BORONG, BERITA FLORES- Polemik industri pertambangan di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur terus bergulir. Bahkan puluhan organisasi gerakan telah menyatakan menolak investasi ekstraktif itu, karena sangat merusak bumi Flores khususnya wilayah pantai utara Manggarai Timur.
Penolakan dari berbagai elemen gerakan itu bukan tanpa alasan. Di mana, terdapat sejumlah lubang menganga di lokasi yang pernah dieksploitasi perusahaan tambang baik di kampung Lengko Lolok maupun di kampung Serise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur. Bahkan hingga kini tak kunjung direklamasi.
Fakta tersebut terungkap usai awak media menelusuri lokasi Lingko Ulung Serise, tanah ulayat milik warga kampung Lengko Lolok, Desa Satar Punda.
Menuju Lingko Ulung Serise
Matahari mulai tenggelam di Ufuk Barat, tepat pukul 17.05 waktu setempat, kami kemudian mengendarai sepeda motor dari kampung Lengko Lolok menuju Lingko Ulung Serise. Meski masih jalan tanah belum ditanami batu telford, namun bekas ruas jalan yang dibuka perusahaan tambang mangan PT Arumbai Mangan Bekti itu bisa mengakses lokasi menggunakan sepeda motor.
Sekitar 10 menit perjalanan menggunakan sepeda motor dari cabang Bea Mberong menuju Lingko Ulung Serise, lokasi bekas tambang mangan PT Arumbai Mangan Bekti yang mulai beroperasi pada awal 1997 silam. Secara perlahan kami mulai menyusuri jalan tanah meski dipenuhi rumput liar baik di kiri maupun kanan jalan tersebut. Usai memarkir sepeda motor di bawah kaki bukit itu, kami pun harus menaiki bukit Ulung Serise melalui jalan setapak karena tak bisa dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat.
“Mari sudah, kita naik ke atas,” kata Isfrius Sota yang setia menemani kami dalam perjalanan.
Matahari sudah mulai tenggelam di Ufuk Barat tepat pukul 17.15 menit saat kami tiba di penghujung jalan raya memasuki lokasi Lingko Ulung Serise. Kami mulai mendaki bukit tersebut penuh dengan ekstra hati-hati. Maklum, di lokasi ini, akses masuk dipenuhi rumput liar dan pohon lamtoro yang melintang di ruas jalan masuk karena bekas ditebang warga yang beternak sapi.
Di kaki bukit itu, kami menjumpai peternak sapi bernama Siprianus Syarif. Ia mengaku, dirinya mulai memelihara sapi sejak tahun 2016 silam. Ia pergi ke lokasi peternakan mengurusi sapi miliknya menggunakan sepeda motor bebek. Tampak sepeda motor bermerek Honda Blade terpakir di pinggir jalan saat kami melintasi lokasi itu.
“Saya memiliki 7 ekor sapi, sudah jual beberapa ekor dengan harga per ekor Rp.7 juta. Uangnya saya gunakan untuk kebutuhan keluarga kami,” kata Siprianus.
Putra sulung dari Yosep Oven itu menuturkan, usaha peternakan sapi sangat membantu meningkatkan perekonomian keluarganya. Saat mulai beternak sapi, dirinya mendapat tambahan penghasilan selain menjual hasil komoditas seperti jambu mete. Bahkan kini, dirinya telah menikmati uang hasil penjualan sapi peliharaannya.
Lintasi Jalan Ekstrim
“Ayo, kita lanjutkan perjalanan,” celetuk Isfridus seusai berpapasan dengan Siprianus yang sedang mengurusi ternak sapi di lokasi itu.
Meski sekitar 30 meter lebih dari bawah kaki bukit terdapat jalan setapak yang sering digunakan peternak sapi, namun sangat sulit dilalui karena banyak pohon lamtoro yang tumbang karena telah ditebang para peternak sapi sehingga menghalangi jalan setapak itu.
Kondisi itu tak menyurutkan semangat kami menaiki bukit terjal itu untuk bisa sampai ke puncak Lingko Ulung Serise. Bermodalkan sebilah parang milik Isfridus, ia lalu menebas rumput liar agar bisa membuka akses jalan ke lokasi itu.
“Mari jalan di sini, ikuti saya,” ajak Isfridus dengan penuh gairah.
Semangat Isfridus menuntun kami dalam perjalanan menuju bukit Lingko Ulung Serise terus berkobar. Bahkan, ia terus menghela nafasnya karena lelah menaiki bukit itu.
Sambil jalan, kami berpose untuk mengabadikan perjalanan yang sungguh menantang itu. “Ayo kita foto, sebagai bukti kita pernah ke lokasi ini,” celetuk Peppy Kurniawan salah seorang jurnalis yang bekerja pada sebuah media daring di Manggarai.
Sesaat sebelum sampai ke bukit bekas tambang mangan itu, tampak rerumputan bergoyang ditiupi angin dan terdengar beberapa burung terus berkicau, seperti ingin menyapa rombongan kami di lokasi itu.
