RUTENG, BERITA FLORES- Warga Lingko Lolok dan warga Luwuk, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda dengan tegas menolak pendirian pabrik semen dan eksplorasi tambang batu gamping di wilayah mereka.
Warga kedua kampung itu pun telah bersepakat membangun komunikasi intens dalam sebuah diskusi dengan Romo Vikep Reo, Pastor Paroki Reo, Team dari JPIC Keuskupan Ruteng, Team dari JPIC OFM serta Aktivis JATAM Jakarta, Melky Nahar melalui video conference.
Koordinator JPIC Keuskupan Ruteng, Romo Marthen Jenarut, Pr, S.FIL.,SH.,MH mengatakan, warga yang hadir dalam diskusi terbatas tersebut berjumlah sekitar 20 lebih orang. Pertemuan tersebut dilaksanakan di Pendopo Pastoran Reo, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai pada Minggu pagi, 3 Mei 2020.
Ia mengaku, dalam diskusi dengan warga, pihaknya hanya mendengar segala keluhan, kecemasan, ketakutan sekaligus alasan mereka menolak kegiatan pabrik semen tersebut.
Romo Marthen menjelaskan, salah satu warga Lingko Lolok bernama Isfridus Sota bersaksi bahwa, dirinya selama 8 tahun bekerja sebagai pekerja tambang mangan tidak merasakan ada dampak ekonomi yang besar untuk kehidupan mereka. Selain itu, kegiatan pertambangan juga membawa dampak sosial dan lingkungan yang sangat merugikan karena itu mereka dengan tegas menolak kehadiran perusahaan.
“Saya merasa sakit hati, sedih dan menyesal,” kata Romo Marthen kepada wartawan di Ruteng meniru ucapan Isfridus Sota saat pertemuan tersebut.
Baca: Disentil Soal Pabrik Semen, Uskup Ruteng: Jangan Buat Provokasi
Ia mengatakan, testimoni Isfridus Sota merupakan alasan mendasar bagi warga untuk menolak kegiatan eksplorasi tambang batu gamping di Lingko Lolok. Menurut pengakuan warga kata dia, sebagian wilayah Lingko Lolok pernah menjadi lokasi eksploitasi tambang mangan beberapa perusahaan. Sampai saat ini lanjut dia, bekas-bekas galian tambang mangan tersebut masih menganga kini menjadi lubang-lubang besar tanpa direklamasi.
Romo Marthen menambahkan, berdasarkan pengakuan warga pun pihak perusahaan awalnya berjanji setelah kegiatan pertambangan berakhir akan dilakukan reklamasi, namun ternyata pihak perusahaan meninggalkan kondisi lingkungan warga yang semakin rusak parah.
“Kami tidak mau lagi tertipu untuk yang kedua kali. Saya sebagai salah satu masyarakat Lingko Lolok menolak untuk dilakukan relokasi pemukiman masyarakat, karena kami tinggal dalam satu kampung adat dengan segala sistem adat dan keberadaannya. Relokasi dapat menghancurkan eksistensi kami sebagai satu masyrakat adat dan kami akan kehilangan identitas dan kewibawaan sebagai satu masyarakat adat,” lanjut dia meniru ucapan warga.
Baca: TPDI Tantang Bupati Agas Buktikan Luas Lokasi Izin Pabrik Semen
Warga kampung Luwuk lainnya Aleks Jami, bersaksi bahwa, dirinya menolak keras kegiatan pembangunan pabrik semen di lahan miliknya. Ia mengakui, pihak perusahaan pernah melakukan pemboran tanah di Luwuk bahkan pernah meminta izin untuk melakukan pemboran di lahan sawah miliknya.
“Saya menolak dan tidak memberikan izin. Saya berkesimpulan bahwa di Luwuk nantinya bukan hanya menjadi lokasi pabrik semen tapi juga lokasi eksplorasi tambang. Kenapa harus melakukan pemboran kalau hanya membangun pabrik di Luwuk”? kritik dia.
Di samping itu, ada alasan penolakan lain secara tegas dinyatakan oleh Aleks. Ia menyebut, kampung Luwuk adalah kampung yang memiliki adat istiadat dan memiliki kesatuan masyarakat adat yang sudah diwariskan turun temurun dari nenek moyang mereka. Karena itu, kampung Luwuk harus menjadi kampung waarga Luwuk dan bukan menjadi wilayah yang dikuasai orang lain apalagi oleh perusahaan pabrik semen.
Warga Luwuk Konstantinus Esa juga bersaksi bahwa, pembangunan pabrik akan didirikan di atas lahan sawah. Oleh karena itu, dirinya menolak secara keras rencana tersebut.
“Saya tegas tolak rencana ini meskipun biaya ganti ruginya sangat besar karena tanah sawah akan memberikan penghidupan yang layak untuk saya dan keturunan saya untuk selama-lamanya,” imbuh Romo Marthen menirukan ucapan Konstantianus.
Mantan Dosen Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Jakarta itu menuturkan, dari dialog tersebut semua yang hadir sebagai masyarakat tolak tambang batu gamping dan pabrik semen sangat yakin bahwa kedua kegiatan tersebut tidak akan membuat hidup mereka lebih baik dan lebih sejahtera.
Berapa pun nilai ganti rugi dari perusahaan entah itu ganti rugi pembebasan lahan, ganti rugi tanaman atau renovasi rumah tidak membuat hati mereka luluh.
“Kami sangat yakin tidak membuat hidup kami lebih sejahtera, yang kami pikirkan bukan hanya dapat uang banyak tetapi bagaimana kelangsungan hidup kami selanjutnya,” tutur warga saat pertemuan dengan JPIC.
Minta Didampingi
Pada kesempatan itu, warga Luwuk dan Lingko Lolok yang menolak pabrik semen dan eksplorasi batu gamping meminta kepada gereja katolik Keuskupan Ruteng maupun kepada kelompok-kelompok peduli kemanusiaan untuk mendampingi, membantu dan melindungi mereka dari upaya penjajahan secara ekonomi oleh perusahaan pabrik semen.
Pengacara Publik itu menuturkan, berdasarkan pengakuan warga, ada banyak hal yang mereka tidak memahami berkaitan dengan hak-hak dasar mereka. Karena itu, mereka membutuhkan pencerahan sekaligus advokasi pada saat ada upaya-upaya sistematis untuk meruntuhkan hak dasar masyarakat setempat.
Mereka saat ini pun kata Romo Marthen, sedang mengalami situasi yang tidak nyaman pada saat sebagian besar menerima kegiatan ini sekaligus sangat mengusik dengan janji-janji besar yang belum tentu nanti terlaksana.
“Kami ragu dengan janji-janji tersebut karena perusahaan PT Semen Singah Merah NTT dan PT Istindo Mitra Manggarai yang akan mendirikan pabrik semen dan melakukan eksplorasi batu gamping adalah perusahaan dari orang atau pemilik yang sama dari PT Istindo Mitra perdana yang pernah melakukan eksplorasi tambang mangan. Keyakinan kami makin kuat karena kantor PT Istindo Mitra Manggarai ternyata mendiami kantor PT Istindo Mitra Perdana,” ujarnya. (R11).