Oleh: Fransiskus Adryanto Pratama
Aku meringkuk di atas dipan sembari mengisak tangis penyesalan
Menyesal mengenang kisah ketika aku tak pernah berpikir dua kali meladeni nafsu birahimu
Aku terjebak dengan rayuan manja dari bibirmu yang puitis
Bahkan aku memujimu kala itu atas semua bait-bait yang kau susun dengan rapi padaku
Yang membuatku kegilaan denganmu adalah tentang makna hidup yang kau ceritakan padaku
Kamu terlihat dewasa, ternyata itu hanya dari bibirmu, kau tak bedanya lelaki hidung belang
Sedang hati seperti ingin menerkamku seperti harimau yang lapar
Kini engkau telah merenggut kepermpuananku
Sementara aku terus memenjara diri dalam kamar yang tak lagi melihat siang maupun malam
Doa kepada Tuhan pun enggan lagi kulakukan seperti dulu yang dengan lantang membelanya bahkan setiap berpapasan denganmu
Aku hanya meneguk penyesalan setiap melihat daging pada tubuhku yang terus mengurus
Mataku tak lagi bersinar seperti awal pertemuan kita
Wajahku yang dulu bulat kini mencekung karena tak pernah mengunyah nasi sementara bibir kering tak lagi meneguk air kecuali air mata
Bahkan sesekali aku menghakimi Tuhan, kenapa dia yang maha baik, maha kuasa tak hadir di saat aku terpuruk karena penyesalan yang menderaku
Aku terus merintih dalam luka yang tak kunjung sembuh
Jika namamu bertamu dalam pikiranku seketika luka itu kembali menyayat perih
Mungkin saja kau ada disini ingin kurenggut nyawamu laki-laki yang hanya melihat komelakan perempuan
Sedang hatimu begitu serakah yang mendorong pikiranmu untuk menyetubuhi perempuan dengan nafsumu
Tubuhku terluka oleh keegoisanku sendiri dan kamu lelaki yang tak punya perasaan
Pergilah dari pikiranku aku ingin merobek lembaran kusam yang telah aku dan kamu dibubuhi tinta masa lalu
Aku ingin menatanya kembali layaknya manusia lain
Walau tubuhku yang suci telah kau renggut
Penulis merupakan Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta