BORONG, BERITA FLORES- Mentari pagi mulai bersinar pada Jumat, 12 Juni 2020 sekitar pukul 09.05 waktu setempat, saya mulai melakukan perjalanan dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai menuju Reo, ibu kota Kecamatan Reok. Tiba di Reo sekitar pukul 10.30. Usai tiba di sana, saya sudah ditunggui oleh tiga rekan wartawan di kediaman bapak Nikolaus Dunu tepat di Mangga Dua. Niko ialah salah satu guru pensiunan berstatus ASN kelahiran Lengko Lolok, Desa Satar Punda.
Seperti biasa saat kita bertamu di kediaman orang Manggarai, saya pun disuguhi segelas kopi dan kue cucur. Tak lama berselang tepat pukul 11.30, kami bergeser untuk melanjutkan perjalanan menuju kampung Luwuk sebagai lokasi pendirian pabrik semen oleh PT Semen Singa Merah NTT.
Sebelum masuk ke daerah administrasi Kabupaten Manggarai Timur, kami berhenti sejenak untuk melakukan pemeriksaan kesehatan di Portal COVID-19 Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur tepatnya di Gongger, Desa Satar Punda Barat. Usai pemeriksaan, kami melanjutkan perjalanan menuju kampung Luwuk.
Saat kami memasuki cabang masuk ke kampung Luwuk, saya pun berinisiatif mengisi buku daftar pelaku perjalanan di Portal COVID-19 Desa Satar Punda, tepat sebelah kanan jalan masuk kampung itu setelah melewati salah satu jembatan.
Baca: Sambangi Lokasi Tambang, Uskup Ruteng: Waspada Pengaruh Setan yang Merusak Ciptaan Tuhan
Perjalanan dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai hingga kota Reo ibu kota Kecamatan Reo lalu melewati jembatan Gongger menuju cabang kampung Luwuk sangat terasa nyaman karena melintasi jalan hotmix. Meskipun harus menyusuri beberapa tikungan cukup tajam, namun kondisi jalan yang sudah berhotmiks membuat pengguna jalan menikmati kenyamanan dalam perjalanan.
Namun tidak demikian ketika melintasi jalan menjuju kampung Luwuk dan memasuki wilayah administrasi Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur.
Lintasi Jalan Bebatuan
Pada Jumat, 12 Juni 2020, sekitar tiga ratus meter dari jembatan dekat cabang masuk kampung Luwuk dengan kondisi ruas jalan boleh dibilang paling parah. Perjalanan kami pun mulai memacu adrenalin.
Kondisi badan jalan menuju kampung ini rusak parah bahkan batu tajam terus menghantui para pengendara. Bahkan saat memasuki wilayah Watu Roga dan kampung Serise, kondisi jalan tampak semakin buruk. Tampak jalan sepanjang kurang lebih 7 kilometer belum tersentuh aspal sama sekali. Pada banyak titik, lapisan batuan sudah terbongkar dari badan jalan.
Di tengah perjalanan kami menjumpai pria berbadan kekar. Dia adalah Bernabas Raba mantan Kepala Desa Satar Punda. Usai menatap saya, ia lansung menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan saya. Saya pun lansung menyodorkan tangan menyambut permintaannya untuk berjabat tangan. Saat berjabat tangan, Barnabas memegang erat tangan saya lalu meremuk dan menekan keras ke arah kanan. Bak sedang pertandingan panco. Saya kemudian mengikuti arah kanan seperti keinginan sang mantan Kades Satar Punda itu. Namun, saya lansung ambil posisi pas kaki berkangkang setengah, lalu menekan balik tangan Barnabas ke arah berlawanan. Barnabas pun mengatakan, “kuat juga tenaga anak muda yang satu ini,” celetuk Om Nabas begitu ia akrab disapa.
“Saya menggunakan tenaga dalam kaka,” celetuk saya sambil tertawa. “Mantap,” singkat Om Nabas sambil tersenyum.
