BORONG, BERITA FLORES- Kisah lama kembali terungkap terkait pro kontra karena kehadiran perusahaan tambang mangan di Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT.
Seorang warga Tumbak bernama Rikardus Hama (57) pernah menjadi topik perbincangan hangat sekitar pertengahan 2014 silam. Di mana, sering menghiasi halaman pemberitaan media massa karena bermasalah dengan pihak perusahaan tambang.
Rikardus merupakan salah satu korban dan berujung dipenjara selama tiga bulan karena melawan perusahaan tambang mangan kala itu.
“Di sini sampai warga terpecah belah. Dari sekian KK (kepala keluarga), jadi ada yang mereka (perusahaan) kasih amplop begitu, yang terima uang sebanyak 25 juta per orang,” ujarnya kepada wartawan saat ditemui di Tumbak, pada Jumat, 1 Mei 2020 lalu.
Baca: Mahasiswa Tolak Pabrik Semen Desa Satar Punda
Ia mengakui, pihak perusahaan berhasil memecah belah warga Tumbak karena saat itu sebagian warga mendukung dan sebagiannya lagi menolak kehadiran perusahaan tambang mangan PT Aditya Bumi Pertambangan itu.
Ia mengungkapkan, total warga Tumbak yang telah menerima uang kompensasi kala itu berjumlah sebanyak 25 orang lebih.
“Saking pintarnya orang perusahaan, lalu dikasih duit untuk memecah belah warga Tumbak,” papar dia.
Baca: JPIC: Warga tolak Pabrik Semen karena tak mau tertipu lagi hingga minta didampingi
Saat itu pun pihak perusahaan mendapat penolakan dari sejumlah elemen. Bahkan gerakan penolakan pihak gereja dan aktivis lingkungan hidup sangat masif terhadap aktivitas tambang mangan, sehingga berhasil memukul mundur kekuatan koorporasi.
Hingga perusahaan itu angkat kaki dari Tumbak, pihaknya tidak mengetahui seperti apa perkembangan sejumlah uang yang telah diterima warga di tengah jalan sebelum perusahaan beraktivitas kala itu.
Rikardus menguraikan, pihak perusahaan tambang mangan juga kala itu tidak pernah menuntut warga yang telah menerim uang kompensasi.
“Uang 25 juta itu tidak dikembalikan,” terang dia.
Rikardus bersama saudaranya bernama lengkap Adrianus Ruslin pernah dijebloskan ke penjara selama 3 bulan saat melawan aktivitas eksplorasi tambang mangan PT Aditya Bumi Pertambangan.
Perusahaan tersebut pernah melakukan eksplorasi pertambangan mangan di tanah ulayat milik masyarakat Tumbak, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Matim.
Rikardus dan Adrianus kemudian divonis 3 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Ruteng pada 24 Juli 2014 lalu.
Mereka dinyatakan melanggar delik “perbuatan tidak menyenangkan” sebagaimana diatur dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP.
Padahal, MK sudah mencabut delik tersebut lewat Putusan Nomor 1/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada 16 Januari 2014.
Kini, Rikardus kembali bernyanyi mengungkapkan kesaksiannya.
Menurut dia, kehadiran pertambangan kala itu bisa memecah belah masyarakat adat Kampung Tumbak.
Ia menuturkan, awalnya kehadiran perusahaan tambang memang membawa janji manis, salah satunya menjadi pekerja tambang. Bahkan, Rikardus pernah ditawar jika dia menerima kehadiran pertambangan di wilayah Tumbak, maka diangkat menjadi manager.
“Termasuk pribadi saya, bahwa kalau terima tambang itu, saya jadi manajer, kok manajer orang yang tidak bersekolah. Kan tidak masuk akal,” ujarnya.
Ia mengaku, di Kampung Tumbak perusahaan pernah mendirikan rumah adat dan jalan rabat beton menuju kampung dari cabang jalan Trans Utara Flores.
Namun saat itu rumah adat dan jalan rabat beton masuk kampung Tumbak hanya sebagai kompensasi membuka jalan perusahaan menuju kampung Waso.
Namun bukannya buka jalan yang terjadi, perusahaan tambang malah melakukan pemboran di lahan milik warga Tumbak.
“Makanya (warga) merontak waktu itu,” tukas dia.
Saat ini, lanjut Rikardus, ia mendengar Kampung Luwuk dan Lingko Lolok akan kembali masuk perusahaan pertambangan.
Sebagai tetangga kampung, Rikardus mengaku warga di Tumbak sudah waspada. Apalagi mereka tinggal di perbatasan tanah milik warga Lingko Lolok.
“Sehingga masyarakat yang ada di Tumbak ini, mereka bilang tidak usah pikir bapa, kan ini bukan perjuangan sendirinya bapa, kita sama-sama,” urai dia. (TIM).