah republik ini bisa saja menjadi milik investor tambang.
“Bagaimana aktivitas tambang bisa melakukan jual beli (dengan masyarakat), maka sekian republik ini adalah milik pengusaha tambang atau investor, unlogic. Saya pun bisa beli banyak di Kalimantan,” papar dia.
Maksi menegaskan, bukan itu yang benar, karena pada waktunya lahan dikembalikan kepada masyarakat sesuai peruntukkannya. “Saya jujur katakan, saya menolak oleh karena tidak melakukan hal-hal seperti ini. Saudara-saudara saya, tadi dikatakan ada uang banyak. Saya juga belum dapat sebenar-benarnya, berapa itu? Bagaimana pemberdayaan perusahaan untuk menjadikan kesejahteraan masyarakat,” urai dia.
Di sisi lain, kata dia, janji kesejahteraan telah terkikis seperti sosial budaya. Pihaknya juga mengutarakan bahwa, Tim Amdal menyampaikan aspek yang dipertimbangkan adalah aspek ekonomi, ekologi dan berwawasan lingkungan.
“Saya pikir, poinnya kita tidak akan lagi kembali kepada aktivitas tambang masa lalu (yang merugikan masyarakat). Untuk hari ini fakta historis sangat jelas. Itu fakta. Ini menjadi pertanyaan buat kita,” tandas Maksi. (R11/TIM).