Barnabas Raba merupakan salah satu warga pendukung tambang semen di Desa Satar Punda karena memiliki lahan di kampung Luwuk.
Kami pun bercanda sambil beristirahat sejenak tepat di pinggir jalan wilayah kampung Serise sebelum menuju kampung Luwuk. Suasana pun sangat cair. Saat asyik bercanda, rombongan Plasidus Asis Deornay, SH seorang advokat beken melintasi ruas jalan itu.
Baca: PMKRI Ruteng: Pertambangan adalah Lubang Besar yang Menganga Digali oleh Para Pembohong
Rombongan Plasidus pun sedang menuju kampung Luwuk membantu mengadvokasi warga yang menjadi korban pendirian pabrik semen. Usai melihat mobil rombongan Plasidus, Barnabas kemudian segera bergegas menghidupkan sepeda motor metiknya untuk membuntuti pasukan Plasidus dengan kawan-kawan. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju kampung dengan sejuta keindahan itu.
Tiba di kampung Luwuk sekitar pukul 12.30 waktu setempat. Sekira 10 menit kami berhenti sejenak dekat cabang menuju lokasi lahan sawah milik warga kampung Luwuk. Tak lama berselang, tiga anak perempuan ingin menuju mata air arah lahan sawah itu. Saya pun lansung mengajukan pertanyaan kepada mereka, ini jalan ke mana enu? (panggilan kesayangan untuk perempuan Manggarai).
“Ini arah menuju lahan sawah warga kampung Luwuk kaka,” kata tiga anak perempuan di kampung itu sambil menunjuk ke arah selatan, maklum mereka sedang menuju lokasi untuk menimba air minum bersih memenuhi kebutuhan mereka setiap harinya.
Kami harus melanjutkan perjalanan menuju lahan sawah milik warga Luwuk yang terletak sebelah selatan kampung tua dan bersejarah itu.
Sepeda motor yang kami kendarai mesinnya semakin panas karena melakukan perjalanan jauh dari Ruteng menuju lahan sawah milik warga Luwuk. Jalan tanah menuju lahan sawah sangat nyaman, sebab tak ada hujan sesaat kami menuju lokasi itu. Panas terik matahari mulai meninggi menghantar kami menuju lokasi sawah dan mata air sebagai tujuan utama.
Tiba di lahan sawah sekitar pukul 12.40 waktu setempat. Saya bergegas melihat view lahan sawah milik warga yang begitu indah dengan backgroud gunung tinggi dan hutan lindung berbatasan lansung dengan tanah ulayat milik warga Lengko Lolok, lokasi tambang batu gamping sebagai sumber material pabrik semen Luwuk, Desa Satar Punda.
Sampai di lahan sawah, beberapa kru jurnalis melakukan selfie ria di lokasi sawah milik warga kampung Luwuk karena ingin mengabadikan momentum keindahan sawah tersebut. Beberapa hasil pemotretan kami merupakan kenangan terindah saat di lahan sawah karena mungkin saja sebentar lagi dirusaki oleh investor tambang semen. Untuk itu, penting untuk diabadikan sebagai kenangan terindah di lokasi itu.
“Ayo kita selfie,” kata seorang rekan jurnalis.
Saat kami asyik ber-selfie, secara tiba-tiba muncul seorang warga kampung Luwuk dari arah Timur lokasi sawah, ia berprofesi sebagai petani dan peternak. Dia adalah Konstantinus Esa. Ia pun sangat berantusias saat melihat rombongan jurnalis dan lansung berjabat tangan satu per satu dengan rekan jurnalis. Kami pun bercerita seputar hasil usaha pertanian dan peternakan di sana. Konstantinus mengisahkan, tahun ini menjadi tahun rejeki karena dirinya memanen padi sawah dengan hasil yang sangat memuaskan.
