JAKARTA, BERITA FLORES– Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema menolak rencana pembangunan pabrik semen dan tambang batu gamping di Luwuk dan Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Ansy, selain merusak lingkungan, tambang dapat mengakibatkan petani kehilangan lahan produktif untuk pertanian, perkebunan dan peternakan. Ia menegaskan, industri ekstraktif tidak cocok dengan konteks mayoritas masyarakat NTT yang hidupnya bergantung pada sektor kelautan, peternakan dan pertanian.
Ansy Lema menegaskan hal itu ketika menerima audiensi perwakilan Diaspora Manggarai Raya di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan-Jakarta, pada Rabu, 1 Juli 2020.
Dalam audiensi yang dihadiri pula anggota DPR RI yang berasal dari daerah pemilihan (dapil) NTT I Andreas Hugo Pareira (AHP) tersebut, perwakilan Diaspora Manggarai Raya menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana pembangunan pabrik semen dan tambang batu gamping, Desa Satar Punda.
Koordinator Diaspora Manggarai Raya, Flory Santoso Ngganggur membuka dialog dengan memaparkan kajian komprehensif perihal alasan penolakan terhadap rencana pembangunan pabrik semen dan tambang batu gamping. Menurut Flory, kehadiran pabrik semen dan tambang mengancam hak hidup masyarakat adat, mencemari lingkungan hidup, dan berpotensi merusak tatanan sosial. Bahkan mengancam kawasan karst Flores sebagai tempat raksasa penyimpanan air di bawah tanah.
Menanggapi hal itu, Ansy menyampaikan sikap Fraksi PDI Perjuangan DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT) yang secara tegas-jelas-lugas mendukung sektor pariwisata sebagai penggerak utama (prime-mover) perekonomian NTT dan dengan itu menolak pembangunan pabrik semen dan tambang di Matim. Ia juga menyampaikan sikap pribadi sebagai Anggota DPR RI Komisi IV, yakni menolak tambang di NTT.
NTT termasuk Manggarai Timur, demikian Ansy, memiliki banyak potensi sumber alam yang dapat dikembangkan untuk menyerahterakan masyarakat serentak tidak berpotensi merusak lingkungan atau membuat masyarakat lokal termarjinalkan. Pilihan yang tersedia seharusnya bukan tambang tetapi pariwisata berbasis komunitas yang didukung sektor peternakan, perikanan, atau pertanian.
Bagi Ansy, NTT adalah “Nelayan, Tani, Ternak.”
“Potensi kelautan-perikanan NTT berlimpah sebagai provinsi kelautan, namun belum dioptimalkan secara baik. Padahal, 71 % wilayah NTT adalah laut. Demikian juga sektor peternakan yang punya potensi besar, namun belum dikembangkan dan dikelola secara baik. NTT punya masa lalu gemilang sebagai eksportir ternak (sapi) sampai ke luar negeri. Kini tinggal kenangan. Kita harus fokus kembangkan perikanan, peternakan dan kelautan-perikanan untuk mengeluarkan NTT dari kemiskinan dan ketertinggalan,” ujar Ansy.
Potensi pertanian di NTT harus dikembangkan secara maksimal. Sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama penduduk NTT. Sekitar 1,16 juta (48,7 persen) penduduk NTT bekerja di sektor ini, dengan jumlah petani 942.455 orang.
Sektor pertanian kata dia, harus menjadi fokus perbaikan agar bisa menekan angka kemiskinan. Selain itu, kemiskinan NTT identik dengan kemiskinan petani. Angka kemiskinan di NTT pada September 2019 tercatat 20,62 persen, yakni sebesar 1.129,46 ribu orang. Sebanyak 1.020,84 ribu orang tinggal di pedesaan, dan mayoritasnya bekerja sebagai petani.
“Kemiskinan petani di NTT bukan karena faktor sosio-antropologis. Artinya, mayoritas petani miskin bukan karena faktor kemalasan. Kemiskinan petani NTT adalah kemiskinan struktural; dibiarkan tetap miskin oleh struktur-struktur kekuasaan. Petani tidak berdaya karena belum ada kebijakan tepat sasar yang memihak mereka. Bukan petani atau lahan yang tidur, tetapi negara yang tidur. Alih-alih memiliki komitmen membangun sektor pertanian, peternakan ataupun kelautan, pemerintah lebih suka memilih jalan pintas, seperti menerbitkan izin tambang,” kata Ansy.
Menurut Ansy, pariwisata di NTT harus dibangun dan ditopang di atas konsep “Nelayan, Tani, Ternak”. Artinya, pariwisata menjadi penggerak utama (prime mover) yang menghidupkan tiga sektor tersebut. Selain itu, jika ingin membangun pariwisata NTT, maka perspektif dasarnya konservasi, bukan eksploitasi dan eksplorasi. Itu sebabnya ia juga menolak izin investasi yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) di wilayah konservasi Taman Nasional Komodo (TNK), yang juga menuai demonstrasi masyarakat Manggarai Barat.
“Di Komisi IV DPR RI saya kencang menyuarakan pentingnya sektor pertanian, peternakan dan perikanan-kelautan. Pengembangan pariwisata berkelanjutan di NTT harus mengedepankan konservasi, bukan investasi yang berujung eksploitasi biota laut maupun ekosistem hutan. Maka saat ada gonjang-ganjing pro kontra tambang di Matim, saya pribadi mengambil posisi tegas menolak kehadiran tambang karena merusak lingkungan,” tegas Ansy.
Ansy menganjurkan transformasi paradigma dalam membangun NTT. Saatnya pemerintah mengembangkan pariwisata berbasis komunitas di NTT dengan mengandalkan dukungan pertanian, kehutanan-lingkungan hidup dan kelautan-perikanan.
Senada dengan Ansy Lema, Andreas Hugo Pareira (AHP) juga menolak rencana pertambangan. Bahkan AHP mendesak Pemda Manggarai Timur supaya tidak menjadi calo atas rencana penambangan dan pendirian pabrik semen. Pemda sebagai perwakilan Negara perlu hadir untuk melindungi masyarakat. Pemerintah selayaknya menjadi regulator untuk melindungi rakyat. Jangan sampai pemerintah posisinya menjadi tidak seimbang dengan pemilik modal.
“Saya minta Pemda jangan menjadi calo. Saya tidak mengatakan siapa-siapa tapi dalam banyak kasus, seringkali justru pemerintah mau ‘main” bukan berperan sebagai regulator yang melindungi rakyat, tapi berperan sebagai perantara,” tegasnya. (TIM).