Perjalanan yang sungguh menantang itu tidak menyurutkan semangat kami untuk mendaki hingga mencapai di puncak itu. Kelelahan kami pun terbayar lunas karena bisa melihat secara lansung kondisi kerusakan alam sebagai tujuan utama kami hari itu.
“Ini lubang besar bekas tambang PT Arumbai Mangan Bekti. Coba lihat ini, sangat hancur,” ucap Isfridus mengarahkan kami melihat lebih dekat lubang besar yang menganga itu.
Isfridus mengungkapkan, lokasi itu dieksploitasi oleh PT Arumbai Mangan Bekti pada tahun 1997 silam. Ia menjelaskan, kala itu perusahaan biasanya menyebut lokasi tersebut dengan nama Blok E. Namun warga kampung Lengko Lolok biasa menyebutnya dengan nama Lingko Ulung Sirise.
Berdasarkan pantauan Beritaflores.com, bekas galian tambang mangan di Lingko Ulung Sirise sangat memprihatinkan. Bagi Isfridus, perusahaan tersebut tidak bisa dimaafkan lagi karena telah menggali lubang besar yang menganga itu tak bertanggung jawab.
Tebing cukup curam setinggi ratusan meter pun mengelilingi lokasi ini. Di bagian tengah lokasi ini terdapat sebuah lubang besar yang masih menganga dengan luas sekitar ratusan meter persegi.
Meski di tengah lokasi ini terdapat lubang besar menganga dan tampak juga sebagiannya ditumbuhi pohon lamtoro. Namun, akses masuk ke lokasi itu sangatlah sulit. Tampak juga material aktivitas penambangan berserakan seperti batu kerikil berukuran kecil, sedang hingga batu berukuran besar.
Kini, lahan milik warga kampung Lengko Lolok bernama Klemens Salbin dan Stefanus Ampur itu dibiarkan begitu saja karena tidak bisa lagi digarap sebagai lahan pertanian produktif.
Selepas aktivitas perusahaan tambang mangan, lubang itu hingga kini tak kunjung direklamasi.
Menurut Isfridus, setidaknya ada tiga lokasi tanah ulayat milik warga Lengko Lolok yang pernah dieksploitasi PT Arumbai Mangan Bekti di antaranya, Lingko Watu Lanci, Lingko Bohor Wani dan Lingko Ulung Sirise.
Daya Rusak Tambang
Terpisah, Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng, Heribertus Mandela menguraikan, kampung Lengko Lolok sebagai lokasi penambangan batu gamping merupakan daerah pegunungan sekaligus pemukiman warga. Selama ini, tanah Lengko Lolok merupakan lahan produktif yang menjadi sumber kehidupan bagi warga lokal berupa ladang, sawah, serta kebun, maupun lokasi peternakan. Warga Lengko Lolok sebagai suatu kemunitas masyarakat tidak terlepas dari ikatan entitas kebudayaan dan telah melekat sebagai masyarakat adat.
Merujuk pada fakta-fakta tentang pertambangan, dapat dikatakan bahwa pertambangan merupakan kegiatan untuk mendapatkan logam, mineral, mangan, emas, batu gamping, batu bara, dan lain-lain dengan cara menghancurkan gunung, hutan, sungai, laut dan penduduk kampung. Dengan demikian, rencana penambangan batu gamping di Lengko Lolok sebagai bahan baku produksi semen di Luwuk merupakan kegiatan menghancurkan gunung, hutan, lahan produktif warga, termasuk warga setempat serta entitas kebudayaan masyarakat di kampung bersejarah itu.
“Apabila rencana penambangan batu gamping di Lengko Lolok tidak dibatalkan, maka dampaknya adalah selain merusak alam, juga merugikan masyarakat setempat,” pungkas Mandela.
Aktivitas tambang tersebut kata dia, hanya menguntungkan korporasi saja bahkan tidak
menguntungkan masyarakat lokal. Sebab pertambangan sebagai kegiatan yang
dapat merusak ekosistem dan kehidupan sosial, dilakukan oleh sekelompok orang
(koorporasi) dan hanya menguntungkan koorporasi itu sendiri.
Tambang Digali Para Pembohong
“Sebagaimana yang dikatakan oleh Mark Twian, pertambangan adalah lubang besar yang menganga dan digali oleh para pembohong. Jadi sebentar lagi wajah dari kampung Lengko Lolok akan berubah menjadi lubang-lubang besar yang menganga. Mengantisipasi terjadinya kondisi seperti ini, maka pemkab Matim serta pemprov NTT mesti segera menghentikan rencana penambangan batu gamping di daerah tersebut,” tegas aktivis organisasi kepemudaan itu.
Menurut mantan Presidium Germas PMKRI Ruteng itu, harus diakui bahwa pertambangan adalah industri yang banyak mitos dan kebohongan. Sebab, sebelum melakukan eksploitasi, selalu beredar mitos-mitos pertambangan di masyarakat antara lain; (1) pertambangan adalah industri padat modal, (2) pertambangan adalah industri yang menyejahterakan rakyat, (3) pertambangan adalah penyumbang devisa negara yang besar, (4) pertambangan adalah industri yang banyak menyediakan lapangan kerja, (5) pertambangan adalah industri yang bertanggungjawab. Padahal kenyataan tidak demikian. Semuanya hanya sebagai propaganda saja, sebab realitasnya sangat jauh berbeda.