“Saya mendapat hasil panen padi sawah mencapai 30 karung dalam satu kali panen, untuk tiga petak sawah. Kalau dikali tiga kali panen dalam setahun, maka total hasil panen padi sawah sebanyak 90 karung,” ungkap Konstantinus saat ditemui di Luwuk pada Jumat, 12 Juni 2020.
Ia menjelaskan, total petak sawah miliknya sebanyak 12 petak. Ada 8 petak telah dipanen, sementara 4 petak lainnya sedang dibersihkan setelah tertimbun material tanah longsor pada saat aktivitas eksploitasi tambang mangan di Lengko Lolok dan Serise beberapa tahun silam.
Konstantinus mengakui, selama ini, keluarganya menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan peternakan. Bahkan, ia bisa membiayai pendidikan anaknya dari usaha pertanian dan peternakan, sehingga kehadiran perusahaan tambang semen di wilayah itu sangat mengancam keberlansungan hidup mereka.
Usai menemui Konstantinus, awak media kemudian bergeser ke arah Selatan lokasi mata air milik warga kampung Luwuk.
Rombongan kami menemukan sebuah mata air permanen meskipun digali secara manual oleh warga setempat. Tampak sumur tersebut usianya sudah cukup tua, karena bentuknya yang sederhana tanpa dibuat dengan bentuk modern. Beberapa warga setempat kami temukan sedang mandi di sumur tradisional itu.
Setelah itu, kami menyebrang dan melintasi lahan sawah milik warga untuk menuju sebelah Timur sumur air utama di mana, tempat warga menimba air sebagai sumber kehidupan mereka. Di sana, terdapat dua buah sumur air permanen berbentuk lingkaran dibangun dengan sentuhan modern.
Warga kampung Luwuk memanfaatkan sumur ini untuk kebutuhan air minum bersih, mencuci dan mengairi sawah mereka. Tampak, usia sumur air itu sudah sekira puluhan bahkan ratusan tahun lamanya sebab, warna dasarnya yang sudah berlumut. Bahkan menurut kisah warga setempat, sumur ini sebagai sumber air minum bersih (wae bate teku atau wae teku tedeng) bagi warga setempat.
“Kami menggantungkan kebutuhan air minum di sumur ini,” kata Konstantinus yang menemani kami dalam perjalanan.
Baca: Lindungi Kawasan Karst, DPRD NTT Fraksi Hanura Minta Gubernur Tinjau Izin Tambang
Usai melihat sumur air tersebut, kami bergeser ke bagian Selatan lahan sawah milik warga, tepat di bawah kaki Gunung (Golo) Watu Pajung perbatasan dengan tanah ulayat milik warga Lengko Lolok. Kami sangat kaget, dengan begitu banyak sumber mata air melimpah di bawah kaki gunung tersebut. Ada tiga sumber mata air permanen terbesar terdapat di sekeliling lahan sawah kampung Luwuk, satu sumur di bagian Barat, Timur dan satu sumber mata air di bagian Selatan yang debitnya cukup besar.
Padi sawah di kampung Luwuk ternyata masih diairi secara tradisonal atau secara manual. Belum disentuh sama sekali oleh teknologi modern seperti saluran irigasi, drainase maupun bendungan. Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sama sekali belum melihat potensi di sana karena tidak ada tanda-tanda untuk mendorong program irigasi demi meningkatkan pendapatan warga dari sektor pertanian.
Para petani terpaksa masih menggunakan sistem tradisional dalam bertani. Hingga kini, kami belum mendapat informasi apakah pemerintah telah melihat potensi di sana atau tidak. Sungguh ironis memang. Para petani Luwuk tak diperhatikan sama sekali oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Manggarai Timur.
Usai melihat beberapa sumber mata air, sesekali kami melihat view sawah milik warga yang sungguh mempesona, bak gadis cantik tapi tak pernah mandi. Itulah gambaran potensi lahan sawah di kampung Luwuk karena belum tersentuh teknologi modern.
Lebih keren lagi, ketika melihat dari sudut Selatan, tampak pohon pisang dan pohon kelapa mengelilingi lahan sawah warga. Pemandangan ini sungguh menjadi keindahan tersendiri. Tanah yang rata, subur dan luas menjadi potensi besar untuk memajukan sektor pertanian dan peternakan di kampung yang terletak paling utara Desa Satar Punda itu.
“Selain kami memperoleh penghasilan dari panen padi sawah, kami juga mendapatkan hasil jual pisang dan jual kelapa,” kata seorang warga Luwuk, Agustinus Fan kepada wartawan saat ditemui di lokasi itu.
Mata Air Terancam Hilang
Gusti begitu ia akrap disapa mengakui bahwa, debit air sebagai sumber kehidupan warga Luwuk sempat menurun akibat masifnya eksploitasi tambang mangan di wilayah Serise maupun Lengko Lolok beberapa tahun silam. Lebih dari tiga mata air di kampung tua itu terancam hilang apabila wilayah pegunungan Lengko Lolok dan Serise diekploitasi secara masif. Warga akan kehilangan sumber mata air untuk kebutuhan mereka bahkan menopang aktivitas pertanian di kampung Luwuk.
“Debit air di sini (Luwuk) sempat menurun karena kegiatan tambang di wilayah Lengko Lolok dan Serise. Lahan sawah kami juga sempat tertimbun material tanah longsor,” kata Gusti.
Bahkan belasan petak sawah milik warga Luwuk kata dia, sempat tertimbun material tanah longsor yang bersumber dari gunung di mana, lokasi eksploitasi tambang mangan PT Arumbai kala itu. Namun hingga saat ini, material longsor telah dibersihkan oleh pemilik sawah. Saat ini, beberapa petak sawah mulai digarap kembali usai tertimbun material tanah longsor.
Usai memantau semua sumber mata air warga, kami pun beristirahat di bawah sebuah pohon kelapa milik warga di sana. Seorang warga kemudian memetik kelapa muda untuk disuguhkan sebagai pengganti makan siang kami di sana. Di mana, jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.00 sebagai penanda jam makan siang.
Rombongan jurnalis pun lansung disuguhi kelapa muda oleh warga setempat. Perjalanan yang sungguh melelahkan pun terbayar lunas karena menikmati air kelapa muda yang manis. Bahkan isi kelapa muda menjadi pengganti makan siang kami saat berada di lahan sawah warga Luwuk.
Suasana akrab pun tercipta, karena saling menemukan makna hidup yang sesungguhnya di mana, saling memberikan meski dalam kekurangan. Rasa lapar beberapa rekan jurnalis saat menjalankan kegiatan jurnalistik sedikit terobati. Saat itu, suasana penuh cair. Kami bercanda ria penuh keakraban satu sama lain. Perut kenyang, usai disuguhi kelapa muda oleh tuan tanah.
Terima kasih tuan tanah, telah menciptakan makna hidup yang sesungguhnya meski dengan cara yang sangat sederhana. Tak lupa, kami berpose bersama di bawah pohon pisang dan pohon kelapa untuk mengabadikan momentum indah itu. Tak ada keindahan di muka bumi ini selain kita saling melayani, saling memberi, saling mengisi, saling menghormati dan saling menghargai karya ciptaan Tuhan.
Mengutip sebuah pesan dari bapa Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, Pr, “rawatlah alam ini dan waspada terhadap setan-setan yang dapat merusak ciptaan Tuhan. Karena sesungguhnya, alam inilah yang memberikan kita makan dan minum dalam menjalankan kehidupan,” kata Uskup Sipri saat menyambangi kampung Lengko Lolok dan kampung Luwuk, lokasi tambang semen belum lama ini.