Kini, mitos-mitos tambang tersebut sedang merajalela di tengah masyarakat lingkar tambang. Propaganda itu kata Mandela, dilancarkan bertujuan agar masyarakat setempat rela melepaskan lahan untuk perusahaan tambang. Fakta-fakta mengungkapkan pelaku tambang sering kali menghadirkan situasi pro dan kontra yang memicu benih perpecahan di masyarakat (konflik horizontal), memberikan janji-janji ‘angin surga’ misalnya, masyarakat akan sejahtera, jalan diperbaiki, listrik terang benderang dan menjadi kota ramai, sehingga gaya hidup masyarakat mulai berubah.
Mandela menambahkan, beredar pula informasi yang simpang siur dan membingungkan. Informasi yang semakin simpang siur kemudian meresahkan masayatakat, lalu bujuk rayu, intimidasi, hingga teror dan ancaman makin meningkat. Deretan ersoalan di atas sedang hadir dan tentu saja berpotensi menghancurkan masa depan masyarakat Lengko Lolok. Jadi penguasaan sumber daya alam, pencemaran lingkungan dan proses pemiskinan akan dialami oleh masyarakat Lengko Lolok.
“Adapun dampak lain yang akan ditimbulkan dari aktivitas tambang di Lengko Lolok nantinya, terbentuknya danau-danau asam dan beracun yang akan terus ada dalam jangka waktu yang panjang, tidak pulihnya ekosistem yang dirusak oleh perusahaan tambang. Inikah wajah kesejahteraan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat Lengko Lolok dan sekitarnya? Tentu tidak. Maka sekali lagi rencana tambang batu gamping tersebut harus dihentikan,” papar pria yang akrab disapa Heri itu.
Menurut dia, harus diakui bahwa konsep pengelolaan tambang rakyat selalu menjadi jalan masuk untuk tambang berskala besar. Pemberian izin eksplorasi tambang di Lengko Lolok berpotensi menjadi gerbang utama masuknya perusahaan-perusahaan tambang lain di masa mendatang atau menjadi peluang bagi perusahaan yang diizinkan untuk melakukan ekspansi wilayah tambang pada waktu yang akan datang.
Dampaknya lanjut dia, adalah akan terjadi kekeringan. Kekeringan ini tentu menjadi musibah yang akan membuat masyarakat menjadi lebih menderita, lebih kejam lagi dari virus corona yang saat ini sedang mewabah dunia. Tambang rakyat berpotensi menjadi daerah tak bertuan, tambang rakyat mengundang konflik horizontal, tambang rakyat mengundang keterlibatan cukong, pedagang merkuri, pedagang emas, serta kejahatan-kejahatan lainnya.
Berdasarkan data PMKRI Cabang Ruteng, pada umumnya aktivitas pertambangan berkarakteristik tidak dapat diperbarui, mempunyai resiko yang relatif lebih tinggi, dan mempunyai dampak lingkungan baik fisik maupun sosial dibandingkan komoditi lain pada umumnya, debu, asap, maupun gas beracun lainnya akan timbul dari aktivitas pertambangan.
Hal ini dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan bahkan mengakhiri hidup seseorang karena mengidap segala jenis sakit dan penyakit. Jadi kerugian alam dan masyarakat Lengko Lolok sebagai dampak dari aktivitas tambang tak sebanding dengan uang yang dikucurkan perusahaan untuk membeli lahan bahkan menyogok masyarakat.
“Kehadiran tambang batu gamping dan pabrik semen juga bukan merupakan solusi yang tepat dalam membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Sebab hal ini berkontradiksi dengan daya dukung masyarakat yang berprofesi sebagai petani, merupakan suatu pembohongan terhadap publik ketika dikampanyekan bahwa baik tambang maupun pabrik semen memilki daya serap tenaga kerja semua masyarakat lokal,” urai dia.
Keharusan mendirikan pabrik semen dan tambang batu gamping di Desa Satar Punda oleh pemerintah melalui perusahaan patut mendapat kecurigaan. Sebab sebagai tahap awal saja total kucuran dana yang diberikan kepada masyarakat sudah mencapai angka miliaran rupiah. Menjadi tidak masuk akal ketika berniat membawa kesejahteraan tetapi dengan cara dirayu, dibujuk, digoda bahkan dipaksa untuk menerima uang.
Lebih jauh kata Mandela, idealnya kesejahteraan tidak seperti itu namun riilnya demikian sebagaimana yang dialami oleh masyarakat Desa Satar Punda. Patut diduga bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Pabrik semen dan tambang batu gamping bisa jadi hanya sebagai tameng atau kamuflase dari tambang-tambang lain yang ada di perut bumi Lengko Lolok untuk segera dieksploitasi. Artinya batu gamping hanya sebagai salah satu aktivitas saja tetapi ada banyak kandungan yang diincar investor seperti emas dan mangan. (R11).