Usai berpose, kami pun melanjutkan perjalanan pulang menuju Reo, sebagai tempat penginapan. Adrenalin kami pun kembali dipacu karena harus melewati jalan bebatuan saat pulang dari lokasi liputan. Meski kami ditawari untuk singgah di rumah warga kampung Luwuk, namun karena mengingat cuaca saat itu yang mendung, maka kami memutuskan lansung balik kanan menuju Reo. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, tepat pukul 17.20 kami mulai menyusuri jalan dari lahan sawah menuju Reo, ibu kota Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai.
Suara motor kami semakin meninggi akibat tarikan gas yang tak stabil melewati jalan bebatuan tajam. Dalam perjalanan, kami menemukan lokasi bekas penampungan material tambang mangan tepat di wilayah Serise, Desa Satar Punda. Papan nama PT Istindo Mitra Perdana tampak berdiri tegak di pinggir ruas jalan itu. Kami pun berhenti sejenak untuk memantau lokasi bekas penampungan material tambang mangan tersebut.
Kondisi lokasi itu tak terawat bak museum di kota mati. Tak ada penjaga di sana. Tampak, ternak jenis sapi milik warga setempat diikat di sekitar lokasi itu. Usai, memantau lokasi itu, kami kemudian melanjutkan perjalanan pulang. Saat itu, kami berencana singgah di salah satu rumah keluarga rekan wartawan untuk melihat sumur air di lokasi kampung Serise.
Baca: Gelombang Penolakan Kian Masif, Gubernur NTT Urung Proses Izin Tambang Semen
Matahari mulai tenggelam saat kami tiba di kampung Serise. Sudah petang. Seperti biasanya kami disuguhi kopi panas khas Manggarai. Usai menyeruputi kopi, kami begegas untuk memotret sebuah sumur sebagai sumber air minum warga kampung Serise.
“Ini sumur air sebagai sumber air minum warga di sini pak. Ada satu sumur juga di sebelah utara. Di sini, ada dua sumur air saja,” kata Yosep Wiron seorang warga kampung Serise kepada wartawan saat ditemui di lokasi itu.
Sekitar 5 menit memantau dan memotret sumur milik warga Serise, kami kemudian kembali ke salah satu rumah warga Serise. Tak lama berselang, kami disuguhi makan malam di rumah itu. Kami menikmati makan malam dengan disuguhi ikan segar, makan ala orang pinggir pantai. Saat asyik menikmati makan malam, tiba-tiba suara gemuruh di atas atap rumah itu. Ternyata hujan dengan intensitas tinggi mulai membasahi bumi Serise. Kami pun terjebak hujan hingga malam hari. Tepat pukul 10.49 kami harus melanjutkan perjalanan menuju Reo.
Adrenalin kami kembali dipacu karena harus melewati jalan batu tajam dan sangat licin usai hujan deras membasahi wilayah itu. Jalan tampak licin, sesekali berhenti menarik tali gas motor bahkan mesin motor mati serentak saking licinnya jalan tersebut. Tampak air tegenang di sebagian titik bahu jalan sehingga harus ekstra hati-hati melintasi jalur maut itu.
Lapisan batu putih yang saat itu diterpa hujan menjadi sangat licin. Roda kendaraan semakin sulit melintasi jalan tersebut. Sesekali harus berhenti, mundur untuk ambil ancang-ancang sebelum tancap gas. Sungguh ironis memang.
Jalan rusak parah di tengah besarnya kucuran Dana Desa (DD) melalui Undang-Undang Desa Nomor Nomor 6 Tahun 2014. Sudah enam (6) tahun Dana Desa telah bergulir, namun kondisi jalan Desa Satar Punda masih sangat memprihatinkan. Bahkan kendaraan roda empat harus menggunakan derek untuk bisa menaklukkan medan jalan yang ekstrim itu.
Tiba di Reo sekitar pukul 23.30 untuk beristirahat sejenak dan harus kembali beraktivitas pada esok hari meliput bekas tambang mangan di kampung Lengko Lolok dan potensi pertanian dan peternakan di kampung tua dan bersejarah itu.
Penulis: Ronald Tarsan